Happy reading!
REVISI!
-------------
"Ceritakan semua masalahmu ke tante, tante bakalan jadi satu-satunya orang yang akan selalu ada buat kamu."
Biarkan untuk kali ini saja Silma menangis, ia lelah, dirinya rapuh, Silma tak kuat untuk menghadapi begitu kejamnya nasib yang dialaminya kini.
Silma menceritakan semua keluh kesahnya pada Dokter Sinta, tentang dirinya yang selalu menjadi bahan bullyan dan tentang Ayah dan Ibunya. Memang yang lebih memilukan adalah tentang Ibu dan Ayahnya, Silma tak peduli pendapat orang lain. Diacuhkan, tak dianggap oleh orang tua lebih menyakitkan dari pada dikhianati seorang teman, karena ibaratnya orang tua itu adalah seseorang yang sangat Silma harapkan. Mereka adalah kebahagiaan Silma.
Silma tak peduli jika mereka menganggap Silma sebagai beban kesusahan, lagi pula sekarang Silma sadar, kenapa Mama dan Papanya selalu menuntut ia untuk sempurna, karena pasti mereka malu punya anak cacat mental seperti dirinya.
Dokter Sinta memeluk Silma erat saat gadis itu masih berusaha menceritakan kepedihan yang begitu menyedihkan, ia tak menyangka Silma semenderita ini.
Ya tuhan, gadis ini terlalu rapuh untuk disakiti. "Kalo lingkungan kamu kaya gini, bagaimana kamu bisa sembuh Silma."
Silma menggigit bibir bawahnya, menahan isakan tangis, ia mengusap kasar air matany lalu tersenyum getir. "Silma tahu dokter, tapi sejauh ini aku bisa ngehadapin semuanya,"
"Apa kamu mau ikut tante pergi aja?"
Silma menggeleng, ia tidak mau menjadi pengecut. Silma harus bisa melewati masalahnya, jika dirinya sendiri penyebab orang tuanya benci, maka itu Silma harus mencari apa kesalahan yang telah ia perbuat di masa lalu.
"Dokter gak bisa maksa kamu, tapi satu yang tante pesan, kamu jangan terlalu banyak pikiran, atau mengingat apapun, jika kamu memang tidak bisa mengingatnya, jangan dipaksakan,"
"Diliat dari diagnosa dokter, tampaknya kamu pernah mengalami amnesia, jangan terlalu dipaksakan nanti kepala kamu akan sakit seperti tadi, bahkan bisa sampe mimisan seperti tadi," jelas Dokter Sinta.
Dokter Sinta merangkul bahu Silma, "Atau yang lebih parah kamu bisa tambah defresi jika terus mencemaskan sesuatu hal yang tidak berarti,"
"Ini hidup kamu, kamu berhak jalanin dan nikmatinnya karena kamulah peran utama dalam hidup kamu sendiri,"
"Tidak perlu mendengarkan ocehan orang, anggap saja mereka hanyalah peran pembantu."
Andai semudah itu, tapi bukannya kita hidup bersosialisali? Silma tidak bisa hidup tenang tanpa memikirkan omongan orang tentang dirinya, apalagi orang tuanya.
"Enggak papa, nggak papa, semuanya akan baik-baik aja. Silma kuat, tante dokter gak usah khawatir,"
"Kalaupun Silma defresi gak apa, emang udah takdirnya kalau aku hidup sebagai orang yang cacat mental," kekeh Silma, dengan air mata yang terus menurun.
Sinta menggeleng, bahkan tak sadar dia juga ikut menitikkan air mata. Ia menghapus air mata gadis itu. "Jangan menyimpan kesedihanmu sendirian, Silma masih punya tante yang akan selalu ada buat Silma,"
"Jangan nangis ya sayang?"
Silma mengepalkan tangannya, ia tak suka melihat tatapan kasihan dari Dokter Sinta, Silma memang menyedihkan tapi apa ia harus dikasihani seperti itu? Dia menepis pelan tangan wanita itu. "Tidak usah repot-repot dokter, ini masalah Silma, selagi aku bisa ngatasinnya sendiri, orang lain gak berhak ikut campur."
KAMU SEDANG MEMBACA
Karena Takdir [Tamat]
Teen Fiction[FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA] ------ "Gak semua cowok brengsek seperti yang Lo takutin!" Akibat permintaan dari gurunya yang mengakibatkan mereka jadi dekat. Baru saja ia bisa merasakan bahagianya Cinta. Namun, takdir mengubah semuanya. Ya, karena t...