"Di saat emosi tak bisa tersalurkan, di situlah air mata turun mewakilkan"
________________________________
"BUKA PINTUNYA OM! SILMA MOHON!!"
Terlalu lelah menangis sambil berteriak dan menggedor pintu, gadis itu meluruhkan tubuhnya ke bawah. Menangis dalam diam di balik pintu kamarnya. Sekuat apapun ia berteriak orang-orang suruhan Papanya pasti tidak akan dengan mudah membuka pintu kamarnya.
Jika saja tadi Silma bisa lebih cerdik, pasti sekarang dirinya sudah berada di rumah sakit. Menemani Darega. Sayangnya Silma ceroboh.
Dan berakhir dirinya dikunci paksa di kamarnya sendiri, atas perintah Papanya.
"Maaf, nona. Kami hanya menjalankan tugas!" ujar seseorang dari balik pintu.
Silma memeluk kedua lututnya dengan kesal, rambutnya ia acak dengan frustasi. Silma tidak suka seperti ini, ruang bergeraknya terkekang oleh Papanya. Dan sekarang tidak ada yang bisa menolongnya, bahkan Bi Ijah yang selalu ada dengannya pun tidak bisa membantunya.
Jika pun menolongnya pasti nanti sang Papa akan memarahi Bi Ijah, bisa saja wanita baya itu terancam dipecat karena telah membantunya.
Gadis itu menelungkupkan wajahnya di atas lipatan kakinya. Silma ingin bebas, dia mau ke rumah sakit. Bertemu Darega.
Kalau kamu mau sesuatu, berjuanglah lebih dulu. Meski pun dengan cara nekat.
Silma menarik napasnya dalam, meyakinkan hatinya. Barulah saat itu ia pun menurunkan kakinya lewat jendela, dengan hati-hati ia turun.
Helaan napas lega keluar saat berhasil menginjak tanah dengan selamat, Silma melihat CCTV yang terpasang di samping kamarnya.
"Aku harus bisa nutupin CCTV," gumam Silma melihat benda di atas yang berkedip merah, tangannya mengambil sebuah batu. Ia tersenyum tipis, dan melemparkannya pada benda itu yang mana membuat CCTV itu berkedip dua kali lalu mati.
Tahu jika di depan pasti ada yang menjaga, maka jalan belakang adalah hal yang tepat kebetulan di sana CCTV-nya sedang rusak.
Tapi ternyata di depan pintu halaman belakang juga ada Mang Udin dan salah satu dari pria berpakaian hitam itu sedang bermain catur.
Silma mengigit jarinya cemas, sudah sejauh ini ia melangkah Silma gak mau ketahuan dan berakhir dihukum kembali.
Berpikir Silma! batinnya mencari cara untuk mengalihkan perhatian mereka berdua.
Dengan kening mengkerut, kebiasaan Silma jika sedang berpikir keras. Di saat itu matanya tak sengaja bertubrukan dengan Mang Udin. Gadis itu tersenyum lebar mendapatkan ide, memberi kode lewat tatapan matanya yang seolah mengatakan pada Mang Udin untuk menjauhkan pria itu dari sana.
"Eh Mas kemaren teh saya lihat listrik di garasi mati, bisa bantu nolongin? Mamang mah gak bisa soalnya."
Silma menghembuskan napas lega saat pria itu menyetujui ajakan Mang Udin. Merasa situasi sudah aman, Silma berlari tanpa suara hingga sampai di depan pintu.
Gadis itu tersenyum lebar, untungnya mereka meninggalkan kunci pintunya tersegel dalam pintu. Dia membuka pintu itu hati-hati, dan menutupnya kembali.
Pintu halaman belakang rumahnya ini, dekat sekali dengan pangkalan ojek, memudahkan Silma untuk segera pergi.
"Mang, anterin aku ke Rumah Sakit Harapan Sehat ya!"
>o0o<
Hingga malam hari tiba, Darega masih belum bergerak di tempatnya. Lelaki itu masih betah menatap lurus hiruk pikuk keadaan di luar lewat jendela ini. Ia mencengkram kuat tiang infusan yang berada di sebelahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Karena Takdir [Tamat]
Teen Fiction[FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA] ------ "Gak semua cowok brengsek seperti yang Lo takutin!" Akibat permintaan dari gurunya yang mengakibatkan mereka jadi dekat. Baru saja ia bisa merasakan bahagianya Cinta. Namun, takdir mengubah semuanya. Ya, karena t...