"Satu hal yang aku benci di dunia ini, yaitu kebohongan, apalagi dibohongi."___________
Silma mengerjapkan mata saat sinar matahari terasa menyapa kulitnya. Mata gadis itu melotot kaget saat menyadari ini bukan kamarnya. Silma terduduk tegap menatap ruang kamar ini.
Ingatannya kembali pada kejadian kemarin malam, Silma menghela nafas mungkin Adefta yang membawa Silma ke sini.
Gadis itu menyibakkan selimut, lalu berjalan membuka gorden dengan perlahan. Pemandangan langit serta gedung pencakar langsung terpampang begitu indah. Inikah negara asal mamahnya? Silma membatin kagum.
Tatapannya berubah sendu, lagi-lagi dirinya teringat Darega. Bagaimana kabar lelaki itu, apa Darega baik-baik saja. Silma sungguh sudah merindukan lelaki itu.
"Kamu sudah bangun?"
Suara berat seorang lelaki dari belakang membuat Silma menoleh. Silma masih segan dengan Adefta, ia masih sedikit takut karena mereka memang tak pernah kenal, meski lelaki itu bilang jika dirinya pernah menolong Silma.
"Sudah," jawab Silma pelan, kembali menatap pemandangan lewat kaca besar sebagai alih-alih rasa takut dan gugupnya pada Adefta.
"Bersiaplah, aku akan membawamu ke suatu tempat."
Setelah mengatakan itu pria itu berbalik keluar meninggalkan Silma yang kebingungan.
"Sok misterius!" cibir Silma tapi tak urung dia menuruti perintah lelaki itu untuk bersiap.
Saat Silma membuka lemari pakaian di kamar ini, ia tercengang mendapati begitu banyak baju wanita. Silma berdecak, Adefta benar-benar menyiapkan segala keperluannya.
Pandangan Silma terjatuh pada satu baju yang berhasil membuatnya terpaku. Baju biru dengan motif bintang besar di tengahnya, Silma mendesah pelan ia jadi teringat Darega lagi.
Silma mengambil baju itu, dengan celana jeans hitam. Semoga saja baju itu bisa sedikit mengobati rasa rindunya pada Darega. Lalu gadis itu masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.
.
.
.Adanya kalung berliontin rembulan ini membuat Silma semakin merindukan Darega. Dia sebenarnya ingin menghubungi Darega, meminta maaf soal perkataannya kemarin. Tapi sialnya Adefta sama sekali tidak mau mengembalikan ponsel Silma.
"Ka berikan ponselku, aku mohon." Sekarang ini mereka tengah berada di dalam mobil dengan Adefta yang mengendarainya. Karena usianya terpaut lumayan jauh darinya, Silma memutuskan memanggil pria itu dengan sebutan 'kaka.
"Panggil namaku, Silma! Aku bukan kaka mu!" Alih-alih menjawab, Adefta malah mempermasalahkan soal panggilan membuat Silma memberengut sebal.
"Enggak mau!" saut gadis itu membuang wajahnya ke samping tidak lagi menatap Adefta.
Adefta membuang nafas, "Kamu gak nanya, aku mau ngajak kamu kemana?"
Adefta terkekeh saat Silma melotot tajam padanya. Lucu sekali gadis itu.
"Kamu gak akan macam-macam kan?!"
"Satu macam."
"ADEFTAA!" seru Silma memukul tangan Adefta, bukannya marah lelaki itu malah tertawa.
"Gak akan, aku yakin setelah ini kamu bakal berterima kasih sama aku." ungkap Adefta yakin, membuat Silma mengernyit tak mengerti.
Kini mobil mereka telah sampai di pinggiran danau, yang terlihat cukup sepi. Hanya ada satu orang laki-laki dan perempuan yang duduk membelakangi mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Karena Takdir [Tamat]
Novela Juvenil[FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA] ------ "Gak semua cowok brengsek seperti yang Lo takutin!" Akibat permintaan dari gurunya yang mengakibatkan mereka jadi dekat. Baru saja ia bisa merasakan bahagianya Cinta. Namun, takdir mengubah semuanya. Ya, karena t...