Part 1| Aku, Dan Trauma

727 46 1
                                    

Saya ingatkan sekali lagi, cerita ini cerita pertama saya.

Jadi maaf bila banyak kekurangannya🙏

REVISI!

****

Silma gelisah dalam tidurnya, kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri berulang kali. Nafasnya pun memburu, menandakan jika tidurnya tidak nyenyak. Memang selalu seperti ini setiap malamnya.

Gadis itu bangun, mendudukan dirinya seraya membuang nafas berat. "Mimpi itu lagi, dan lagi," desisnya, lalu mengacak rambut panjangnya dengan frustasi.

Terbangun di dini hari sudah menjadi rutinitasnya, selalu saja seperti ini. Silma capek, Silma juga ingin merasakan tidur nyenyak seperti orang lain.

Jika sudah begini ia tidak akan bisa tidur lagi, pikirannya selalu berjalan menduga-duga apa yang terjadi di hari esok, bahkan ketika tidur pun Silma sering merasa cemas.

Ia menyibak selimutnya, mengusap wajahnya dengan kasar lalu berjalan ke kamar mandi untuk mencuci mukanya.

Mengidap penyakit mental Anxiety disorder sejak kecil itu menjadi tantangan bagi Silma. Anxiety disorder adalah gangguan kecemasan berlebihan, itu sebabnya Silma tak bisa tidur dengan tenang. Banyak ketakutan yang seolah membunuh Silma.

Setelah merasa cukup segar, Silma berjalan menuju meja belajarnya. Ia menyaut sebuah buku note dan pulpen miliknya, untuk membunuh waktu Silma gunakan waktu ini dengan menulis keluhannya, sembari menunggu adzan subuh.

Pulpen itu pun mulai menari di atas kertas, menuliskan kalimat keluh kesah Silma.

Tuhan, kapan ini semua akan berakhir? Jika disuruh jujur, jujur aku sangat lelah.

Lelah dengan hidupku, meski aku berusaha untuk tetap kuat dan bertahan, nyatanya aku tidak bisa. Aku tetaplah si gadis rapuh, yang mudah sekali mengeluh. Bukannya memang di setiap masalah, pasti selalu ada keluh kesah?

Aku tidak sesabar dan sekuat itu untuk menghadapi ini. Caramu mendewasakanku cukup menguras tangisku.

Terkadang, aku iri dengan kehidupan orang lain. Mengapa aku tidak bisa sebahagia mereka? Mengapa harus aku yang mengalami ini? Mengapa Tuhan?

Jika memang kau memiliki rencana untuk ku, kuharap aku segera menemukan jawabannya.

Tertanda
Aku yang sedang lelah.
•••••

Selain mengidap penyakit mental, Silma juga memiliki trauma, trauma akan ketakutan pada lawan jenisnya. Itu terjadi pada masa ia ketika duduk di bangku SMP, saat itu juga dunianya hancur, Silma diacuhkan, dibully, dan dijauhi.

Hingga dia tak punya teman, tak ada yang ingin berteman dengan si gadis aneh yang selalu takut jika diajak berbicara, kecuali satu orang, namanya Sahara. Dia yang waktu itu sudi berteman dengan Silma, dan tak memedulikan kekurangannya.

Sayangnya sekarang mereka sudah tak satu sekolah, karena gadis itu ikut dengan keluarganya ke kota.

Sebenarnya, Silma bukan takut. Tapi dirinya tidak biasa bersosialisasi, ia selalu menganggap orang-orang itu jahat, selalu merasa curiga. Yang membuat Silma tidak disukai, padahal Silma hanya susah mengakrabkan diri.

¤¤¤


Silma menatap pantulan dirinya di cermin dengan senyum cerah, baju sekolah sudah terpasang di tubuhnya.

Ia meraih parfum, dan menyemprotkan sedikit pada bajunya. "Selamat pagi, selamat memulai hari," gumamnya seolah menyemangati diri.

Memang hanya bayangan yang tidak pernah mengkhinati, Silma suka sekali bercermin memandangi pantulan dirinya. Karena bayangannya tidak pernah meninggalkannya, di saat ia menangis, bayangan pun akan ikut menangis.

Silma tersenyum lebar, mengeratkan ikatan rambutnya. Ia menyaut tas ransel yang tergeletak di meja, sebelumnya Silma telah menyiapkan pelajaran untuk hari ini.

Dengan langkah riang, Silma turun dari tangga dengan senyum yang secerah tadi, namun itu tidak bertahan lama saat melihat kedua orang tuanya di meja makan.  Harapannya untuk sarapan bareng dengan Mamah dan Papahnya memang terwujud, tapi bukan ini yang Silma inginkan, mereka melihatnya tapi hanya sekilas dan lebih memilih menatap benda canggih di tangannya masing-masing.

Kadang Silma juga iri pada ponsel yang dapat mengalihkan perhatian orang tuanya. Huft, masih pagi udah iri aja! batin Silma, ia menarik kembali senyumnya. Tak apalah, setidaknya mereka masih mau sarapan bersama dengannya, meski ia terlihat tak dianggap.


"Pagi Pa, Ma," sapa Silma sambil menarik kursi untuk diduduki. Ia duduk di sebrang orang tuanya.

"Pagi," balas mereka berdua tanpa melihat ke arahnya.

"Pagi Neng Silma." Seorang wanita paruh baya datang memberi segelas susu pada Silma, dia Bi Ijah--- ART di rumah ini. "Ini Neng, susu putih sebelum berangkat sekolah."

Melihat itu Silma tersenyum kecut, ia menerima segelas susu itu. Memang hanya Bi Ijah yang peduli padanya, "Makasih Bi,"

"Sama-sama." Bi Ijah mengusap bahu gadis itu, ia paham apa yang dirasakan dengan anak majikannya ini. "Bibi kebelakang lagi ya?"

"Dihabisi sarapannya sok, biar semangat sekolahnya."

Silma mengangguk, diam-diam dia melirik pada Mamah dan Papahnya yang masih diam fokus pada ponsel. Segitu pentingkah pekerjaan? Sampai di rumah pun mereka tetap seperti itu.

Silma tersenyum masam, orang tuanya ada di hadapan Silma, tapi mengapa Silma merasa terasingkan.

Cepat-cepat dia menghabiskan sarapannya, memang pagi-pagi itu harus banyak makan sarapan, bukan harapan seperti Silma.

"Aku berangkat," kata Silma sambil berdiri dari duduknya, ia menggendong tasnya di punggung.

Akhirnya mereka menatapnya juga, "Hati-hati," pesan Arumi-- Mamahnya, dan kembali pada ponsel.

Sedangkan Zahran-- sang Papah, tidak mengucap apapun, pria itu hanya menyodorkan tiga lembar uang berwarna merah pada Silma, sebagai upah untuk jajan Silma di sekolah selama satu minggu.

Bukan ini yang Silma butuhkan, bukan kata 'hati-hati maupun uang, tapi dia ingin satu kalimat seperti 'Papah anterin yuk?

Atau juga seperti 'semangat belajarnya sayang!'  Itu yang Silma inginkan, tapi nyatanya mereka kembali sibuk seolah susah mengatakan itu.

"Papah gak mau nganterin Silma?" cicit Silma sambil meremas tali tas ranselnya.

"Saya sibuk, pagi ini akan meeting. Kamu berangkat saja dengan Mang Udin!" balas Papahnya dengan dingin.

Silma masih berdiri menatap keduanya bergantian, ia menyodorkan tangan untuk menyalami orang tuanya. Tapi mereka tidak kunjung menyaut tangannya.

"Eh Neng Silma udah mau berangkat?"

Silma menghela nafas lelah, ia menarik senyum sambil berjalan pada Bi Ijah. Mencium tangan wanita itu, untuk pamit.

Bahkan untuk menyalimi tangan orang tuanya saja Silma tidak dapat, keduanya seolah tak mau berkontak fisik dengan Silma.

Silma menatap rumah besar, yang menjadi tempat ia tumbuh sebelum masuk ke dalam mobil. Rumah ini memang rumah, tapi Silma tidak menemukan arti sesungguhnya.

Gadis itu menghela nafasnya, dan masuk ke dalam mobil. Jika pagi di rumahnya seburuk ini, Silma masih bisa menemukan pagi di sekolahnya bukan? Tangannya menepuk pundak Mang Udin, yang duduk di kursi kemudi, "Jalan pak."

Silma hanya perlu tersenyum dan tersenyum, sambil menguatkan dalam hati jika ia bisa melewati semua ini. "Semoga lebih baik," gumam Silma pelan.

****

Tbc.

Semoga suka, jangan lupa untuk memberi vote pada cerita ini🤗

Karena Takdir [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang