PART 59 : Mencoba Ikhlas {End}

321 12 0
                                    


"Segalanya akan terasa berharga jika sudah tidak ada, hanya memori bersamanya yang menjadi salah satu kenangan untuk mengingat kehadirannya."

_______________

Sejak mengetahui segalanya, Darega lebih banyak diam. Bahkan kadang-kadang menangis, saat mendengar detak jantungnya sendiri, itu yang selalu dia lakukan. Dengan itu, Darega merasa jika Silma berada di sampingnya.

Tidak ada gairah kehidupan di matanya, semuanya terasa hampa bagi Darega.

"Ega kamu makan dulu ya?"

Darega menggeleng lemah, lagi-lagi Dahlia menghela nafasnya kasar. Kepergian Silma memang sangat berpengaruh bagi lelaki itu, karena Darega telah menaruh harapan lebih pada gadis itu.

"Makan Ga, lo gak mau kan ngecewain Silma di atas sana. Jangan sampai Silma nyesel ngedonorin jantungnya ke lo," papar Reynald.

Darega menoleh dengan tajam, "Gue gak minta dia untuk donorin jantungnya ke gue, gue cuma minta dia ada di sisi gue!"

Reynald terdiam tak lagi membalas ucapan Darega, ia tahu Darega terluka, terpukul atas perginya Silma. Tapi apa yang bisa di lakukan jika memang takdir sudah mengambil alih segalanya.

"Udah-udah. Makan ya sayang?" lerai Dahlia dia menatap sedih putranya.

"Darega pengen sendiri Mah." Darega memalingkan wajahnya menatap keluar jendela.

Kedua orang itu saling pandang, sama-sama menghembuskan napas kasar. Perhatian mereka teralihkan saat pintu ruang rawat Darega terbuka menampilkan Zadan, istri dan juga anaknya.

"Darega kamu belum makan siang?" ujar Nadin, Bunda tiri Darega.

Nadin berjalan menghampiri Dahlia yang menggeleng lemah, mengusap bahu wanita itu memberinya kekuatan.

Zadan menghampiri Darega yang masih belum memalingkan wajahnya. "Ega?" panggilnya.

Darega berpaling, menatap datar papah kandung dan anak remaja lelaki di samping papahnya.

"Papah?"

Zadan tersenyum sambil mengusap rambut putranya, "Makan ya? emang kamu gak mau ke makam Silma?"

Darega diam, tatapannya lurus kedepan. Dan tanpa komando air matanya kembali luruh seketika mendengar perkataan papahnya. "Silma belum mati!" desisnya.

Zadan menatap Dahlia yang kini ikut menangis di pelukan Nadin, dia menghela napas lalu duduk di brankar Darega. Merangkul pundak putranya.

"Ikhlasin nak, kasian Silma," bisik pria itu.

"Ingat gak tulisan Silma waktu di surat itu? Silma gak pergi jauh dari kamu, dia tetap ada di sini." Zadan menunjuk dada Darega.

"Dengerin detak jantung kamu, itu detak jantung Silma."

Bukannya semakin tenang, Darega malah semakin tersedu hingga Reynald pun kini menghampiri mereka ikut memeluk Darega di sisi kirinya.

Darega meraba pelan dadanya, tangan lelaki itu bergetar saat mendengar detak jantung Silma, "Silma udah gak ada Pah, Rey?" katanya lirih.

Zadan mengangguk, sambil tersenyum hangat. "Ikhlasin ya, biar Silma tenang di sana."

"Makan yuk, nanti kita sama-sama ke makam Silma. Kirim doa buat dia ya?"

Perlahan Darega mengangguk, membuat mereka semua tersenyum. Bahkan Darega juga kini mau makan walau sedikit.

"Bukan cuma lo yang terluka atas kepergian Silma, keluarganya juga sama. Bahkan om Zahran sampai defresi," papar Reynald setelah mereka semua keluar, kini hanya ia dan Darega di ruang rawatnya.

Karena Takdir [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang