Part 18|Secercah Ingatan Yang Hilang

193 20 2
                                    


"Rasa sakit di fisikku tidak sebanding dengan sakit di batinku yang terluka karenamu, ayah."

-------

REVISI!

*****

Motor hitam milik Darega kini telah sampai di depan pagar rumah gadis itu sendiri. Darega menatap Silma yang baru saja turun dari motornya.

"Makasih!" Silma menyerahkan helm ke arah Darega, yang langsung diterima oleh cowok itu sendiri.

Darega mengangguk, dia berdehem sejenak sebelum kembali menutup helmnya. "Hm, gue balik ya?" Lelaki itu menstater motornya bersiap untuk pergi, tapi tatapannya masih tertuju pada Silma yang hanya berdiri.

"Jangan lupa istirahat," cicit Darega pelan, setelahnya motor hitamnya melaju pergi meninggalkan Silma yang melongo.

Silma mengerjapkan kedua matanya, tak lama kuluman senyum tertahan muncul di bibirnya. Gadis itu memekik pelan, sambil berbalik membuka pintu gerbang.

Tapi tak lama senyumnya kembali hilang, melihat mobil hitam milik ayahnya terparkir di halaman rumah.

Nafas Silma semakin tercekat, melihat Zahran yang berdiri sambil bersedekap dada di depan pintu. Raut wajah pria itu tidak bersahabat, apalagi saat tahu anak gadisnya diantar oleh orang asing.

Silma tidak berharap jika Papa akan menyambutnya dengan senyuman, ataupun usapan lembut di kepalanya, Zahran tidak mungkin sudi melakukan itu padanya. Papanya hanya diam dengan tatapan menusuk.

Gadis itu menundukan kepalanya, setelah tiba dihadapan pria itu. Bagaimana pun sikap Zahran, pria itu tetap ayahnya, Silma harus menghormati beliau. Dengan ragu telapak tangan Silma terulur, "Pah, salim," cicit Silma pelan.

Tahu apa yang Zahran lakukan? Pria itu hanya menatap sekilas tangan anaknya yang terulur, dan kembali menatapnya tajam. "Bukannya ini sudah lewat dari jam pulang sekolahmu?!"

Silma menghela nafas, perlahan ia menurunkan tangannya. Bahkan Papanya pun enggan untuk Silma salami, sehina itu kah dia di mata Papanya sendiri?

Gadis itu menundukan wajahnya, "Maaf Pa, tadi Silma sa-"

"Apa hah? Kamu main kan dengan lelaki tadi?!" tuduh Papa memotong ucapan Silma.

Silma menggeleng cepat, "Enggak Pa! Tadi Silma sakit di UKS, dia cuma nganterin Silma aja."

Ia kira Zahran akan sedikit khawatir padanya, atau tidak peduli pada keadaan Silma. Tapi nyatanya, pria itu hanya diam dan tak lama berucap sesuatu yang dapat mematahkan semangat Silma.

Berharap pada Papa adalah sesuatu yang buruk memang.

"Jauhi dia! Ingat, jika kamu masih belum sempurna jangan harap kamu akan dicintai oleh orang lain!"

"Tidak ada yang mau berpacaran dengan gadis bodoh dan cengeng serta lemah macam kamu Silma! Jadi jangan berharap lebih, sekarang yang perlu kamu lakukan adalah belajar!" Zahran menarik dagu Silma hingga gadis itu mendongak.

"Belajar, agar kamu bisa mendapat nilai paling tinggi tanpa ada yang menyaingi!" Pria itu melepaskan dagunya dengan kasar.

"Ingat kamu adalah pewaris keluarga Naladhipa!"

Setetes cairan bening jatuh dari pelupuk mata gadis itu, Silma menatap Papanya dengan tatapan sendu. "Dia juga bukan pacar aku Pa,"

Plakk!

"Saya gak peduli!" bentak Zahran, pria itu menatap datar anaknya yang terduduk karena tamparannya yang terlalu keras. "Saya suruh kamu jauhin dia bodoh! Bukan menjelaskan siapa dia!"

Karena Takdir [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang