53. Andrew

43 14 0
                                    


Aku tidak bisa tidur semalaman.

Otakku terus mengulang kejadian di kamar Alice dan membuatku berguling-guling sambil senyum-senyum sendiri di atas kasur. Tapi, aku masih tidak habis pikir dengan apa yang kulakukan kemarin malam pada Alice.

Kenapa bisa-bisanya aku ingin menciumnya?

Yah, memang aku ingin menciumnya, sih. Tapi, mencium cewek yang bukan pacarku, kan, jadi membuatku tampak seperti playboy. Lagipula, memangnya apa yang harus kulakukan saat itu? Wajahnya benar-benar menggemaskan, membuatku ingin memeluknya erat-erat dan tidak lagi melepaskannya.

"Good night, Princess."

Otakku kembali mereka ulang kalimatku sendiri kemarin malam, dan aku lagi-lagi berguling-guling di atas kasur sambil mengigit guling keras-keras. Astaga, rasanya aku malu sekali hingga mau mati.

Terakhir kali aku seperti ini... saat berhasil nonton berdua dengan Felli, sih, karena teman-teman yang lain kuminta membatalkan janjian supaya bisa nonton berdua.

"Felli, gimana?" suara lain dalam diriku menyahut, membuat rasa gembira di dalam dadaku berangsur reda. "Lo, kan, udah suka Felli dari lama, dan Alice orang baru. Bukannya bisa aja ini cuma ketertarikan sesaat?"

Ini sejak kapan, sih, ada sisi bangsat yang suka mengganggu kesenangan di dalam diriku sendiri? Apalagi, perkataannya tidak bisa kubantah. Nyebelin banget, sumpah. Nggak asyik.

"Kan, gue cuma ngomong. Memangnya lo yakin perasaan ini nggak sesaat? Dalam hubungan, ada yang namanya rasa bosan, dan saat bosan, orang baru terasa lebih seru, loh." sahutnya lagi.

Hubungan apa? Gue sama Felli nggak ada hubungan apa-apa dari dulu. Lo, sih, nggak sadar diri, di-friendzone berapa lama, nggak move on-move on. Giliran gue mau move on, malah lo ngomong—

Tring....

Ponselku membuyarkan perdebatan kami. Aku buru-buru mengecek layar untuk melihat siapa orang kurang kerjaan yang menggangguku di pagi hari. Eh, tapi, satu-satunya orang kurang kerjaan yang suka menggangguku, kan... Alice.

Dengan jantung berdebar, aku membuka pesan tersebut dari dalam inbox-ku. Alangkah kecewanya aku saat menyadari pesan itu bukan dari Alice, tapi dari Topeng Monyet. Hah, mau apa lagi psikopat itu menggangguku di pagi-pagi buta seperti ini?

'Selamat! Jawaban Anda benar:)'

Aku bolak-balik membaca pesan dari Topeng Putih sambil membelalak tidak percaya.

Akhirnya! Akhirnya! Akhirnyaaa! Jawaban kami akhirnya benar. Meskipun foto Max yang ia ambil cukup mengganggu dan creepy, tetap saja aku senang karena akhirnya jawaban kami benar!

Entah sudah berapa kali aku melompat sambil mengepalkan tanganku sendiri di dalam kamar, tapi kebahagiaan masih meluap-luap di dalam dadaku. Rasanya aku ingin berteriak, "Makan, tuh, Topeng Anjing! Akhirnya lo nggak bisa nangkep korban, kan? Mampussss." sambil berkeliling asrama. (Yah, aku maunya langsung memaki si bajingan di depan wajahnya, sih, tapi sayangnya aku belum tahu siapa yang ada di balik topeng itu, jadi keliling asrama boleh juga).

Tok tok tok

Sebuah ketukan di pintu kamarku memotong pesta perayaan kecil-kecilan yang baru saja kuadakan sendiri. Siapa lagi yang mau menggangguku di pagi hari seperti ini? Aku buru-buru mengenakan kaos dan membuka pintu kamar.

"Hai." sapa orang di depan pintu sambil tersenyum ramah dan melambaikan tangannya santai.

Itu Felli. Ia sudah mengenakan seragam putih abu-abunya, lengkap dengan dasi yang dipasang rapi. Rambutnya diikat ekor kuda, menyisakan poni yang tergerai rapi membingkai wajah bulatnya. Di bahu kanannya, tersampir totebag kesayangannya.

Aku benar-benar bersyukur ia tidak terlalu mencari tahu soal pelaku di balik kejadian yang menimpanya dan memilih untuk move on kembali menjadi Felli yang biasanya. Aku sudah berusaha membungkam orang-orang yang tahu soal itu agar ia tidak terpukul karena Felli termasuk salah satu orang yang dekat dengan Willy. Pokoknya, aku tidak mau cewek itu jadi sedih dan terpukul sepertiku kala itu.

"Ngapain lo ke kamar gue pagi-pagi?" tanyaku sambil membalas senyumnya.

"Mau mastiin aja si Kampret nggak bolos sekolah kayak biasanya." sahutnya sambil menyilangkan tangan di depan dada. "Ini udah mau bel, sih. Lo nggak mandi?"

"Gue berniat bolos, sih." sahutku santai sambil menyisir rambut dengan tangan.

"Nggak!" hardiknya sambil mengulurkan tangan ke arahku. Ia mencubit pipiku perlahan, lalu melanjutkan, "Nggak ada, ya, bolos-membolos di bawah pengawasan gue. Udah, nggak usah mandi. Buruan berangkat."

"Oke, okee." sahutku pasrah sambil berusaha melepaskan cubitan gemasnya pada pipiku yang mulai terasa sakit. "Gue ganti dulu."

Aku menutup pintu di belakangku dan buru-buru mengenakan seragam sekolah.

Aneh. Tidak biasanya Felli datang ke kamar untuk mengajakku berangkat ke sekolah bersama. Apa ada masalah? Atau dia baru saja mendengar kabar soal Willy adalah pelaku di balik Topeng Putih? Nggak, sih, kalau seandainya begitu, mungkin dia bakal murung dan menangis terus menerus.

"Udah, nih." kataku malas sambil berjalan keluar.

"Yuk." ajaknya sambil berjalan mendahuluiku.

"Kenapa, nih, lo pagi-pagi ke kamar gue? Pasti ada maunya." cibirku.

"Eh, enak aja. Gue bukan tipe sahabat yang dateng kalo ada maunya doang, ya." balasnya santai. "Tapi... memang ada yang mau gue omongin sama lo, sih."

Jantungku mendadak berhenti berdetak saat itu juga. Aduh, aku paling benci kata "gue mau ngomong sama lo", karena semua hal yang serius pasti diawali dengan kalimat tersebut, dan semua yang serius, aku benci.

"Apaan, sih, serius amet." timpalku sambil tersenyum canggung.

"Bercanda, hehehe." sahutnya sambil mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya bersamaan, membuat simbol peace sambil menjulurkan lidahnya.

"Emang si anjir satu ini minta ditampol, ya." sahutku bercanda sambil mengepalkan tangan ke arahnya.

"Nggak, sih. Tapi, serius, deh. Gue cukup seneng sama lo." sahutnya santai.

Jantungku mendadak berhenti berdetak.

"Hah? Maksudnya?" tanyaku gelagapan.

"Mikir apa, lo?" balasnya sambil tersenyum geli dan meninju bahuku perlahan. "Maksud gue... gue cukup seneng sama perilaku lo ke gue saat ini. Anak-anak lain cenderung merlakuin gue kayak gue penyakitan gitu; jadi aneh rasanya. Mereka lebih hati-hati aja, gitu, ngomong sama gue."

"Padahal lo-nya paling nggak suka yang formal-formal gitu." timpalku.

"Iya. Maksud gue gitu! Memang cuma lo yang ngerti gue, dah." sahutnya semangat sambil mengacungkan jempol ke arahku.

Aku tersenyum bangga. Namun, saat itu pula, suara lain dalam hatiku menyahut.

"Hayo, Felli atau Alice?"

[COMPLETED] Curse of the Suicide GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang