14. Rosaline

62 12 0
                                    

Aku hanya bisa mematung di tempat ketika mendengar kalimat itu.

"Alexa hilang."

Mendengarnya, otakku otomatis memutar ulang kejadian kemarin saat aku menguping pembicaraan Kak April dan Kak Sally di kamarnya,

"Kamar Andrea gimana? Andrea juga pasti mau."

"Trus kembarannya?"

"Buang ke laut."

Oh, tidak.

Jangan-jangan...

"Tabah ya Dre, gue yakin pasti berat banget buat lo." kata Bryan, berusaha menghibur Andrea yang masih tertunduk depresi di kasurnya. "Tapi, kok lo bisa tahu dia hilang? Maksudnya, bisa aja dia pergi ke mana gitu dan belum balik, kan? Deket sini ada mal, lho."

"Nggak mungkin. Lo, kan, tahu sendiri Alexa, dia mana suka jalan-jalan di mal. Biasanya kalau libur atau nganggur pun, dia selalu ada di kamar. Tapi dari kemarin... dia belum balik ke kamar. Pas gue nanya-nanya orang pun, nggak ada yang liat." jelas Andrea, matanya berkaca-kaca.

"Udah coba lo telepon anaknya?" tanyaku.

Ia mengangguk, lalu menghela napas panjang sambil menunjuk ke arah kasur Alexa dengan pasrah. "HP-nya aja ditinggal di kamar."

Kami hanya bisa menatap benda mungil di atas kasur itu dengan putus asa.

"Padahal, kemarin siang sebelum gue kumpul sama anak-anak cheers dan ketemu lo di depan kamar Kak April, dia masih SMS-an di kamar, loh." curhat Andrea. "Setelah pertemuan itu, dia langsung ilang gitu aja dan nggak balik sampe sekarang."

"Tabah ya Dre, semoga aja dia nggak apa-apa." sahutku sambil duduk di sampingnya dan memegangi bahunya yang mulai bergetar menahan tangis. "Mungkin emang dia lagi pergi ke mana gitu, trus lupa ngomong."

"Em, Dre, boleh nggak gue minta tolong lo lihat isi HP-nya Alexa? Kemungkinan besar... petunjuk hilangnya Alexa ada di sana." sahut Bryan.

Andrea bergeming sejenak, seperti baru menyadari hal yang penting. "B-Bener juga. Alexa, kan, jarang banget SMS-an sama orang selain gue!" Katanya, buru-buru meraih ponsel Alexa dan memainkan jarinya di atas benda tersebut.

Setelah membaca sesuatu di layar ponsel Alexa, badannya langsung gemetar. Air mata membanjiri matanya yang kini melotot tak percaya. "Harusnya gue sadar dari awal. Kok gue bego banget, sih."

Aku buru-buru menenangkan Andrea yang mulai sesenggukan lagi di bahuku sambil menatap ke arah Bryan yang berdiri diam di tempat sambil melirik ke arah ponsel Alexa di samping kami berdua. Ia mengangkat ponsel itu dengan ragu-ragu dan membaca isi pesan di dalamnya. Alisnya langsung bertaut kemudian.

"Sebelum ini Alexa SMS-an sama Kesha, dia disuruh pergi ke lab biologi sekolah soalnya Kesha mau pinjem catetan." katanya sambil melirik ke arahku.

Kini ganti mataku yang melotot tidak percaya.

Kesha? Jangan-jangan dugaanku selama ini benar? Tapi percakapan Kak April kemarin... Eh, tapi yang tidak ada di tempat saat Alexa menghilang, kan, hanya Kesha.

"Gue harus gimana, Sa?" tanya Andrea dalam sesenggukannya. Ia masih memelukku erat, tampaknya terlalu syok menyadari ini semua. "M-Masa Kesha yang nyulik Alexa? Gimana Sa..." rengeknya.

"Tapi nggak menutup kemungkinan kalau Alexa diculik waktu perjalanan nemuin Kesha." sahut Bryan.

"Hueeee... Trus siapaaa? Alexa ke manaaa?" rengek Andrea makin keras.

Sepertinya seorang Bryan juga sama tidak pekanya dengan cowok-cowok lainnya. Aku menatapnya, mengisyaratkan agar ia tutup mulut dulu karena saat ini bukan saat yang tepat untuk membahas siapa pelakunya.

"Sstt... Alexa pasti baik-baik aja kok, Dre. Lo tenang dulu, ya... Kita pikirkan ini sama-sama." bisikku, berusaha menenangkan Andrea di pelukanku sambil melirik Bryan yang masih memandang kami berdua dengan raut serius.

Kesha... kalau benar semua ini adalah ulahnya, aku tidak menyangka ternyata dia adalah orang seperti itu.

 kalau benar semua ini adalah ulahnya, aku tidak menyangka ternyata dia adalah orang seperti itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
[COMPLETED] Curse of the Suicide GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang