90. Sam

41 11 0
                                    

Goblok. Goblok. Goblok. Goblok.

Rasanya, perutku sakit banget. Memang, perut yang nggak kooperatif ini suka tiba-tiba mulas di saat-saat genting. Masalahnya, aku nggak bisa kembali ke asrama untuk menyambangi toilet seperti saat pengejaran dengan Willy dulu. Soalnya, sekarang, aku bahkan nggak tahu sedang ada di mana. Kalau keluar dari sini, aku tiba-tiba disambut sekawanan unta dan ternyata sudah berada di Mesir pun, rasanya aku nggak bakalan kaget.

Bagaimana bisa situasi jadi seperti ini, sih?

Saat berlari-lari kecil menyusuri lorong panjang berdinding semen yang asing itu, menuju sumber cahaya redup di kejauhan, aku nggak berhenti memikirkan apa yang harus kulakukan kalau benar-benar bertemu Topeng Putih. Aku nggak bakalan bisa menangkapnya karena, selain berbadan jauh lebih pendek darinya, aku harus mengakui bahwa aku juga nggak punya kemampuan bertarung kayak Monster Andrew atau Bryan.

Bagaimana kalau Topeng Putih menyergap dan memutuskan untuk memutilasiku di tempat antah-berantah ini? Nggak bakalan ada yang bisa mendengar, apalagi menemukanku di sini. Alice si Kura-kura Lemot juga entah ingat atau nggak sudah melepaskanku secara semena-mena ke kandang macan seperti ini...

Oke, aku tahu apa yang kau pikirkan. Bukankah selama ini, aku berkoar-koar kalau aku ini dewa sakti yang bisa melakukan apa pun? Maaf untuk mengecewakanmu, tapi di saat-saat seperti ini, aku nggak bisa berkutik. Tambahan lagi, aku ketakutan banget, karena sejatinya, aku juga cuma manusia biasa, walaupun beberapa kali lipat lebih keren daripada orang lain.

Berkas cahaya yang sejak tadi kukejar ternyata bersumber dari sebuah senter yang tergeletak di lantai ujung lorong. Sepertinya, siapa pun pemilik senter itu ceroboh banget sampai-sampai menjatuhkan benda itu di sini. Aku memungut dan menggenggam senter itu. Selain karena situasi gelap gulita, aku juga berniat menjadikannya senjata darurat, walaupun nggak kepikiran skenario apa pun yang melibatkan menang melawan pembunuh keji berkat senter plastik. Ah, bodo amat. mungkin bisa aku jejalkan ke mulutnya saat ia sedang mangap atau apa.

Kusorot dinding di hadapanku dan mendapati sebuah pintu besi karatan menjulang tinggi. Karena nggak ada jalan lain lagi, aku yakin seratus persen Topeng Putih pasti kabur lewat sini.

Mati, lah. Pintunya mengarah ke mana, ya? Jangan-jangan... ke rumah Topeng Putih?

Masuk akal. Topeng Putih, kan, pasti punya rumah.

Wajahku memucat membayangkan apa yang menunggu di balik pintu. Haruskah aku masuk?

Alice kampret. Dia itu benci padaku, ya? Seenaknya sendiri melepaskanku ke sini sementara dia kedapatan tugas gampang. Joshua juga kampret. Setelah menyuruh kami mengejar Topeng Putih, dia nggak menyusul. Padahal, dia, kan, tahu, aku dan Alice nggak bisa apa-apa. Para monster juga ke mana, sih? Harusnya, mengejar psikopat, kan, tugas monster, yang sebanding seramnya.

Berusaha mengabaikan rasa takut dan kesal terhadap teman-temanku yang menghilang secara kurang ajar, aku menarik engsel pintu terbuka dengan susah-payah, karena pintu itu lumayan berat. Begitu berhasil masuk ke ruangan di baliknya, aku langsung melongo.

Ini, kan, gorong-gorong?

Terbentang di hadapan mataku adalah saluran air raksasa yang bentuknya menyerupai gua. Dari langit-langit, tetesan air beberapa kali jatuh, menimbulkan bunyi bergema yang seram abis, mengingatkanku akan film-film horor yang akhir-akhir ini kutonton. Sesuai dugaan, bau yang menyengat pun langsung tercium. Apa Topeng Putih selama ini tinggal di got?

Mataku membelalak saat sebuah penyadaran menyambarku.

Apakah Topeng Putih... badut dari film IT?

Masuk akal. Selama ini, dia, kan, nggak pernah menunjukkan mukanya. Mungkin saja itu bukan cuma gara-gara nggak ingin ketahuan orang, tetapi juga karena mukanya berupa muka badut jenong dengan makeup super menor. Seandainya aku punya muka seperti itu, aku juga pasti bakal mati-matian berusaha menyembunyikannya, sih.

[COMPLETED] Curse of the Suicide GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang