Langit berhias awan mendung ketika kami, satu-per-satu, mulai tiba di asrama. Aku melirik Gwen, yang berjalan bersama denganku dari mal tanpa mengatakan apa pun. Hari ini, ia sepertinya terus larut dalam pikirannya sendiri. Bukannya aku tidak memaklumi hal itu, sih. Situasi memang kacau, mengingat kurang dari dua puluh empat jam lagi, kami akan berada di sebuah tempat, entah di mana, berhadapan dengan psikopat gila yang membawa sandera-sandera tak berdosa. Tetapi, aku penasaran dengan apa yang dipikirkan oleh Gwen. Apa ia memiliki rencana?
"Jo," panggilnya tiba-tiba, saat kami mulai melangkah memasuki gedung asrama. "Mau ke kamarku?"
Aku tertegun. "Kamarmu?" ulangku skeptis, "Nggak salah?"
Gwen terdiam, seperti ikut menimbang-nimbang apakah perkataannya barusan salah atau tidak. Lalu, ia menggeleng. "Nggak," jawabnya, "Ada yang perlu kubicarain, dan harus di kamarku."
"Kalo gitu... nungguin An—temen kita—dulu?" saranku, "Kita, kan, harus jagain dia."
"Nggak perlu," balasnya acuh, "Satu aja udah lebih dari cukup buat jagain dia. Lagian, nggak bakal terjadi apa-apa. Kalau misal orang yang kamarnya dia kunjungi beneran Voldemort pun, dia nggak bakal melakukan apa-apa—nggak sekarang."
Aku tersenyum geli. "Nyimak juga ternyata," godaku. "Iya, sih. Bener juga. Boleh, deh."
Gwen membuang muka. "Ya udah," katanya lirih, "Yuk."
Aku pun mengikuti langkahnya, naik menuju lantai empat. Sejak tadi, aku tidak melihat tanda-tanda keberadaan Sam di mana pun. Bocah itu paling-paling ngacir paling awal karena ingin tidur siang. Tetapi, kali ini, aku tidak menyalahkannya. Rasanya, kami semua butuh istirahat yang cukup sebelum menghadapi hari esok, yang kemungkinan akan menjadi hari yang panjang.
Bunyi klek saat kunci pintu diputar membuyarkan lamunanku. Gwen mendahuluiku masuk ke kamarnya, meninggalkan pintu terbuka sehingga aku bisa menyusul. Mendadak, kupu-kupu di perutku kembali lagi. Aku tidak pernah masuk ke kamar cewek sebelumnya, kecuali, tentu saja, kamar Alice—itu pun hanya saat bersama yang lain, dan aku selalu sengaja datang agak terlambat. Bahkan, saat kecil pun, aku selalu takut memasuki kamar Gwen karena saat itu, ia memiliki dua teman sekamar, sedangkan kamarku selalu kosong karena teman-teman sekamarku menganggapku pecundang dan selalu memilih untuk menginap di kamar anak lain. Maka dari itu, melangkah memasuki kamar Gwen, jantungku berdegup sedikit lebih kencang.
Kamar di hadapanku memiliki tatanan polos yang sama persis dengan milik Bryan dan Alice. Tetapi, di beberapa sudut, tampak sentuhan khas Gwen yang membuatku tidak bisa menahan senyum—buku-buku novel detektif pinjaman dari perpustakaan yang ditumpuk rapi di sudut meja, beberapa lukisan potret wajah yang dipajang di tembok belakang kasur, jam dinding hitam beraksen logam berukuran super besar, bau manis vanila yang selalu tercium dari tubuh Gwen, hanya saja tiga kali lebih kuat. Orang lain mungkin tidak tahu bahwa cewek ini sangat menghargai keindahan dan ketenangan, atau bahwa ia pandai melukis, atau bahwa ia sedikit rabun dan benci mengakuinya, tetapi semua itu tidak asing bagiku.
"Wow," komentarku, "As expected from your room."
"Kenapa?" tanyanya sambil mengangkat sebelah alis, "Bertolak belakang, ya, sama kamarmu yang kayak habis kerampokan?"
"Wah, nggak perlu segitunya juga, loh," balasku, "Sakit hati aku."
Ia mendengus geli. "You should be honored," katanya, "Nggak ada yang pernah masuk ke sini sebelumnya, dan aku nggak pernah berpikiran mau ngajak kamu, atau siapa pun, ke sini sampai kapan pun."
"Oke, oke," balasku sambil tersenyum lebar, lalu membungkukkan badan untuk menggodanya. "Terima kasih atas kehormatan ini, Paduka."
Gwen memutar kedua bola mata. "Udah, ah," katanya, "Ada hal penting yang harus dibahas." Setelah mengatakan hal itu, ia berjalan menuju meja belajar di sudut ruangan, lalu membuka laci meja, membongkar seluruh isinya, dan menarik sesuatu dari dasar. Begitu kusadari, itu adalah sebuah papan tripleks seukuran laci, yang pasti dibuatnya sendiri untuk menciptakan tempat penyimpanan rahasia. Aku berjalan mendekat dan melihat bahwa di dasar laci yang sesungguhnya, tergeletak topeng putih yang familier.
KAMU SEDANG MEMBACA
[COMPLETED] Curse of the Suicide Game
Misteri / Thriller[WARNING: Mengandung kata-kata umpatan dan adegan kekerasan yang kurang sesuai untuk anak-anak] Sosok psikopat di balik topeng putih yang menjadi momok siswa-siswi masih berkeliaran. Namun, Tim detektif amatir IMS (Infinite Mystery Seeker), yang ber...