38. Alice

59 11 0
                                    

"Alice kalo udah besar, mau jadi apa?" Ayahku menanyakan sebuah pertanyaan yang membuatku menjawab spontan tanpa perlu berpikir dua kali.

"Jadi polisi kayak Ayah. Memberantas kejahatan!" sahutku sambil mengangkat kedua tangan di udara.

"Hahahaha... Bagus! Alice harus makan yang banyak biar kuat, bisa lawan penjahat." sahut ibuku sambil memasukkan sesendok nasi dan lauk ke dalam piringku. Gelap setelahnya.

Aku terbangun di dalam ruang gelap gulita yang sempit. Hanya ada sebuah celah kecil yang cukup untuk mengintip di depanku. Aku melongok ke dalam lubang itu dan melihat ayah dan ibuku sedang tidur tenang di kasurnya. Detik selanjutnya, ketenangan itu beralih menjadi bencana.

Topeng Putih menerobos ke dalam kamar mereka.

Ia mengangkat pisaunya tinggi-tinggi dan menikam keduanya ketika mereka sedang tertidur pulas. Ayahku terjaga karena ia menikam Ibu terlebih dahulu, dan segera berteriak kesetanan. Aku menutup mata, hanya bisa mendengar teriakan kesakitan ayah setelahnya.

Mereka pun tergeletak di atas kasur mereka, bersimbah darah dan tak berdaya.

Topeng Putih kemudian menoleh ke arahku, membuatku terkesiap dan mundur beberapa langkah. Aku membungkam mulutku yang mulai mengeluarkan isakan agar tidak bersuara. Namun, ia tahu aku ada di sana. Ia menuangkan bensin ke arahku, ke seluruh ruangan, dan kemudian melemparkan korek api untuk membakar hangus kami bertiga. Rasa panas dan sesak membuatku tercekik. Napasku tercekat, ditambah aku masih sesenggukan lantaran rasa sakit yang menjalar di dadaku tidak tertahankan.

Aku terjaga setelahnya. Ternyata hanya mimpi.

Ayah, ibu...

Aku membungkam isakanku dengan bantal dan menangis sepuasnya malam itu. Mungkin, teman-temanku tidak tahu kalau aku masih memikirkan orang tuaku, karena aku mati-matian menyembunyikan rasa sedih ini di depan mereka. Aku sungkan. Mungkin saja, ceritaku tidak ada apa-apanya dibanding masalah keluarga mereka, dan mungkin aku tidak berhak menangis seperti ini. Aku takut ceritaku membangkitkan kesedihan lama yang sudah berusaha mereka pendam.

Setelah puas menangis, aku kembali memejamkan mataku, berusaha untuk tidur.

Namun, sayangnya, rasa kantuk sudah tidak lagi kurasakan. Malahan, otakku terus dipenuhi dengan bayangan Topeng Putih yang menghujamku dengan pisau. Mungkin udara segar bisa membuat pikiranku menjadi lebih tenang.

Begitu kubuka pintu kamarku, aku langsung melihat punggung seorang laki-laki yang sedang bersandar pada balkon asrama, larut dalam pikirannya sendiri.

Itu Bryan.

Aku tidak mau ia melihatku seperti ini lagi. Sudah terlalu sering aku menangis di depannya, dan aku tahu, pasti wajahku sangat jelek kalau sedang menangis. Aku menutup kembali pintu kamarku perlahan-lahan, namun sebuah suara terdengar setelahnya, "Lo juga nggak bisa tidur?"

Astaga, dia tahu aku baru saja berniat keluar kamar. Akan tidak sopan kalau aku pergi begitu saja. Jadi, aku kembali membuka pintu kamarku seakan tidak terjadi apa-apa dan menyahut, "I-Iya."

Untungnya, ia tidak berbalik. "Kenapa?" tanyanya lagi.

"Eh... nggak apa-apa," sahutku berbohong. "Lo sendiri kenapa nggak bisa tidur?"

"Gue..." Bryan menggantungkan kalimat di udara. "Nggak apa-apa juga, sih, cuma kepikiran. Kok, penyelidikan kita kayaknya nggak ke mana-mana, sampe malem ini kita batal kumpul karena nggak ada progress. Padahal, gue udah nanya-nanyain anak basket dari A sampe Z, tetep nggak ada yang tahu atau lihat Luke sebelum diculik."

Aku menghela napas panjang. Sepertinya Bryan juga berbohong soal alasannya tidak bisa tidur. Sejujurnya, ia bukan orang yang jago berbohong, sehingga aku langsung bisa tahu hanya dengan melihat gerak tubuh dan ekspresinya.

[COMPLETED] Curse of the Suicide GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang