51. Alice

45 15 0
                                    

Semua orang sudah kembali ke kamar masing-masing.

Aku segera membereskan kamarku yang sedikit berantakan, dan merebahkan diri ke atas kasur. Sebenarnya, aku masih penasaran dengan identitas penjual ilegal yang saat itu ayahku tangkap. Namun, aku sama sekali tidak mendapatkan ide bagaimana menelusuri artikel tersebut.

Aku sudah mencoba browsing siang ini, namun artikel itu sudah terlalu lama sampai-sampai sangat sulit untuk bisa menemukannya. Aku mencoba berbagai cara browsing dan berbagai mesin pencarian, tapi tetap tidak menemukannya. Masa aku harus mencari salinan koran lama tahun 1989? Tapi... di mana toko yang masih menjualnya, dan bagaimana aku bisa ke sana?

Tok tok tok

Ketukan di pintu kamar membuatku langsung terduduk di atas kasur. Siapa yang mengetuk pintu kamarku malam-malam begini? Apa Bryan? Tapi, sepertinya tadi ia sudah kembali ke kamarnya. Apa jangan-jangan...

Itu Topeng Putih?

Pemikiran itu membuat jantungku langsung mencelos jatuh ke perut. Napasku tertahan dengan sendirinya. Otakku buru-buru mengingat apakah aku sudah mengunci pintu kamar. Sudah belum, ya? Kayaknya sih, sudah—apa belum, ya?

Mampus....

"Lice? Masih bangun?" tanya suara itu dalam bisikan.

Aku langsung menghela napas yang sempat kutahan dan berjalan ke arah pintu untuk membukanya.

"Gue kira lo Topeng Putih, Br—" Perkataanku langsung terpotong ketika melihat yang berada di depan pintu bukanlah Bryan, melainkan Andrew. "Oh, wow, gue nggak menduga itu lo."

Aku buru-buru menyisir rambut dengan tangan perlahan, sambil memaksakan seulas senyum. Yah, semoga saja tampangku masih baik-baik saja.

"Trus, lo menduganya siapa?" sahutnya sambil memicingkan mata penuh selidik. "Bryan?"

"Yah..." kataku sambil tersenyum canggung. Raut wajahnya sedikit berubah kemudian.

"Emang biasanya ngapain bajingan itu ke sini malem-malem?" cibirnya. "Kalian nggak—"

"Wei, tentu nggak." sanggahku buru-buru.

"Trus, kalo dia boleh masuk, gue boleh masuk juga, dong?" tanya Andrew sambil melangkah maju, membuatku langsung terkesiap.

Kini wajahku hanya terpaut beberapa sentimeter dari dadanya. Aku buru-buru mendongak untuk melirik wajahnya. Ia balik menatapku, dan detik selanjutnya aku langsung mengalihkan pandangan dan mundur selangkah.

"Iya, masuk aja." sahutku sambil mengambil jarak perlahan hingga menempel di tembok.

Astaga. Jantungku sudah seperti mau copot.

"Emang Bryan ke sini biasanya ngapain?" tanya Andrew, belum puas, sambil menutup pintu di belakangnya.

"Yah... kebanyakan bahas soal penyelidikan, sih." jelasku.

"Oh." sahut Andrew sambil tersenyum entah karena apa, lalu bersandar pada pintu di belakangnya. "Nggak asyik ya, orangnya. Masa, berduaan sama lo, bahasnya penyelidikan."

"Eh... ya... gitu, deh." sahutku sambil ikut tersenyum, entah karena apa juga.

"Trus, lo gimana sama dia?" tanyanya.

"Maksudnya?" tanyaku balik, tidak paham.

"Kayaknya kalian deket banget, tuh." sahutnya dengan nada mencibir.

"Nggak segitunya, kok." balasku spontan.

Nggak sedeket lo sama Fellicia. Lalu, otakku yang kampret memutar memori Andrew yang tengah berbincang seru dengan Fellicia, dan aku langsung kesal setengah mati.

[COMPLETED] Curse of the Suicide GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang