"Gue nominasiin Iris," Alice berkata dengan pede, "Menurut gue, teka-teki itu cocok banget sama dia. 'Ada, namun tidak terasa' bisa jadi maksudnya dia selalu ngawasin kita lewat CCTV, tapi kita nggak kerasa aja."
"Menurut gue juga masuk akal," Joshua menyetujui, "Iris, deh."
Aku melirik Joshua dengan kesal. Seharian ini, sesuai dugaan, ia bersikap seperti biasa, seolah tidak terjadi apa-apa. Kemarin malam pun, saat aku terburu-buru menyudahi pertemuan demi bisa mengobrol dengannya, ia malah menghindariku lagi dan menolak kuajak berkunjung ke kamar sebelum tidur. Sekarang, ia mau melanjutkan diskusi seperti biasa?
Aku menghela napas panjang.
Ya sudah, sih. Memangnya aku bisa apa? Kalau bukan gara-gara Topeng Putih sialan yang tidak memberi kami jeda untuk bernapas itu, aku pasti sudah bisa mengalihkan pikiran barang sejenak saja dari tebak-tebakan pelik yang ia jejalkan ke kepala kami secara paksa.
"Gue mau nominasiin Jeffrey aja, lah," Sam berujar, "Soalnya mendingan Jeffrey jawabannya daripada kalo dia Topeng Monyet."
"Ya, kan, pilihannya nggak cuma dua," Joshua memutar kedua bola mata.
"Ih, diem, deh!" Sam menyahut tidak terima, "Kalo dia jawabannya, kan, dia nggak mungkin Topeng Monyet. Lebih aman, gitu, loh."
"Tapi, guys," aku menengahi, "Mungkin, nggak, sih, kalo kali ini dia bener-bener bermaksud salah satu dari kita?"
Andrew mendengus. "Lo inget terakhir kali lo ngusulin begitu, jadinya gimana?"
Aku meliriknya sekilas. Hari ini, ia bersikap ketus terhadapku. Aku jadi tidak bisa berhenti bertanya-tanya, apakah benar yang kulihat kemarin adalah kecemburuan? "Ya...," aku berusaha untuk tetap terdengar netral, "Siapa tahu, kan, dia mau bikin kita lengah."
"Tapi kalo di tim kita, memangnya siapa?" Rosaline bertanya.
Kami semua langsung berpandang-pandangan, mendadak saling menyadari peran satu dengan yang lainnya. Rosaline, tentu saja, adalah jawaban mudahnya. Selama ini, ia selalu berada di bawah bayang-bayang Kesha, mantan sahabatnya sekaligus anggota tim cheerleaders yang dominan. Tetapi, bukankah setelah bergabung dengan kami, ia sudah lebih independen sebagai seorang individual?
Sam adalah yang selanjutnya. Kalau ada orang yang jarang diperhatikan perkataannya dan selalu membutuhkan orang lain, itu adalah dia. Bahkan, dia tidak akan terseret masuk ke tim ini kalau bukan gara-gara mengikuti kami. Ide Sam berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain terdengar terlalu muluk-muluk bagiku.
Lalu, ada Joshua. Kendati memiliki paras di atas rata-rata dan talenta yang luar biasa di bidang fotografi, ia adalah sosok yang sangat low-profile dan tidak ingin menarik perhatian. Selama ini, ia juga selalu ada di bawah bayang-bayangku—bukannya bermaksud menyombong, ya. Salah satu sifatnya yang paling mencolok juga adalah setiakawan—walaupun sekarang, aku tidak yakin soal itu...
Ah, kenapa, sih? Kenapa ujung-ujungnya aku selalu kembali pada pemikiran itu? Aku harus mengajak Joshua bicara sesegera mungkin. Kalau tidak, aku bisa gila.
"Di antara kita, bisa jadi Rosa, Sam, atau Joshua," usulku, memecah keheningan panjang, mencoba mengalihkan pikiran dari hal-hal negatif.
"Eh, kok, gue, sih!" Sam, sesuai dugaan, langsung melancarkan aksi protes, "Maksudnya gara-gara gue pendek, gitu, jadi selalu kena bayangan? Tersinggung, loh, gue!"
"Nggak ada yang ngomong gitu, loh," balasku tenang. "Alasan gue ngusulin tiga orang itu adalah: pertama, Rosa—"
Bunyi bel yang nyaring menginterupsi perkataanku. Jam istirahat sudah usai.
KAMU SEDANG MEMBACA
[COMPLETED] Curse of the Suicide Game
Mystery / Thriller[WARNING: Mengandung kata-kata umpatan dan adegan kekerasan yang kurang sesuai untuk anak-anak] Sosok psikopat di balik topeng putih yang menjadi momok siswa-siswi masih berkeliaran. Namun, Tim detektif amatir IMS (Infinite Mystery Seeker), yang ber...