42. Joshua

57 13 2
                                    

"Josh?" Bryan mengetuk pintu kamarku dengan pelan. "Bisa ngomong bentar?"

Aku tidak merespons. Bukannya aku tidak ingin menyelesaikan masalah dengannya, tetapi, sekarang, rasanya seluruh sel otakku seperti sedang terbakar, dan aku tidak tahu hal busuk apa yang akan keluar dari mulutku di saat-saat seperti ini.

Kenapa?

Kenapa dia harus melakukan itu?

Gwen tidak ingin memberitahu IMS karena salah satu di antara mereka mungkin saja berada di pihak Topeng Putih. Sejak mengetahui hal itu, sekelumit kecurigaan tanpa sadar tertanam di dalam benakku. Aku tahu, orang itu tidak mungkin Bryan. Aku juga sudah memaafkannya karena mengikutiku dengan tidak sopan. Tetapi, kalau saja ia mengajakku berbicara secara pribadi, bukannya mengeksposku di depan semua orang seperti itu...

Aku menghela napas panjang. Sejak beberapa menit yang lalu, mataku tak lepas dari pesan yang dikirimkan Topeng Putih sesaat setelah aku masuk ke dalam kamar.

'Oops! Siapa bilang kamu boleh mengundang teman ke rumahku? Karena tidak sengaja, kuampuni. Aku tidak akan mengeksekusi 4 orang ini. Sebagai gantinya, the game is on, and it's on you, Joshua:)'

Aku meremas selimut hingga jari-jariku memutih. Aku tahu, ini bukan sepenuhnya salahku seperti yang Topeng Putih ingin aku pikirkan. Tetapi, tetap saja, kalau aku lebih berhati-hati...

"Josh? Gue minta maaf. Gue tahu, nggak seharusnya emosional begitu." Suara Bryan masih saja terdengar dari luar. "Tapi, please, kasih tahu gue alesannya, dong."

Aku tetap tidak menjawab.

Setelah keheningan mengambil alih selama beberapa saat, Bryan akhirnya menyerah. "Tolong ngomong ke gue, ya, kalo udah nggak marah. Gue nggak berharap dimaafin, tapi please, jangan kayak gini." Jeda sejenak, lalu ia menyambung, "Gue pergi, ya, Josh? Sekali lagi, maaf."

Setelah itu, aku mendengar bunyi langkah kakinya, semakin pelan dan pelan, hingga akhirnya tak lagi terdengar. Aku bisa merasakan sebutir air mata jatuh dari pelupuk mataku. Lalu, sebutir lagi, dan sebutir lagi, hingga akhirnya aku terisak dan mataku buram oleh air mata yang terus-menerus meluncur turun. Aku membekap mulut agar suara isakanku teredam. Stres yang selama ini tertumpuk tanpa suara dalam pikiran akhirnya mengambil alih.

Aku benci situasi ini. Aku benci Topeng Putih. Aku benci tidak mengetahui apa yang sedang kami perjuangkan dan siapa yang sedang kami hadapi. Aku benci mendengar teman-teman memohon kepadaku seolah-olah aku adalah seorang yang kejam, saat kenyataannya, aku hanya ingin melindungi semua orang dan melakukan apa yang benar. Apa aku salah seperti ini? Apa aku seharusnya tidak ikut-ikut sejak awal, walaupun tahu nyawa orang lain, terlebih orang terdekatku, mungkin dalam bahaya? Apakah aku memiliki hati untuk itu?

Aku masih larut dalam isakan saat engsel pintu tiba-tiba berderak. "Udah gue bilang, gue butuh waktu sendiri, Bry," seruku langsung dengan suara yang bergetar memalukan.

Tetapi, itu bukan Bryan. Gwen masuk tanpa suara dan duduk di kaki kasurku dengan tenang. Ia tidak berkata apa-apa, hanya terdiam sambil menunduk, memandang jari-jari kakinya dengan tatapan kosong. Biasanya, aku tidak bisa bertatap muka dengan siapa pun saat sedang sedih dan frustrasi seperti ini. Tetapi, situasi ini, dan Gwen, mengingatkanku akan masa kecil kami, di mana aku akan menangis sambil mengadu kepadanya, dan ia akan mendengarkan. Hanya saja, saat ini, aku tidak bisa bicara, karena kami bukan lagi dua anak kecil itu; yang bermain dan tertawa bersama, yang bisa menceritakan apa saja kepada satu sama lain. Saat ini, aku tidak tahu siapa aku baginya, dan siapa dia bagiku. Sudah terlalu banyak babak dalam kehidupan kami yang dilewati di jalan masing-masing, tanpa satu-sama-lain. Kami sudah bukan orang yang sama lagi, dan aku bahkan tidak tahu apakah kami masih bisa saling mengerti seperti dulu, di masa-masa sederhana itu.

[COMPLETED] Curse of the Suicide GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang