92. Bryan

42 12 0
                                    

Lukaku masih sakit, tetapi pikiranku tidak bisa berhenti melayang ke hal-hal lain.

Aku tidak percaya kami telah berhasil membawa polisi untuk mengusut kasus gila ini. Rasanya aneh, melihat orang-orang dewasa berseragam, mulai dari petugas polisi hingga perawat rumah sakit, berlalu-lalang di sekeliling kami, meributkan kasus yang berminggu-minggu belakangan hanya didiskusikan di antara tim kecil kami, di balik bayang-bayang Pak Stenley. Tetapi, apakah aku seharusnya senang? Apakah dengan dilibatkannya polisi, pelaku akan dengan mudah tertangkap seperti yang kami angan-angankan?

Pemikiran tentang Pak Stenley juga menggangguku. Entah apa yang akan terjadi pada kami setelah beliau diinvestigasi di luar kehendak, mengingat baru beberapa hari yang lalu, beliau menindak kami karena hal yang berkaitan. Dari yang kutangkap, beliau tidak berhasil menghubungi kenalan polisi yang selama ini dibayar untuk menutupi kasus-kasus di panti, lantaran banyak sekali saksi mata saat Andrew membawa kawanan polisi ke TKP, sehingga dalam waktu singkat saja, kehebohan ini sudah tayang di berbagai media tanpa bisa dicegah. Tambahan lagi, kasus Willy juga akhirnya mengemuka karena beberapa siswa mengungkapkan kecurigaan mereka saat diwawancara awak media.

"Sudah boleh pulang, ya," suster ramah yang tadi menangani lukaku tersenyum ke arah kami semua. "Dik Bryan dan Dik Alicia, jangan lupa ke farmasi di lantai dua untuk ambil obat. Obatnya diminum kalau sakit saja, ya. Jangan lupa juga ganti perban setelah 24 jam."

"Iya, Sus. Terima kasih," sahutku sambil memaksakan seulas senyum.

Semua orang beranjak keluar dari ruangan, menyusuri koridor rumah sakit yang sibuk, menuju farmasi di lantai dua. Entah kapan terakhir kali aku berkunjung ke rumah sakit—rasanya saat aku patah tulang dan harus digips, yang berarti ketika umurku masih tujuh tahun, sebelum aku bahkan kehilangan ayah dan harus masuk ke panti asuhan. Nuansa putih dan bau khas obat-obatan di tempat ini seakan membawaku kembali ke masa-masa itu, saat ayahku masih sehat dan semuanya masih sederhana...

Aku menghela napas berat. Kulirik Alice, yang masih melamun sejak kembali dari luar ruangan tanpa Andrew. Apa yang terjadi padanya? Apakah Andrew mengatakan sesuatu yang menyakitinya? Tetapi, dari beberapa hari mengenal Andrew lebih dekat, satu hal yang kutangkap adalah bahwa cowok itu sangat menghargai Alice. Ia tidak bakalan, secara sadar, sengaja melukai perasaannya. Sejujurnya, itu juga lah alasan mengapa saat hendak membawa Kim kemari seorang diri, aku rela menitipkan Alice padanya: karena tidak peduli seperti apa sejarah di antara kami, pada akhirnya, kami sama-sama hanya ingin melindungi cewek itu, apa pun yang terjadi.

"Masih sakit?" Suara Joshua menyentakku dari lamunan. Begitu sadar, cowok itu sudah menyejajari langkahku. Kami berdua tertinggal agak jauh dari Sam dan Alice. Wajah Joshua pucat pasi. Rambutnya pun turun dan acak-acakan. Tetapi, sorot mata khawatirnya tidak lepas dari dadaku yang terbebat perban di balik baju.

"Nggak, sih," balasku, berbohong. Tetapi, tentu saja, aku adalah pembohong yang buruk, tidak seperti dirinya. Jadi, mendengar jawaban itu, ia mendesah panjang.

"Lo selalu gitu, dah; ngebela-belain luka buat orang lain. Tadi, juga, bisa-bisanya lo, dengan kondisi segitu parah, ngebawa Kim sendirian. Manjat pager segala, kan? Gimana kalo lo collapse di tengah jalan? Kok bisa dibiarin sama yang lain, sih?" omelnya. Melihat ekspresi wajah itu, aku berani bersumpah, di kehidupan sebelumnya, cowok ini pasti ibu-ibu beranak tiga atau, minimal, babysitter super bawel.

Bayangan itu membuatku tersenyum geli. "Iya, deh, iya, nggak gitu lagi, Mak."

"Anjir," balasnya berusaha serius, tetapi ikut tersenyum geli juga, "Serius, weh, gue. Malah dikata emak-emak. Jangan gitu lagi, ya."

Senyum reda dari bibirku dan aku menghela napas panjang. "Ya, habis, mau gimana, Josh? Lo sendiri paham, kan, gue nggak mungkin diem aja cuma gara-gara luka; saat Kim udah bener-bener... kayak gitu, kondisinya? Walaupun pas sehat, tuh anak creepy-nya minta ampun, mana tega, sih, lihat dia udah dicekokin narkoba berhari-hari begitu, masih ditembak kakinya?"

[COMPLETED] Curse of the Suicide GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang