"Hahaha!" ia tertawa—tawa khas yang tak pernah kubayangkan akan terdengar di sini. Saat jari-jari tangannya yang kurus mulai menyibakkan tudung jubah itu sekali lagi, anting hitamnya yang hanya sebelah berkilat diterpa cahaya matahari.
"Nggak gue duga," katanya, sementara topeng itu mulai terbuka perlahan-lahan, "Dari semua orang—elo lah yang bakal menangkap gue."
Topeng putih itu terjatuh dan tampaklah wajahnya. William Lee yang kini berdiri sambil tersenyum pasrah di hadapanku.
"Kenapa dari semua orang, lo pelakunya?" tanyaku.
"Karena..." sahutnya sambil menyeringai, sengaja menggantungkan kalimatnya di udara. Detik selanjutnya, matanya berubah menjadi putih dibanjiri darah, senyumnya begitu lebar hingga merobek mulutnya sendiri. "Gue benci sama lo."
Tiba-tiba saja ia sudah berada beberapa sentimeter di depan wajahku.
"NGGAK!" pekikku, saat itu juga terbangun dari mimpi burukku.
Aku mendapati diriku tengah berada di dalam kamar dalam kondisi gelap. Hal pertama yang kulirik adalah ranjang di samping kasurku.
Kosong.
Pelupukku kembali dibanjiri oleh air mata yang berusaha kubendung, namun akhirnya tumpah juga. Entah sudah berapa hari aku mengurung diri di dalam kamar pengap ini, hanya meneguk sisa galon dan makan persediaan makanan yang kucuri bersama Willy dari kantin. Rasanya aku belum siap untuk kembali beraktivitas, bahkan untuk makan saja, aku tidak selera.
Perih.
Rasanya masih sangat perih mengingat Willy lah yang berusaha membunuh Fellicia dan Rey. Namun yang lebih menyiksa lagi adalah kenyataan bahwa ia sudah tidak lagi ada di sini, atau di rumah sakit, atau di manapun dan aku tidak lagi bisa berjumpa dengannya.
"Bajingan!" umpatku sambil mengusap air mata yang terus mengalir dari mataku.
Rasanya hampa, apalagi otakku terus membawaku kembali pada kejadian masa lalu. Masa sebelum kami berdua masuk ke dalam panti asuhan ini, saat orang tua kami belum tertimpa kecelakaan di pabrik yang membuat mereka tewas di tempat.
Sejak dulu sampai sekarang, meskipun kami tidak sedarah, dia selalu melindungiku.
Ketika aku di-bully anak-anak kompleks sialan itu, atau anak-anak sok berkuasa yang mem-bully-ku setelah aku masuk ke panti asuhan ini, Willy selalu ada di sana. Menghantam mereka secara membabi buta sampai tidak lagi berani menggangguku. Waktu tantenya ingin mengajaknya tinggal bersama pun, dia menolaknya mentah-mentah hanya demi mengikutiku ke panti asuhan terkutuk ini. Dia juga yang mengajariku cara bertarung, dia juga yang selalu menyemangatiku jika aku kalah sampai bisa menjadi Andrew yang sekarang.
Bisa dibilang, Andrew Leonardo saat ini adalah bentukannya.
Tapi sosok kakak, sosok pelindung, sosok sahabat yang selalu ada di sana ketika aku merasa jenuh, tiba-tiba menghilang begitu saja dari hidupku. Semua ini gara-gara Topeng Putih sialan itu. Kalau dia takut membusuk di penjara setelah Willy membeberkan identitasnya, seharusnya dari awal ia tidak merencanakan serangkaian percobaan pembunuhan ini.
Kenapa juga ia harus membunuh Willy yang berusaha kembali ke jalan yang benar?
"SIALAN!" pekikku frustrasi sambil melemparkan barang-barang di sekelilingku.
Tring...
Tiba-tiba ponselku berbunyi.
Siapa juga yang menghubungiku di saat seperti ini. Setahuku aku tidak pernah punya sahabat dekat lain selain Willy. Kuraih ponsel itu dan mendapati si sombong Blake baru saja mengirimiku pesan untuk ikut berkumpul di kamar pacar cengengnya.
Memangnya ini waktu yang tepat untuk berkumpul? Apa arti Willy bagi kalian sampai bisa melanjutkan hidup dengan santai seperti itu seakan tidak terjadi apapun sebelum ini?
Kulemparkan ponselku ke atas kasur Willy dan kembali berbaring.
Tok tok tok
Apa lagi sekarang? Apa Benny si kolektor senjata ilegal itu kembali lagi untuk membujukku keluar? Kalau sampai iya, aku tetap tidak mau keluar. Biarkan saja dia berdiri di sana sampai membusuk.
"Ndrew?" Bukan suara berat Benny yang terdengar, tapi suara tipis penuh rasa ragu.
Bukannya ini suara cewek cengeng itu? Siapa itu namanya? Alice?
"N-Ndrew, gue tau lo di dalem." sahutnya lagi, kali ini lebih mantap.
"Gue turut berduka cita soal Willy. Gue tau lo pasti rasanya kehilangan banget, dan rasanya sakit di dalem hati lo."
Sok tahu, memangnya lo kenal Willy? Lagipula tahu apa lo soal perasaan kehilangan?
"Gue mungkin nggak pernah kehilangan sosok sahabat—Bukan, sosok saudara yang deket banget sama gue karena memang gue anak tunggal dan sahabat gue nggak segitu deketnya. Tapi gue juga pernah kehilangan orang tua gue, bahkan kejadian itu juga terjadi baru-baru ini seperti yang kalian tahu. Dan sampe sekarang pun, gue selalu dihantui mimpi buruk soal itu."
Entah kenapa, mendengar kalimatnya, aku merasa sedikit lebih tenang.
"Gue tahu, pasti lo nggak akan bisa lupain kejadian ini begitu aja, dan gue nggak akan maksa lo pura-pura bahagia Ndrew, tapi lo harus tahu. Sesedih apa pun, seburuk apa pun, lo jangan ngurung diri kayak gini dong, mending lo keluar, tinju semua orang, maki semua orang kayak yang biasa lo lakuin biar lega. Atau kalo lo mau..." Dia menggantungkan kalimatnya di udara, tampak ragu untuk melanjutkan. "Lo bisa cerita sama gue, pasti gue dengerin kok."
Entah kenapa air mataku kembali tumpah. Mendengar seseorang mengatakan hal tersebut di saat seperti ini, benar-benar membuat hatiku melemah.
"Semisal lo nggak percaya gue atau nggak nyaman sama gue, ada yang lain juga. Kan kita sudah jadi satu tim. Infinite Mystery Seeker. Walaupun sekarang belum beroperasi lagi, kita kan masih bisa temenan, bisa ada buat satu sama lain. Apalagi nanti malem ada acara ngumpul di kamar gue, kalo lo mau dateng aja, kita bisa curhat-curhat bareng gitu. Jangan putus asa ya, Ndrew."
Setelah itu terdengar derap langkah kaki menjauh. Jangan putus asa, katanya. Memangnya menurutnya aku bakal putus asa dan bunuh diri karena ini?
Tentu tidak, lah.
Aku tidak bisa mati dengan tenang sebelum merobek orang yang sudah membunuh Willy, dan menjadikannya makanan anjing.
KAMU SEDANG MEMBACA
[COMPLETED] Curse of the Suicide Game
Mystery / Thriller[WARNING: Mengandung kata-kata umpatan dan adegan kekerasan yang kurang sesuai untuk anak-anak] Sosok psikopat di balik topeng putih yang menjadi momok siswa-siswi masih berkeliaran. Namun, Tim detektif amatir IMS (Infinite Mystery Seeker), yang ber...