50. Alice

48 14 2
                                    

"Loh..." Sam bergumam tak percaya, "Ini, kan...?"

Aku langsung menatapnya kagum. Apa hanya dengan membaca pesan dua-kata itu, ia langsung tahu siapa yang akan jadi korban? Apakah itu tentang seseorang yang ia kenal atau dekat dengannya?

"Apa, Sam?" tanyaku. "Lo tahu siapa orangnya?"

"Ini, kan, soal Penjas!" gerutunya sambil menggaruk-garuk kepala, "Pas gue ngira Matematika, keluarnya Bahasa Indonesia lagi. Pas gue udah belajar puisi, keluarnya malah PBB. Sebodo amat, lah!"

Aku hanya bisa menghela napas panjang mendengar kalimatnya yang antiklimaks itu, sedangkan Gwen langsung mendengus keras-keras. "Goblok sampe ke tulang," gumamnya pelan.

"Gue rasa klu itu mengarah ke pemimpin upacara?" terka Rosaline.

"Nggak mungkin se-simple itu, sih. Lagipula sekolah kita, kan, cuma upacara waktu hari nasional aja, dan pemimpin upacaranya bahkan nggak tetap." sahut Andrew.

"Emangnya lo pernah ikut upacara?" sindir Bryan sewot. Yang disindir hanya meliriknya garang.

"Bener. Gue rasa klunya bukan buat pemimpin upacara." sahut Joshua yakin. "Kayaknya mengarah ke seseorang yang dihormati, yang disegani sama orang."

"Siapa yang kayak gitu?" tanyaku bingung.

"Kalo dari dua kandidat kita, gue rasa itu Max," jawab Joshua mantap. "Ketua OSIS. Ditakuti anak-anak VIP. Gila hormat."

"Tapi April juga disegani nggak, sih? Kayak... anak-anak nggak ada yang berani macem-macem sama dia, takut diapa-apain." sanggah Rosaline.

"Dua-duanya masuk akal." simpul Bryan.

"Tunggu, tunggu. Itu sebenernya hormat, atau males berurusan sama mereka, ya?" tanyaku sambil tersenyum geli.

"Beda tipis, nggak, sih?" balas Andrew sambil mengedikkan bahu. "Orangnya sama-sama nyebelin, gitu."

Hening setelahnya.

"Oke, jadi... April atau Max, nih?" tanya Bryan, membuka kembali diskusi. "Kalo gue, sih, lebih ke Max. Soalnya, April... gue rasa lebih banyak perasaan bencinya daripada perasaan kagumnya. Well, Max juga ngeselin, sih. Cuma, mungkin aja ada yang beneran kagum sama dia di luar sana—yang pasti bukan gue, sih."

"Emang udah jelas Max, kan?" Gwen menyahut ketus. "Bisa-bisanya ada yang mikir April."

Seisi ruangan langsung hening mendengar perkataan ketus cewek itu.

"Err..." Joshua mencoba menengahi, "Jadi... kita voting aja?"

"Ini waktunya masih lama, loh. Masa kita mau menggantungkan nyawa orang dengan voting gini?" Bryan menyanggah.

"Ditambah adu pendapat aja." usulku. "Jadi, kita masing-masing nyebutin pilih siapa dan karena apa."

"Boleh, tuh. Gue Max. Alesannya, ya, yang tadi itu." sahut Bryan.

"Gue Max, soalnya emang itu jawabannya." sahut Gwen datar.

Kalimat itu jelas-jelas memicu emosi semua orang yang ada di ruangan. Bagaimana bisa cewek itu secara terang-terangan mengatakan bahwa ia memilih tanpa alasan jelas, seolah-olah itu sudah pasti benar? Kecuali dia Topeng Putih atau tidak peduli dengan nyawa korban selanjutnya, seharusnya argumen itu diikuti dengan alasan yang lebih masuk akal.

Tapi, tentu saja, karena hal itu keluar dari mulut Gwen, tidak ada dari kami yang berani memermasalahkannya.

"Gue juga Max." sahut Rosaline. "Gue masih berpikir kalo anak-anak cheers bisa aja jadi dalang di balik semua ini—mungkin nggak semua, tapi ada di antaranya yang anak cheers."

[COMPLETED] Curse of the Suicide GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang