48. Rosaline

59 13 1
                                    

Hari ini, aku memutuskan untuk kembali menemui Andrea.

Sebagai mantan teman sekamar Kesha, aku tahu benar rasanya berbagi kamar dengan orang yang sangat egois. Kalau kau belum terbiasa dengannya sejak kecil, pasti keberadaan cewek itu jadi siksaan neraka. Ia sering membongkar lemarimu tanpa izin, memakai barangmu seenaknya, dan benci mengotori kasurnya sendiri—setiap makan keripik, ia akan pindah ke kasurmu atau tempat lain dari kamar tersebut yang bukan 'miliknya'.

Aku benar-benar merasa kasihan pada Andrea.

Belum cukup disiksa dengan hilangnya saudara kembarnya, ia masih harus menghadapi teman sekamar sejenis Kesha yang tidak tahu diri. Bahkan, dari pertemuan-pertemuan di kelas, aku menyadari bahwa auranya yang cerah perlahan memudar semenjak Alexa menghilang.

Aku mengulurkan tangan untuk mengetuk pintu kamarnya.

"Siapa?" tanya sebuah suara dari dalam, dan itu bukanlah suara Andrea maupun Kesha.

"Gue... Rosaline. Andrea ada?" tanyaku.

"Gue di dalem Sa, masuk aja." sahut suara tersebut.

Ketika aku membuka pintu kamar, tampaklah Andrea dan Fellicia sedang duduk berhadapan di dalamnya. Aku memang sudah mendengar tentang kembalinya Felli dari desas-desus, tetapi melihatnya di sini, di kamar Andrea, tetap terasa hampir tidak nyata bagiku.

Tidak banyak orang yang tahu mengenai persahabatan kedua anak itu, karena mereka jarang terlihat bersama—hampir tidak pernah, malah. Tetapi, entah kenapa, kedua cewek itu masih bisa berhubungan baik meskipun tidak menjaga komunikasi konstan di antara mereka. Seandainya aku dulu tidak segerombolan dengan anak cheers yang update soal gosip dan dekat dengan Andrea, plus suka membicarakannya di belakang, mungkin aku tidak akan tahu tentang itu juga.

Persahabatan yang cukup nyentrik, batinku.

"Hai Dre, hai Fel." sapaku sambil duduk di samping Andrea. "Udah nggak apa-apa, Fel?"

Felli mengangguk. "Iya. Pak Stenley, sih, nggak ngebolehin masuk dulu sebenernya, tapi gue kangen sekolah, jadi ya udah, akhirnya boleh," jawabnya, "Lo tumben ke sini. Kenapa, Sa?"

"Nggak apa-apa, sih, cuma pingin ngecek. Andrea gimana? Udah mendingan?" tanyaku sambil menoleh ke arah Andrea.

"Mendingan, kok." sahutnya sambil tersenyum. "Lagian, gue juga udah lebih tenang soalnya Felli udah balik dari rumah sakit."

Sesuatu dalam kalimat itu langsung mengganggu pikiranku. Felli? Apa mereka bertengkar? Bukankah biasanya, mereka selalu punya panggilan sebutan untuk satu sama lain, ya? Kalau tidak salah... Timon dan Pumba dari The Lion King?

"Iya, dong, Pum. Gue nggak bisa lama-lama di sana kalo tau kembaran lo tiba-tiba hilang." sahut Felli, tampak sama sekali tidak terganggu.

Andrea tersenyum kecil, lalu memalingkan wajahnya padaku, "Paling, gue agak kurang nyaman aja sama Kesha. Ternyata lo bener; Kesha orangnya kurang enak buat jadi temen sekamar. Tapi, selain itu, gue nggak apa-apa, kok. Lagipula, lo juga bilang, kan, Alexa aman. Gue percaya sama lo. Saat ini, gue juga masih cari tahu keberadaan dia di mana."

"Oh, gitu... Syukur, deh," balasku, "Kesha di mana, Dre?"

"Kesha keluar bentar tadi," balasnya, "Mau nyamperin anak-anak cheers. Mungkin bentar lagi, mereka ke sini."

"Oh..." balasku, "Kalo gitu, sebelum mereka dateng, gue cabut dulu, deh."

"Oke," Andrea tersenyum ramah. Aku membalas senyumnya sebelum berpamitan pada mereka.

Setelah menutup pintu kamar, aku berjalan kembali menuju kamarku. Selama berjalan, pikiranku terus melayang pada percakapan barusan. Rasanya ada yang mengkhawatirkan dari Andrea. Ia sangat banyak berubah selepas kejadian hilangnya Alexa. Meskipun sebenarnya aku masih bisa memaklumi kalau ia menjadi lebih pemurung dan langsung keluar dari klub cheers, tapi masa ia juga berhenti menggunakan panggilan khususnya dengan Fellicia begitu saja?

Bruk.

Seseorang menabrak bahuku, membuatku mundur satu langkah. Kesadaranku langsung kembali, dan kulihat Kesha bersama dengan anak-anak cheers lain sedang berjalan berkerumun di hadapanku. Mereka menyilangkan tangan di depan dada, lalu tersenyum meremehkan sambil melirik ke arahku. Tatapan itu sangat mengintimidasi sampai-sampai tanpa sadar aku sudah menunduk.

"Kalo jalan pake mata, dong." kata Kak April judes sebelum melangkah pergi.

"Mata lo di dengkul, ya?" timpal Kesha sebelum tersenyum meremehkan, lalu menabrakku lagi dengan bahunya dan melangkah mengikuti Kak April.

Aku hanya bisa memutar bola mata sambil mencibir ke arah mereka dari belakang. Aku heran dengan anak-anak itu. Kenapa mereka tidak bosan-bosan mengganggu orang lain, sih? Kayak sinetron saja. Memangnya apa juga salahku pada mereka sampai berbuat sedemikian rupa? Aku tidak habis pikir kenapa dulu bisa betah-betahnya meladeni mereka dan masih waras.

"Lo nggak apa-apa?" sebuah suara membuatku kembali menoleh ke depan.

Itu Joshua. Ia sudah berdiri di depanku dengan raut wajah khawatirnya. Mau-tidak-mau, aku jadi teringat saat ia membelaku di hadapan anak-anak cheers beberapa waktu lalu. Dipikir-pikir, ia selalu muncul di saat aku paling membutuhkan, seperti pangeran berkuda putih saja. Benar-benar keren.

"Nggak apa-apa, kok. Lo sendiri? Udah mendingan?" tanyaku.

Ia mengangguk. "Ya, lumayan, lah. Walaupun masih nggak mood buat hari ini, tapi nggak sekesel kemarin." jelasnya sambil memaksakan seulas senyum.

"Trus, sekarang, lo mau ke mana?" tanyaku sekadar basa-basi.

"Nggak tahu, sih. Lagi jalan-jalan aja. Lo sendiri?" tanyanya.

"Sama." sahutku seadanya.

"Oh." balasnya, lalu hening. Kami saling diam selama beberapa detik. Selama itu, aku berusaha mencari topik pembicaraan karena rasanya aku masih ingin ngobrol lebih lama dengan Joshua. Tetapi, aku tidak seperti Alice atau Sam, yang bisa membuka topik random dengan orang lain tanpa terdengar canggung.

Sejak masuk SMA, terlebih sejak menjadi teman sebangkunya, aku memang mulai tertarik pada Joshua. Ia menarik. Selain parasnya yang di atas rata-rata, ia juga memiliki jiwa pengertian yang tidak ada bandingannya. Mungkin, seandainya ia aktif juga dalam klub basket, ia bakal mendapat fansclub-nya sendiri. Tapi, Joshua lebih suka low-profile. Meskipun ia hanya kalah unggul di bidang akademis dengan Bryan, bagiku ia berkali lipat lebih baik daripada cowok itu.

"Ya udah, gue pergi dulu, ya. Bye." ujarnya sebelum melambaikan tangan dan berjalan menjauh.

Aku hanya bisa memandang punggungnya yang semakin lama semakin jauh dengan kecewa. Seandainya saja, aku bisa lebih berani. Mungkin jarak di antara kami tidak akan selebar ini.

[COMPLETED] Curse of the Suicide GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang