76. Alice

41 11 0
                                    

Aku berani bersumpah, kalau saja ada sosok apapun yang mengagetkanku sekarang, aku bakal ngompol di celana.

Suasana horor di gedung terbengkalai setinggi enam lantai ini benar-benar tampak seperti tempat penjagalan orang Belanda zaman penjajahan dulu. Sejauh mata memandang, hanya ada pilar semen, beberapa paku yang mencuat dari dinding, dan beberapa kail yang entah kenapa terpasang di langit-langit bangunan. Di beberapa tempat tertentu ada setumpuk pasir dan batu, serta serpihan kaca yang dibiarkan begitu saja.

Gedungnya sendiri berbentuk segi empat, dengan kotak kosong berukuran lima kali lima meter di tengahnya, kuduga dulunya ingin dibuat sebagai jalur lift, namun proyek bangunan ini sudah berhenti duluan. Satu lantainya sendiri cukup luas—mungkin seluas parkiran mal—dan berkat lubang lift tersebut, kami harus berkeliling lantai untuk bisa melihat apa yang ada di tiap sisi persegi gedung ini.

Ada banyak titik buta yang cocok sebagai tempat sembunyi di gedung ini. Mulai dari tikungan tangga naik dan turun yang tertutup oleh tembok, beberapa pilar besar yang cukup untuk menyembunyikan satu orang di baliknya, dan beberapa gunungan pasir itu juga bisa dimanfaatkan kalau kita mau merunduk di baliknya.

Topeng Putih bisa muncul kapan saja dari tempat-tempat tersebut.

"Pegang tangan gue." Bryan membuka suara sambil mengulurkan tangan kirinya untuk menyambut tanganku, sedangkan tangan kanannya sudah siaga membawa pisau lipat.

Tanpa membantah, aku segera meraih tangan itu sambil tetap mengawasi sekitar.

Seandainya kami tidak berpencar dan mengawas di satu lantai, aku mungkin tidak akan segugup ini, karena titik buta kami akan sangat sedikit. Tapi, sayangnya, gedung ini punya enam lantai, dan tidak ada yang tahu korban ada di lantai berapa, jadi kami terpaksa berpencar. Joshua dan Gwen ada di lantai satu dan dua. Kami ada di lantai tiga dan empat. Sedangkan Andrew dan Sam menjaga lantai lima dan enam.

Kami berdua berjalan sangat pelan, sambil terus waspada akan sekitar. Rasanya telapak tanganku sudah keringatan saking gugupnya, namun Bryan tetap tidak melepaskan genggaman erat tangannya.

"Kayaknya, kita bisa sembunyi nggak, sih, di sini?" bisik Bryan sambil menyingkirkan triplek yang menutupi lubang lift. Setelah triplek itu disingkirkan, tampaklah sebuah pijakan kecil di balik dinding yang bisa digunakan satu orang untuk berdiri membelakangi lubang. Tapi, pijakan itu terlalu sempit sehingga jika kita kehilangan keseimbangan sedikit saja, bisa-bisa akan jatuh ke lubang yang sangat tinggi dan berakhir tewas di lantai satu.

"Kayaknya gue lebih milih tempat lain, deh." sahutku sambil tertawa renyah. "Kalo sampe dia nemuin gue lagi mojok di sana dan di belakang gue ada lubang segede itu, yang ada gue bakal didorong masuk ke lubangnya dan... lo tahu sendiri, deh, akhirnya."

"Tapi, anggep aja Topeng Putih udah hafal medan pertempuran gedung ini dan tau tempat-tempat buat kita sembunyi, dia bakal bisa nemuin kita dan kesempatan ambush berkurang. Kalo kita nggak nyerang dia diem-diem dan bikin dia kaget, kemungkinan besar, kita yang kalah. Tapi kalo kita sembunyi di sini.... dia nggak bakal nyangka, sih, kayaknya." jelas Bryan.

"Iya, sih... Tapi lo yakin dia nggak masang penyadap suara di tiap lantai atau beneran nggak masang CCTV di tempat ini?" sanggahku.

"Bisa jadi, sih. Tapi sejak kita keliling lantai tadi, gue nggak lihat ada CCTV sama sekali. Kecuali dia naruh di tempat yang tersembunyi—which is agak nggak mungkin, soalnya jangkauan kameranya bakal berkurang." terang Bryan.

"Oke, lah. Kalo kepepet bisa, sih, di situ tadi." sahutku sambil meletakkan triplek kembali ke asalnya. "Sekarang jam berapa?"

Bryan menyahut ponselnya dari kantong, lalu menjawab, "Sembilan lebih lima."

"Sepuluh menit lagi permainan dimulai." umumku. "Mending kita coba naik lagi satu lantai buat ngecek medannya di lantai atas gimana."

Bryan mengangguk, lalu kami berjalan beriringan menuju tangga untuk naik ke lantai atas. Lantai empat tidak jauh berbeda dari lantai tiga. Pilar yang sama, gunungan pasir yang sama (hanya berada di tempat berbeda), dan pecahan-pecahan kaca yang sama. Hanya ada satu perbedaan mencolok yang ada di lantai empat, yaitu sebuah lubang seukuran manusia di langit-langitnya.

"Eh, ada lubang." kataku sambil menunjuk ke arah lubang tersebut. "Kayaknya nyambung sama tempat Andrew, deh. Andrew, Sam, lo denger gue nggak?"

"Kayaknya, lo jangan teriak-teriak, deh, Lice. Topeng Putih jadi tau, dong, lo ada di lantai berapa." jelas Bryan.

"Eh, iya, bener juga, sih." sahutku langsung menutup mulutku sendiri dengan tangan. "Sori."

"Eh, ada lubang gede!" Sam, yang sama cerobohnya denganku langsung berlarian mendekati lubang yang menyambungkan lantai empat dan lima.

"Jangan teriak-teriak, goblok!" diikuti oleh suara kasar Andrew yang sedang mencoba menarik Sam yang kini tengah melongok ke dalam lubang.

Dapat kulihat wajahnya berubah pucat setelah melihat kami berdua dari dalam lubang itu, membuatku spontan menoleh ke belakang—mengira ada sosok lain yang ada di belakang kami—namun untunglah, hasilnya nihil.

"Anjir! Gue kira siapa, kalian. Kok kalian bisa masuk ke dalem lubang?" tanyanya sambil memiringkan kepala.

"Lubangnya nyambungin lantai empat sama lima, Sam, bukan kita ada di dalem lubang gitu." jelasku.

"Bisa, nggak, kita berhenti beramah-tamah dan mulai ngecek tiap lantai? Lima menit lagi, game bakal dimulai, loh." sahut Andrew ketus sambil menarik Sam hingga kepalanya menghilang dari lubang. "Lagian, lo kira ini karyawisata? Teriak-teriak seneng, gitu. Goblok."

Suara mereka pun tidak lagi terdengar setelahnya.

Aku menoleh ke arah Bryan yang masih menatap kagum ke arah lubang tersebut. Ia tampak bengong, sedang larut dalam pikirannya sendiri—entah sedang memikirkan rencana terhadap lubang itu, atau ada hal lain yang mengganggunya.

"Kenapa, Bry?" tanyaku.

"Kok gue merasa ada yang aneh, ya?" jelasnya sambil mulai melangkah. "Kenapa Topeng Putih ngasih kita waktu lima belas menit buat siap-siap? Dan kalo dia mau masukin korban setelah kita ada di dalem gedung, bukannya pasti lewat tangga yang kita lalui tadi? Kita bisa aja langsung nunggu di tangga dan nangkep dia, dong?"

"Iya juga, sih. Apa gitu aja?" usulku. "Ganti strategi, nih?"

"Nggak. Gue merasa ada yang aneh. Kayaknya, dia punya jalur sendiri buat masuk ke dalem gedung ini dan nyelundupin korban, deh. Kalo nggak, korbannya bisa jadi udah di dalem sini," jelas Bryan. "Tapi, misalnya benar dia punya jalur sendiri yang tersembunyi entah di mana... bakalan bahaya buat kita. Dia juga ngasih waktu lima belas menit—nggak mungkin dia ngasih waktu selama itu buat kita nyusun rencana kalau dia nggak punya rencana lain yang lebih besar."

"Maksudnya?" tanyaku, sedikit merasa panik. "Rencana apa?"

"Gimana kalo jumlah mereka bukan cuma satu atau dua? Dan waktu lima belas menit yang dia kasih ke kita itu... bukan buat menyusun rencana, tapi waktu buat sembunyi dari kejaran pasukan pembunuh gila profesional—biar permainan lebih menarik buat mereka." jelas Bryan sambil menoleh ke arahku. Wajahnya memucat.

"Jangan bikin takut, dong." desisku sambil menggenggam erat tangannya. Rasanya aku sudah hampir menangis.

"Pokoknya, sekarang, kita sembunyi dulu." kata Bryan sambil menarik tanganku.

[COMPLETED] Curse of the Suicide GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang