12. Rosaline

61 12 0
                                    

Entah sudah berapa lama aku duduk sendirian di dalam kamar ini.

Jam sudah menunjukkan pukul enam sore, namun sejak tadi, aku masih tidak habis pikir. Kenapa Topeng Putih sampai mengejar Catherine ke Bandung? Maksudku, memangnya kenapa gadis itu diburu sedemikian rupa? Apa jangan-jangan ia punya petunjuk baru yang belum sempat dikatakan pada kami semua? Kalau bukan begitu, untuk apa dia jauh-jauh ke Bandung hanya untuk mencelakai gadis itu? Toh, kalau dia berganti target pun, tidak ada yang akan mengatainya plin-plan.

Selain itu, aku belum sempat mencari tahu keberadaan Kesha kemarin subuh saat kejadian ini menimpa Catherine. Apakah dia juga pergi ke Bandung atau menghilang dari asrama? Mungkin sekarang hanya itu yang bisa kulakukan untuk membuat setidaknya sedikit progress pada pencarian kami kali ini.

Kubuka pintu kamar asramaku dan berjalan ke arah kamar Kak April, tempat Kesha tidur setelah kami tidak akur.

"Hahaha..." gelak tawa samar-samar terdengar dari dalam kamar—sepertinya suara Kak Sally.

"Tapi sumpah, Kesha itu sok tahu bingit. Kesel, nggak, sih, lama-lama?" sahut Kak April.

Mendengar nama Kesha, aku segera bersandar di dinding balkon, berpura-pura sedang menunggu seseorang. Memang, ya, tipikal anak cheers, sepertinya mulut mereka gatal kalau tidak membicarakan temannya di belakang.

"Iya, kan? Ngapain juga tuh bocah pindah ke sini." sahut Kak Sally.

"Elah, gue kira lo nggak keberatan. Gue mau nolak takutnya lo yang udah terlanjur ngomong boleh, kalo gue nolak kan nggak enak, jadi gue yang keliatan jahat."

"Lah gue malah ngiranya elo yang ngundang."

"Nggak, lah. Kamar udah sempit gini, lo kira gue mau tidur kayak sarden selamanya? Kita perlu nyari tempat lain buat dia tinggal deh, kayaknya."

"Kamar Andrea gimana? Andrea juga pasti mau."

"Trus kembarannya?"

"Buang ke laut."

"Lagi apa?" sebuah tepukan di bahu membuatku berjengit kaget sampai mengeluarkan suara seperti tikus terjepit pintu.

Spontan aku berjengit. Jantungku berdegup sangat kencang sampai rasanya hampir melompat keluar. Kok bisa mereka tahu aku sedang menguping? Apa... Insiden itu bakal terulang kembali?

Aku menoleh dengan tempo lambat dan sangat dramatis sambil memaksakan seulas senyum canggung. Begitu melihat wajah berseri-seri Andrea yang ada di sampingku, degup jantungku kembali normal. Rasanya lega sekali.

"Nggak ngapa-ngapain, kok

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Nggak ngapa-ngapain, kok. Cuma lagi nunggu orang aja." sahutku sambil memaksakan seulas senyum. "Lo sendiri?"

"Oh, gue mau ke kamar Kak April. Anak cheers mau ngumpul bentar lagi, tapi kayaknya gue sampe lebih cepat dari yang lain, dan malah nemuin lo di sini." sahut Andrea.

"Kak April sama Kak Sally kayaknya ada di dalem, kok." sahutku. "Bukannya nguping mereka juga, sih. Itu lampunya nyala." Aku buru-buru menambahkan.

"Iya, sih." sahut Andrea. "Ya udah, gue masuk dulu, ya."

Aku mengangguk singkat sebelum Andrea melambaikan tangan dan berjalan ke arah pintu 'kamar baru' Kesha.

Katanya anak cheers mau berkumpul. Mungkin kalau aku menunggu di dekat sini, aku bisa tahu apakah Kesha masih di asrama atau tidak. Yang pasti sekarang aku harus mencari tempat yang tidak terlihat oleh mereka jika tidak ingin insiden mengerikan itu berulang lagi.

"Eh, Sa." Aku terkejut karena tiba-tiba Andrea berhenti saat hendak membuka pintu dan malah memanggilku.

"Ya?"

Ia membuka mulut, tetapi mengurungkan niat untuk bicara detik setelahnya. Matanya bergerak-gerak gelisah, melirik ke sana kemari.

"Nggak apa-apa deh," putusnya pada akhirnya, "Gue tadinya mau ngobrolin sesuatu. Tapi, setelah dipikir-pikir, besok aja? Lo ada waktu, nggak, habis latihan gue—kira-kira jam 4?"

Aku mengerutkan kening. "Boleh," jawabku, setengah bingung. "Soal apa?"

"Lo akan tahu besok," ia menjawab sambil tersenyum tipis. "See ya."

Kemudian, Andrea masuk ke dalam ruangan, meninggalkanku bertanya-tanya.

***

Kesha tidak datang.

Setelah menunggu sampai satu jam di dekat kamar Kak April dan mengamati anggota cheers yang menghilang di balik pintu kayu itu, sama sekali tidak ada Kesha di sana. Tetapi, daripada memikirkan hal itu, otakku malah dipenuhi banyak pertanyaan bertema serupa.

Apa yang mau diobrolkan Andrea dengan seorang Rosaline?

Aku mencoba mengingat-ingat terakhir kali kami mengobrol, dan itu adalah tentang kasus mengerikan di sekolah.

Apa dia betul-betul tertarik soal penyelidikan?

Ah, ngayal. Nggak mungkin juga anak cheers peduli dengan penyelidikan.

Aku menghela napas panjang dan mengangkat wajahku yang sejak tadi menatap anak tangga di bawah kakiku lekat-lekat. Saat itulah mataku menangkap sosok gempal yang berjalan melewatiku begitu saja. Rambut cepaknya yang hampir botak sangat khas, hanya dimiliki oleh satu-satunya guru di asrama ini... Pak Asep.

Bukannya dia seharusnya ada di rumah sakit bersama Catherine?

Apa pun penjelasannya, sebaiknya aku tidak menyia-nyiakan kesempatan ini.

"Sore, Pak. Kok sudah balik? Nggak lama-lama di Bandung nih, Pak? Sekalian jalan-jalan." tanyaku berbasa-basi sambil berlari kecil menjajari langkahnya.

"Nggak." sahutnya singkat dengan nada malas.

"Loh, kenapa? Bukannya Bandung udaranya sejuk, nggak kayak di sini, ya, Pak? Masa pulang cepet, sih. Kedinginan di sana?"

"Nggak. Itu, lho, gara-gara Catherine kecelakaan, saya harus nunggu di rumah sakit berjam-jam. Boyok saya sampai sakit. Untung ada yang lebih mampu yang menggantikan saya."

"Loh, memangnya Catherine kenapa, Pak?"

"Ya gitu, deh. Tahu-tahu waktu subuh ada teriakan dari kamarnya. Eh, pas saya sama panitia sampai di sana, dia sudah tiduran gitu di lantai; di genangan darah, gitu. Serem banget, saya sampai nggak berani lihat lagi."

"Waduh, kok serem, Pak? Kejem banget. Terus, pelakunya belum ketangkep?"

"Nggak tahu juga saya, pelakunya ya jelas sudah hilang. Nggak tahu, deh, bakal bisa ketangkep atau nggak."

"Kondisinya gimana, Pak?" tanyaku, berusaha mengorek info lebih jauh, "Kok, sampe ada genangan darah?"

"Ya masih kritis, pas saya balik ke sini. Soalnya, nggak hanya ditusuk, kepalanya juga diantam beberapa kali. Kayaknya pakai benda tumpul, gitu. Nggak tahu, deh, kacau," balas Pak Asep sambil bergidik ngeri, "Yang pasti, saya mau istirahat sekarang. Dah, jangan ganggu saya."

Aku mengangguk lemas, menghentikan langkah di lantai tiga. Ia terus naik ke lantai empat. Pikiranku masih memproses informasi baru yang kudapatkan. Tusukan, antaman di kepala... separah itu, kah, kondisi Catherine? Kalau begini caranya, apa yang bisa kami lakukan? Apa gadis itu bakal masih baik-baik saja?

"Eh." katanya, tiba-tiba menghentikan langkah, dan kembali menuruni tangga seperti baru saja teringat sesuatu yang penting.

"Ya, Pak?" sahutku, berharap mendapatkan informasi penting lainnya.

"Yang barusan harusnya rahasia, ya. Jangan ngomong siapa-siapa, apalagi ngomong saya yang ngasih tahu. Bisa kena marah nanti saya."

[COMPLETED] Curse of the Suicide GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang