15. Joshua

68 15 0
                                    

Aku pasti sedang bermimpi saat ini.

Kukedipkan mata berkali-kali, mencoba memastikan penglihatanku yang suka ngaco tidak sedang mengajakku bercanda. Tetapi, aku tidak berhalusinasi.

Seorang Marsha Gwen berdiri di depan pintu kamarku yang beberapa saat lalu diketuknya, lengkap dengan baju serba hitam dan tatapan tajam ala dirinya, yang kini diarahkan padaku.

Oke, aku tidak memberikan sambutan yang benar. Saat mendengar ketukan di pintu, aku otomatis mengira itu adalah Bryan, sebab tadi pagi, saat bertemu di koridor sekolah, cowok itu menepuk bahuku dan berkata, "Ntar gue samperin ke kamar abis latihan. Gue punya sedikit ide soal kasus." Maka, saat membukakan pintu, aku langsung mengatakan, "Ke kamar lo aja."

Itu pasti kalimat salah sambung terparah yang pernah kuucapkan kepada seseorang.

"Sori, kamar gue private," Gwen membalas santai, pura-pura tidak tahu kalau kalimat barusan tidak ditujukan kepadanya. Mendengar balasan itu, sesuatu terasa mencair di dadaku. Apakah ini hanya perasaanku saja, atau kalimat itu tidak mengandung kesinisan yang biasa ditampakkannya kepada orang-orang?

"Gwen," sapaku. "Kamu ngapain ke sini?"

"Gue mau minta tolong." Cewek itu menjawab tegas sambil menatap mataku dengan mantap. "Dan cuma lo orang yang bisa gue percaya dengan ini, jadi gue harap, lo nggak mengecewakan gue."

Ralat. Aku seratus persen yakin sikapnya anehnya ini semata-mata adalah karena yang berdiri di hadapanku bukan Gwen yang asli.

Maksudku, ayolah. Bahkan, sebelum Gwen berubah seratus delapan puluh derajat dan mengucilkan semua orang, ia tidak pernah minta tolong. Ia adalah satu-satunya orang yang kukenal selalu melakukan segala sesuatu sendiri. Mendengar frasa itu meluncur dari mulutnya adalah pertama kalinya bagiku, dan rasanya janggal.

"Minta tolong?" ulangku, memastikan, "Beneran?"

Ia mengangguk. "Gue udah merendahkan diri ke level ini karena bener-bener butuh bantuan lo, dan gue nggak mau ini bocor ke siapa pun yang lain, termasuk IMS," jawabnya. "Jadi?"

"Asal bukan sesuatu yang ilegal, I guess?" balasku sambil tertawa kecil.

"Well," Gwen menaikkan sebelah alis sambil tersenyum tipis penuh arti, "Ini bisa jadi ilegal. Lo yang memutuskan." Kemudian, ia berjalan pergi dan menyerukan, "Bawa kamera lo dan ikut gue."

***

Baiklah. Ini adalah tempat terakhir yang kupikirkan saat Gwen mengatakan 'Ikut gue'.

"Gwen," gumamku ragu. "Ini... ini serius?"

Gwen menoleh dan menatapku lurus-lurus. "Seratus persen," jawabnya mantap, "Bantu gue, ya? Lo tahu sendiri apa yang terjadi kalau gue pergi sendirian."

Cewek ini pasti tidak serius.

Aku menatap pemandangan di hadapanku yang seakan mengejek. Taman belakang asrama hari ini tampak lebih seram daripada biasanya. Angin dingin berembus perlahan, membuatku otomatis merapatkan jaket karena merinding. Aku tidak tahu apakah rasa ngeri ini muncul lantaran cuaca mendung, atau karena aku sedang bersama cewek yang baru kemarin pingsan di tempat yang sama. Kayaknya, yang terakhir lebih tepat.

"Tapi... kenapa?" Aku bertanya, kebingungan.

"Ada sesuatu di balik batu itu. Gue yakin. Beberapa hari ini, gue berusaha masuk, karena gue tahu itu bukan sesuatu yang bisa gue abaikan. Tapi..." suaranya tercekat di akhir kalimat, seolah-olah ada sesuatu yang tersangkut di tenggorokannya, "Tapi... setiap kali gue melihat tempat ini, terutama waktu mendekat ke... ke sana, rasanya pusing. Banyak banget ingatan-ingatan abstrak yang... yang—"

[COMPLETED] Curse of the Suicide GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang