45. Bryan

51 14 0
                                    

Aku benar-benar hilang akal. Jujur saja, setelah dipikir ulang, aku tidak tahu di mana aku menempatkan otakku kemarin—bertingkah seolah-olah aku sudah berpikir dengan kepala dingin, padahal kenyataannya, pikiranku masih tertutup oleh emosi yang belum reda. Bisa-bisanya aku tidak kepikiran bahwa Topeng Putih mengancam Joshua. Padahal, penjelasan itu begitu simpel. Kalau saja aku menebak lebih awal, aku tidak mungkin melakukan hal bodoh seperti melabraknya di hadapan orang banyak. Kalau saja aku tahu, aku bakal mengerti mengapa ia sampai sangat marah padaku.

Aku masih merutuki kecerobohan diri sendiri saat seseorang masuk ke dalam ruang kelas. Awalnya, aku hanya menatap orang itu sekilas. Tetapi, saat berhasil memproses siapa dirinya, pikiranku langsung buyar seketika, dan aku pun ditinggalkan melongo di tempat.

Itu Fellicia.

Cewek berbadan kecil itu melangkah masuk dengan santai. Selain dari plester bekas infus di siku bagian dalamnya, tidak ada tanda-tanda ia baru saja keluar dari rumah sakit, apalagi tanda-tanda bahwa kurang dari tiga minggu yang lalu, ia baru saja dicelakai oleh pembunuh berdarah dingin. Wajahnya tampak cerah seperti biasa sampai-sampai keberadaannya di sini hampir terasa normal-normal saja. Tetapi, aku bisa merasakan suasana kelas berubah hening. Di pojok belakang, bisikan-bisikan pelan terdengar, kentara sekali membicarakan cewek itu karena namanya beberapa kali terdengar.

Felli menghiraukan suasana kelas yang berubah aneh. Langkahnya yang ringan berhenti di antara mejaku dan meja Alice. Aku spontan melirik Alice, tetapi, ia sedang sibuk menatap buku pelajarannya yang, entah sejak kapan, sudah dibuka di atas meja. Herannya, ia tidak tampak kaget melihat kehadiran cewek yang ditaksir Andrew itu, yang membuatku mengerutkan kening seketika.

"Kursi Catherine kosong, Bry?" Aku tersentak saat Felli tiba-tiba mengajakku bicara sambil menunjuk bangku milik Catherine yang terletak di belakang Alice.

Aku mendongak menatapnya. "Eh?" balasku gelagapan, "Iya, kosong."

"Gue duduk di situ dulu, ya? Lebih deket sama papan tulis daripada bangku gue biasanya. Boleh, kan?" ia bertanya lagi. "Kalo Catherine balik, gue balik, kok."

Kenapa ia bertanya kepadaku?

Sesaat kemudian, otakku yang kacau ingat bahwa aku adalah ketua kelas. "Oh," balasku, "Ya, silakan aja."

Felli tersenyum ramah, lalu berjalan melewatiku dan duduk di bangku Catherine. Semua pasang mata mengikuti setiap langkahnya, kecuali milik Alice. Cewek itu masih saja pura-pura sibuk dengan buku pelajarannya, yang tidak biasa dilakukannya.

Sesaat kemudian, Andrew masuk ke dalam kelas, diikuti oleh Pak Asep. Aku berusaha membaca ekspresi wajah Andrew, tetapi ia hanya melenggang masuk dan duduk di bangkunya seolah-olah adalah hal biasa baginya untuk tidak membolos pelajaran Pak Asep. Ia juga tidak melirik kemari, padahal Felli jelas-jelas sedang duduk di sini.

Aku kembali menatap Alice, lalu Andrew, lalu kembali lagi pada Alice.

Apa mereka sudah tahu sejak tadi bahwa Felli kembali? Tapi... kapan?

***

Sepanjang pelajaran, aku tidak bisa fokus. Pikiranku seperti bercabang dua—yang satu memikirkan bagaimana harus mulai berbicara dengan Joshua, dan yang satu lagi memikirkan Fellicia dan kehadirannya yang begitu tiba-tiba. Apakah ia mengetahui sesuatu? Apakah ia bisa membantu penyelidikan kami? Tetapi, bukankah insensitif bagi kami untuk langsung menanyainya macam-macam sesaat setelah ia keluar dari rumah sakit pasca kejadian traumatis itu?

Begitu bel pulang sekolah berbunyi, aku memutuskan untuk menyambangi kelas Joshua terlebih dahulu. Kelasku dibubarkan lebih awal, sehingga aku masih harus menunggu beberapa menit sampai anak-anak kelas XI-B mulai keluar dari ruang kelas mereka. Joshua keluar agak belakangan, diikuti Sam.

"Josh," sapaku, menghentikan langkahnya dan Sam secara bersamaan.

"Kita mau diskusi lagi, ya?" Sam bertanya dengan nada merengek, "Nggak, kan? Bukannya katanya nanti malem?"

"Nggak, Sam," balasku, "Lo duluan aja. Gue mau ngobrol sama Joshua dulu."

Sam tampak lega. Detik setelahnya, dia langsung ngacir pergi, kemungkinan besar untuk tidur siang.

"Kenapa, Bry?" Joshua bertanya. Mungkin ini hanya perasaanku saja, tetapi sepertinya, hawa di antara kami masih belum kembali seperti biasanya. Aku bisa merasakan ketegangan dari tatapan matanya, dan sebuah ganjalan di dalam hatiku untuk bertingkah seolah-olah pertengkaran kemarin tidak pernah terjadi.

"Mau mampir ke kamar gue, nggak?" tawarku, "Kayaknya, kita perlu ngobrol."

"Hmm..." ia bergumam ragu, "Nanti aja—habis diskusi malem, atau besok? Gue masih belum mood, nih. Takutnya, malah nggak bisa ngobrol baik-baik."

Aku bisa merasakan kalimat itu menyengat hatiku. Memang, sih, tidak segampang itu mengembalikan hubungan baik, terlebih karena kami sebelumnya tidak pernah bertengkar hebat seperti kemarin. Aku juga memahami posisinya, yang pasti masih menyimpan rasa kesal kepadaku. "Lo masih marah, ya, Josh?" tanyaku.

"Nggak, sih," jawabnya, "Tapi, waktunya belum tepat aja. Masih aneh, Bry, rasanya."

Aku mengangguk penuh pemahaman. "Ya udah, Josh. Yang penting, lo tahu gue menyesal, kan?" tanyaku, "Kalo tahu soal ancaman itu, gue nggak akan bilang begitu kemarin, di depan yang lain."

"Gue tahu, kok," katanya sambil tersenyum tipis. "Gue juga pasti bakal biasa lagi, kok, nanti. Tapi, yang penting, fokus ke permainan dulu aja. Mungkin, habis menyelesaikan klu kali ini, kita bisa lebih plong ngobrolnya."

Aku mengangguk setuju, lalu terpikir sesuatu. "Oh, ya. Kalo gitu, lo mau nyamperin Alice, nggak, sama gue? Gue rasa, dia perlu lihat barang-barang di ruangan itu—lo ada foto, kan? Siapa tahu, dia bisa bantu?"

Joshua terdiam sejenak. "Nggak juga, deh. Capek, gue," tolaknya halus, "Gue pinjemin kameranya aja. Lo bawa ke dia, coba."

Aku menatapnya pasrah. Sorot mata yang dingin itu tidak bisa berbohong. Sepertinya, ia benar-benar tidak ingin berbicara denganku saat ini. Rasanya sedih, mengingat biasanya, kami selalu bersama dan bertukar cerita dengan santai. Sesuatu seperti retak di antara kami berdua, dan aku tidak tahu harus memerbaikinya dengan cara apa.

"Ya udah, deh, Josh," balasku, menyerah. "Kita ke kamar lo sekarang—ambil kameranya?"

Ia mengangguk. "Yuk," ajaknya.

[COMPLETED] Curse of the Suicide GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang