9. Alice

73 14 0
                                    

"Kecelakaan!?" Suara pria menggema dari arah tangga lantai empat.

Dinding asrama kami memang setipis itu. Apalagi, kamarku terletak tepat di sebelah tangga naik dan turun lantai VIP. Seringkali, aku mendengar banyak percakapan yang seharusnya tidak kudengar, seperti percakapan kakak kelas pemimpin Bryan's Fansclub ketika membahas bagaimana kerennya Bryan saat bermain basket dan bagaimana ia beberapa kali melihat abs cowok itu dan bagaimana ia memimpikan—Oke, sepertinya lanjutannya tidak perlu didengar oleh orang lain lagi karena terlalu vulgar.

"Bagaimana bisa anak itu kecelakaan di saat karantina begini? Ditambah lagi, luka tusuk?" sambung suara itu, terdengar sangat panik.

Karantina?

Bukankah satu-satunya orang yang sedang dikarantina... adalah Catherine?

Percakapan itu mengusik benakku, membuatku spontan merapat ke dinding untuk menguping lebih lanjut. Jika didengar dari suaranya yang tidak familier di telingaku, sepertinya ia bukan siswa kelas sebelas, penghuni lantai VIP, atau guru yang mengajarku. Jika dia turun dari lantai lima yang hanya berisi kantor Pak Stenley dan asrama guru, berarti... mungkinkah seorang guru yang tidak pernah mengajarku?

"Apakah dia di rumah sakit yang layak, Pak? Setahu saya, ada rumah sakit bagus di dekat sana, namanya Rumah Sakit Husada sepertinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Apakah dia di rumah sakit yang layak, Pak? Setahu saya, ada rumah sakit bagus di dekat sana, namanya Rumah Sakit Husada sepertinya." balasnya lagi, sepertinya tengah berbicara melalui telepon. "Oh, dia di sana? Baguslah. Bagaimana kondisinya?"

Suaranya menghilang setelah itu. Rasa penasaran membuatku buru-buru keluar dari kamar dan turun dari tangga. Sosok yang kukenali sebagai wakil kepala sekolah, Pak Joseph, saat ini sedang berlari menuruni tangga dengan amat tergesa-gesa sambil memegangi ponsel di telinganya. Keringat memenuhi dahinya, dan raut wajahnya tampak benar-benar panik. Aku berusaha menjajari langkahnya senatural mungkin. Untungnya, sepertinya rasa panik membuatnya tidak menyadari hal itu.

"Tidak bisa dihubungi?" suaranya terdengar lagi. "Aduh, saya baru ingat. Beliau ada tugas dinas dadakan tadi pagi. Baik, kalau begitu tolong Bapak tunggu di sana. Saya akan segera menyusul menggantikan Bapak." sahut Pak Joseph tanpa mengurangi kecepatan larinya.

"Iya. Semoga saja dia tidak apa-apa, dan semoga pihak berwajib segera menyelidiki kasus aneh ini. Lagipula, Pak Stenley yang biasa membungkam pihak berwenang sedang sibuk tugas dinas." sambungnya. "Iya, saya juga berpikir begitu. Sebenarnya saya juga sudah berulang kali membujuk beliau untuk berhenti membungkam pihak berwajib karena situasinya sudah separah ini, tapi belum berhasil." sahutnya. "Mungkin setelah tugas beliau selesai. Ya. Bapak tunggu, ya."

Setelah itu, Pak Joseph menutup telepon dan berlari menuju parkiran guru.

Aku tidak benar-benar mengikuti langkahnya lagi karena tidak ingin ketahuan sedang menguntit. Tapi kalimat yang ia katakan barusan benar-benar membuatku terusik. Jadi benar selama ini bahwa Pak Stenley berusaha membungkam pihak berwajib dan menghalangi penyelidikan. Awalnya aku sempat tidak percaya, kukira pihak kepolisian lah yang memutuskan kasus sebagai kecelakaan, karena memang kejadiannya tidak terjadi dalam waktu dekat, mestinya mereka tidak ingat dengan perkara sebelumya, jadi aku dan yang lain masih tidak yakin ini adalah ulah Pak Stenley. Tapi percakapan barusan....

IMS. Aku harus memberitahu mereka soal ini secepatnya.

***

Tidak butuh waktu lama bagiku untuk mengumpulkan teman-temanku—kecuali Gwen, tentu saja—kembali di dalam kamar, yang sepertinya sudah menjadi markas resmi IMS. (Yah, sebenarnya bukan hanya aku yang mengumpulkan mereka, sih. Aku mendapatkan sedikit bantuan dari Bryan yang langsung datang di tengah latihan basketnya dan menelepon semua orang agar berkumpul ke sini.)

"Ih, Bry, jorok banget sih. Lo nggak mandi dulu apa? Masih keringetan gitu. Jijik banget—jibang!" protes Sam sambil mengambil jarak dari Bryan.

"Ini situasi genting, nggak ada waktu buat mandi dulu." sahutnya serius sambil mengelap keringat dengan handuk kecil yang tergantung di lehernya.

Meskipun bajunya basah kuyup oleh keringat, anehnya cowok di sampingku ini sama sekali tidak berbau asam. Kok bisa dia tidak berbau setelah berkeringat sedemikian rupa. Jangan-jangan dia rutin makan sabun untuk menghilangkan bau badan?

Tunggu.

Ini bukan saatnya mengomentari bau Bryan, ada hal yang lebih penting yang harus kukatakan. "Jadi, gue baru dapet kabar buruk—nguping, lebih tepatnya. Gue nggak tahu, sih, ini beneran Catherine atau bukan—"

"CATHERINE KENAPA?" Sam memotong heboh, kini raut wajahnya menegang.

"Gue barusan denger Pak Joseph teleponan sama seseorang yang kayaknya adalah Pak Asep, dan Pak Asep bilang Catherine kecelakaan." sahutku, membuat suasana dalam kamarku menegang. Seluruh pasang mata menatap tidak percaya ke arahku, kecuali Sam yang kini menganga di tempat seperti orang bodoh.

"Gimana-gimana? Pak Asep sama Pak Joseph ngapain?" tanya Sam pada akhirnya.

"Intinya, Pak Asep ngomong ke Pak Joseph kalo Catherine kecelakaan." sahutku sambil menghela nafas panjang. "Dan... ada luka tusuk, dan dia juga bilang soal Pak Stenley yang biasa nutupin kasus ini dari pihak berwajib." sambungku.

"L-lo bercanda, kan? Ini april fools itu kan?" duga Sam menolak percaya, matanya tampak berkilat lantaran berusaha menahan air mata.

"Sam, it's not even April." sahut Joshua sambil menepuk pundak Sam perlahan.

"T-Tapi, kok bisa? Maksud gue, dia kan jauh di sana, bukannya Topeng Putih di asrama ini?" sanggah Sam. "Masa... masa hantu, sih?"

"Kemarin Catherine kan cerita kalo dia diteror Topeng Putih, bisa jadi ini ulah Topeng Putih kedua." jelas Andrew, tidak peka kalau Sam hanya sedang mengungkapkan rasa terkejutnya.

"Tapi Catherine harusnya masih baik-baik aja, kok, Sam. Tadi Pak Asep bilang dia udah di rumah sakit, dan Pak Joseph udah langsung nyusulin ke sana," sahutku buru-buru.

"K-Kita ke sana sekarang." sahut Sam segera berdiri dari tempatnya, panik.

Sebenarnya, itu juga yang sudah kupikirkan sejak tadi.

"Ayo." sahutku semangat sambil berdiri.

"Tunggu." sahut Bryan. "Gue tahu kalian pasti pingin banget ke sana, tapi dengan sangat menyesal, gue harus bilang kalo kita nggak bisa ke sana. Nggak segampang itu, setidaknya."

"KOK GITU? LO NGGAK KHAWATIR—"

"Sam!" potong Joshua sambil berdiri dan menenangkan anak itu.

"Lo lupa kalo Catherine dikarantina di Bandung? Itu jauh banget, lho, dari sini. Dan setahu gue, kita semua nggak ada yang punya tabungan. Dikasih duit jajan tahunan tiap ultah aja biasanya kurang-kurang. Nggak ada yang kerja, kan di sini?" tanya Joshua memastikan.

Aku spontan menghela napas panjang menyadari kenyataan menyedihkan ini. Di asrama ini, tidak ada yang namanya sistem uang jajan bulanan. Kata teman-teman, jika memang ingin beli barang yang lebih mahal dari dua ratus ribu, yang notabene adalah jumlah duit hadiah ulang tahun anak SMA di sini, kita harus bekerja di luar asrama—mengambil kerja part-time, misalnya. Dan jika kita tidak bekerja, jangan harap punya uang tabungan, karena biasanya setelah mendapat uang ulang tahun, anak-anak langsung kalap dan membeli hadiah ulang tahun untuk diri sendiri atau mentraktir teman-teman.

"Tapi bukannya lo part-time jadi barista, ya, Josh?" tanya Rosaline.

"Iya, tapi lagi off beberapa bulan ini. Tabungan gue juga sebagian besar udah gue buat beli kamera ini." sahut Joshua sambil menunjukkan kamera yang selalu tergantung di lehernya. "Masih ada sisanya, sih. Tapi nggak banyak, soalnya kapan hari gue baru aja beli lensa baru juga. Nggak bakal cukup buat ngebiayain kita semua ke sana pulang pergi. Kalian mau pulang jalan kaki?"

Kami hanya bisa menghela napas panjang sambil memeluk lutut masing-masing. 

[COMPLETED] Curse of the Suicide GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang