39. Bryan

59 10 0
                                    

Aku benar-benar tidak tahu apa yang merasukiku kemarin malam.

Sejak kejadian yang, kupikir-pikir, kelewat memalukan bersama Alice itu, aku tidak bisa tidur. Bukannya aku bisa tidur sebelum itu, sih. Kenyataannya, alasan aku keluar ke balkon adalah karena untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, aku memimpikan Willy lagi. Tetapi, setelah bertemu dengan Alice, semua beban dan kegundahan yang menggangguku seperti terangkat, dan aku ditinggalkan berguling-guling di kasur setelahnya, memikirkan daftar hal-hal yang bisa kukatakan tanpa merasa awkward kepada Alice saat kami bertemu lagi.

Aku beruntung karena hari ini adalah hari Minggu. Kalau tidak, pasti tampangku di kelas sudah seperti orang bego, senyum-senyum sendiri dengan kantung mata super tebal menggantung di bawah kedua mataku.

Aku melirik ke arah jam beker, yang merupakan satu-satunya penunjuk waktu di dalam ruangan. Pukul delapan pagi. Itu berarti, aku sudah menghabiskan nyaris lima jam memikirkan tentang Alice dan pertemuan kami semalam. Rasa bersalah mendadak menyusup di benakku. Bukankah aku seharusnya tidur—menyiapkan tenaga untuk memulai penyelidikan kembali? Aku, sebagai ketua tim, tidak berhak untuk mengalihkan pikiran dari kondisi yang masih sangat pelik ini, di saat yang lain juga pasti sedang stres dengan cara mereka masing-masing.

Terlebih, aku masih tidak berbicara dengan Joshua, yang saat ini entah sedang apa...

Mood-ku dengan cepat berubah buruk. Memikirkan tentang Joshua dan hubungan kami yang akhir-akhir ini kacau memang selalu membuatku merasa tidak nyaman. Kalau sedang sendirian begini, aku biasanya bisa berpikir dengan kepala dingin. Tetapi, saat bertatap muka dan melihat sikapnya yang selalu berpura-pura seolah tidak terjadi apa pun di hadapan yang lain, emosiku selalu naik dengan cepat dan mengambil alih.

Mendadak, perasaan rindu menyengat hatiku. Joshua adalah seorang yang selalu baik kepadaku. Ia juga sangat perasa dan tidak pernah memiliki niat buruk terhadap orang lain. Biasanya, ia selalu sabar menjadi penampung semua unek-unekku. Ia adalah orang paling tidak egois yang pernah kukenal—selalu mengutamakan masalah orang lain alih-alih masalahnya sendiri.

Apa aku sudah keterlaluan terhadapnya? Benarkah perkataan Alice waktu itu, bahwa apa pun yang disembunyikannya dariku, itu pasti bukan hal yang buruk dan aku seharusnya memberinya sedikit privasi?

Aku bangkit ke posisi duduk.

Benar. Sebelum melanjutkan penyelidikan, aku harus memerbaiki hubungan kami terlebih dahulu. Aku membutuhkannya, dan kali ini, aku harus mengalah, seperti ia biasanya mengalah padaku.

Aku bergegas mengenakan kaus dan keluar dari ruangan. Jam segini di hari Minggu, biasanya Joshua sudah bangun dan sedang berolahraga ringan atau membaca komik online di kamarnya. Maka, aku pun bergegas turun ke lantai tiga, menuju kamarnya yang terletak tidak jauh dari tangga.

Pintu kamar di sisi lorong itu tampak biasa-biasa saja. Tidak ada suara atau tanda-tanda orang bergerak di dalam. Tetapi, jantungku berdebar sedikit lebih kencang daripada biasanya.

Apa yang harus kukatakan?

Apa yang akan kulakukan kalau emosiku tiba-tiba membuncah lagi saat melihat wajahnya? Bagaimana kalau aku malah membuat segalanya menjadi semakin runyam?

Ya sudah, hati kecilku berkata, Luapkan emosi dan selesaikan semuanya sekarang juga.

Dengan pemikiran itu, aku mengangkat tangan untuk mengetuk pintu. Tetapi, tepat pada saat itu juga, gagang pintu berderak dari dalam, dan aku langsung panik. Aku segera berlari ke tikungan terdekat dan melompat ke baliknya, bersembunyi sambil mengintip ke lorong.

Kenapa, sih, aku bersembunyi? Batinku. Haruskah aku keluar saja?

Niat itu kuurungkan detik selanjutnya, saat Joshua keluar dari kamar, melihat ke kanan dan ke kiri. Rambutnya tampak sedikit lebih rapi dari biasanya pagi ini, entah untuk alasan apa. Tetapi, yang paling menggangguku adalah ekspresi wajahnya, yang dipenuhi perasaan waswas.

Aku hampir tidak memercayai penglihatanku saat Gwen keluar dari kamar yang sama, mengikuti Joshua. Jantungku berdebar begitu kencang.

Apa yang sedang mereka lakukan?

Joshua menggumamkan beberapa kata pada Gwen, tetapi aku tidak bisa mendengarnya dari jarak ini. Kemudian, ia melangkah ke kiri, menuju ke arahku. Gwen, di sisi lain, berbelok ke kanan, menuju ruang monitor di ujung lorong.

Aku segera melompat mundur dan merapat pada dinding, menahan napas sekuat mungkin saat Joshua berjalan melewatiku dengan langkah cepat. Untungnya, cowok itu tidak melihatku. Ia berjalan lurus ke arah tangga turun. Aku mengintip lorong sesaat, mengecek keberadaan Gwen. Tetapi, cewek itu juga sudah lenyap—kemungkinan besar masuk ke dalam ruang monitor.

Rasa penasaran meliputi diriku. Sebelum kusadari, aku sudah berjingkat-jingkat di belakang Joshua, mengikuti sosoknya yang turun dengan tergesa-gesa ke lantai dua, kemudian lantai dasar. Ia sempat berhenti sejenak untuk mengecek ponsel—yang membuatku segera melompat dengan panik ke balik benda terdekat—kemudian berjalan lagi dengan langkah mantap, keluar menuju teras dan pekarangan panti.

Aku masih mengikuti Joshua saat ia berbelok mengitari bangunan panti, menuju suatu tempat yang sepertinya adalah...

Taman belakang?

Aku mengernyitkan dahi. Saat awal-awal mengenal sohibku itu, ia memang sering pergi ke taman belakang untuk mengambil foto. Tetapi, seiring ditelantarkannya taman itu oleh pengurus asrama, ia juga tidak lagi pernah menapakkan kaki di sana. Lalu, apa yang dilakukannya sekarang?

Aku menatap dengan penasaran saat sosoknya mulai berjalan lurus mendekati kolam ikan, tidak yakin bisa mengikutinya hingga ke sana tanpa ketahuan karena: 1) tempat ini sangat sepi, dan 2) rumput-rumput kering yang ada di taman menimbulkan bunyi yang berisik setengah mati saat diinjak. Jadi, aku pun hanya mengamati dari jauh saat Joshua meniti batu berlumut di pinggiran kolam, menuju batu besar di belakangnya, lalu...

Mataku melebar penuh rasa terkejut.

Sosoknya menghilang begitu saja di balik batu besar itu.

Jantungku berpacu dengan sangat kencang. Apa ada sesuatu di sana? Apakah ini yang disembunyikannya belakangan ini?

Perkataan Alice langsung terbersit di pikiranku. 'Menurut lo, nih, Bry, mungkin, nggak, sih, ternyata dia itu Lo-Tahu-Siapa?'

Tidak mungkin.

Apakah selama ini aku yang terlalu naif dan memercayainya begitu saja? Mungkinkah dugaan Alice benar dan ternyata... ternyata...

Aku bisa merasakan kedua lututku bergetar dengan lemas. Otakku tidak mampu untuk bahkan membayangkan kemungkinan itu. Aku membiarkan diriku terduduk di atas rumput sambil berusaha menenangkan pikiran.

Apa yang sedang ia lakukan?

Sejak kapan ia menyimpan rahasia ini—dan mengapa?

Benakku memutar kembali percakapan-percakapanku dengan Joshua. Mendadak, semua perkataan yang keluar dari mulutnya terasa mencurigakan bagiku. Noda tanah yang kulihat malam itu... Aku seperti ditampar dan akhirnya mampu melihatnya dalam pandangan yang berbeda. Apakah ia sudah membohongiku sejak dulu? Apakah selama ini, orang yang kucari-cari itu...?

Kira-kira setengah jam berlalu, dan Joshua belum juga keluar dari tempat apa pun itu yang berada di balik batu kolam. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Rasanya, tubuhku masih terpaku di tempat sementara jiwaku melayang entah ke mana.

Aku tersentak kaget saat sosok Joshua tiba-tiba keluar dari balik batu yang sama. Dengan tergesa-gesa, aku bersembunyi di balik dedaunan terdekat sambil menyaksikannya berjalan dengan wajah keruh, kembali ke arah asrama. Ia berhenti lagi untuk mengecek ponsel, kemudian menempelkan ponsel itu ke telinga, menghubungi seseorang.

"Nggak ada," aku mendengar suaranya sesaat setelah telepon tersambung. Suara itu terdengar semakin jelas saat berjalan melewatiku. "Udah kucari ke seluruh penjuru ruangan. Gimana pun caranya, Topeng Putih beneran jago banget ngumpetinnya."

[COMPLETED] Curse of the Suicide GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang