56. Andrew

47 13 0
                                    

Derak pintu besi yang digoyangkan berkali-kali membuatku terjaga dari tidur siangku.

Aku membuka mata dan mendapati sinar matahari menyorot langsung, tepat ke arah mataku yang masih belum siap menerima cahaya. Matahari hari ini begitu terik. Untung saja aku ketiduran di bawah teralis loteng. Kalau tidak, mungkin kulitku akan terbakar panas.

"Ndrew! Andrew!" panggil suara dari balik pintu besi, diikuti bunyi pintu yang didobrak-dobrak.

Dari suaranya dan caranya membuka pintu besi—yang entah kenapa sampai sekarang tidak kunjung bisa ia buka—sosok di balik pintu itu pasti Alice. Kenapa ia berteriak panik seperti itu?

Aku segera melompat turun dan melangkah menuju pintu besi, membantunya membuka pintu tersebut. Aku langsung disambut wajah panik Alice, yang masih mengenakan seragamnya dengan rapi meskipun hari sudah siang.

"Kenapa?" tanyaku, masih sambil memicingkan mata karena kesilauan.

"T-Topeng Putih nyuruh kita kumpul dalam sepuluh menit!" sahut Alice panik.

"Hah? Kita kan masih di sekolah, gimana caranya ngumpul? Dia SMS juga gimana caranya, dah?" tanyaku kebingungan sambil meraih ponsel yang selalu kuselundupkan ke sekolah dari dalam kantong untuk mengecek jam.

"Bel pulang sekolah udah bunyi sejak satu jam yang lalu, sih. Lo-nya aja yang masih ngebo nggak jelas di sini." cibirnya sambil menyilangkan tangan di depan dada.

"Heh, trus... lo sendiri ngapain masih di sekolah setelah bel pulang?" tanyaku sambil menyandarkan tubuh pada pintu besi, mencegahnya untuk tidak tertutup dengan sendirinya.

"Gue..." Alice menggantungkan kalimatnya di udara, seperti mencari-cari alasan. "Gue masih piket, tadi. Tapi, tiba-tiba Topeng Putih SMS, nyuruh kita telepon biar nggak ketinggalan petunjuknya! Ayo, cepetan."

Ia meraih tanganku dan segera menarikku berlarian menuruni tangga sekolah.

Bruk!

Lantaran sibuk mengomel padaku dan tidak melihat jalan, ia menabrak seseorang di gerbang sekolah. Hanya dengan tabrakan ringan, tubuh Alice langsung terpelanting ke belakang, membuatku spontan menahan tubuhnya yang mungil agar tidak jatuh.

"Cie..." sahut sosok yang baru saja ia tabrak.

Felli sedang berdiri di depan kami berdua sambil membawa seplastik cilok yang baru saja ia beli dari depan sekolah. Ia menatap ke arah kami dengan tatapan yang sulit diartikan, dan secepat kilat, rasa panas menjalar ke arah wajahku.

"Sorry, gue nggak sengaja." sahut Alice gelagapan, sambil melepaskan peganganku pada tubuhnya, dan buru-buru melangkah maju.

"Ngapain lo berduaan di sekolah sama Alice?" goda Felli sambil menyenggol-nyenggol bahuku perlahan.

"Nggak ngapa-ngapain, Njir. Gue cuma ketemu di jalan." sahutku spontan. "Gue buru-buru. Duluan, ya."

Aku segera menyusul Alice yang sudah hampir masuk ke dalam asrama setelah melambaikan tangan pada Felli yang masih tersenyum penuh arti ke arah kami berdua. Entah kenapa, saat itu, langkah Alice menjadi dua kali lebih cepat dari biasanya. Entah ia sedang kesurupan arwah atlet lari atau bagaimana, aku tidak bisa menyejajari langkahnya hingga kami sudah sampai di depan kamarnya.

"Hah... Aduh... Cepetan telepon." sahut Alice, sambil berusaha mengatur napas, pada anak-anak lain yang sudah menunggu di depan kamarnya. Bahkan, Gwen pun juga sudah bergabung dengan mereka.

"Bentar, bentar. Kita masuk dulu aja." sahut Bryan bebarengan dengan suara Sam yang mengatakan, "Kalian ngapain, sih, di saat genting gini malah lomba lari marathon? Nggak capek, apa?"

[COMPLETED] Curse of the Suicide GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang