Sudah lewat dua minggu sejak kami berhasil mengungkap sosok di balik Topeng Putih. Aku masih tidak habis pikir kenapa William Lee, yang katanya adalah sohib Andrew dari kecil, tega melakukan serangkaian percobaan pembunuhan pada orang-orang terdekat sahabatnya.
Bukankah seharusnya sahabat dari sahabat juga merupakan sahabat?
Oke, kalimat barusan terdengar membingungkan, tapi kalian tahu, lah, maksudku. Aku juga masih tidak habis pikir dengan motif di balik itu: kebenciannya pada Pak Stenley, sang kepala sekolah sekaligus kepala asrama. Memang orangnya agak aneh, sih, tapi tidak perlu sampai mengorbankan teman-teman sendiri untuk menjatuhkan pamor asrama terpencil ini, kan? Memangnya apa hubungan Fellicia dan Rey, korban-korbannya, dengan Pak Stenley? Bahkan mungkin sebelum kejadian ini terjadi, Pak Stenley tidak mengetahui bahwa Fellicia dan Rey pernah ada.
Tapi aku juga tidak habis pikir pada Pak Stenley.
Meskipun Willy, yang jelas-jelas merupakan siswanya, baru saja meninggal ditusuk panah oleh Topeng Putih kedua, ia tetap bersikeras tidak ingin melibatkan polisi ke asrama ini. Bahkan, kepala sekolah kami itu, malah menyuruh kami untuk menutupi fakta bahwa kematian Willy adalah pembunuhan, dan bukannya kecelakaan. Alasannya, supaya kami tidak menebar kepanikan pada siswa lain. Memang sedikit masuk akal, tetapi bukankah itu tetap aneh?
Belum lagi, soal hubungan Topeng Putih dengan keluargaku. Kenapa mereka membunuh kedua orang tuaku dan membakar seisi rumahku? Mereka tidak menginginkan harta bendaku. Apa Willy punya dendam dengan keluargaku? Tapi, aku bahkan tidak mengenalnya. Mungkin dia mengenalku, atau orang tuaku, atau orang tuanya mengenal orang tuaku dan punya dendam? Atau keluarga kami sudah lama bermusuhan seperti Romeo dan Juliet?
Tapi, katanya, ia juga tidak mengenalku.
Apa kata-katanya bisa dipercaya?
Siapa, sih sosok Topeng Putih kedua? Apa mungkin dia orang tua Willy? Eh, tapi kalau orang tuanya masih hidup, untuk apa dia masuk panti asuhan ini? Lalu apa hubungannya dengan Pak Stenley? Apa memang semua ini nggak berhubung-
"ALICIA BRENNAN!" hardik Pak Tanto, guru killer paling terkenal di sekolahku, membuyarkan lamunanku.
"HA? IYA, PAK?" sahutku sambil mengarahkan pandanganku pada pria paruh baya itu.
"Saya bertanya pada kamu, kok malah melamun!" omelnya.
"Ah, maaf, Pak." sahutku sekenanya sambil menundukkan kepala, berusaha mencermati buku pelajaran di atas meja yang dipenuhi dengan kumpulan soal Bahasa Indonesia.
"Nomor dua puluh lima, majas apa?" tanyanya.
Aku buru-buru mencari nomor dua puluh lima yang disebut-sebut, namun tentu saja akibat tidak mendengarkan sejak awal, aku bahkan tidak tahu latihan mana yang dibahas. Aku menoleh ke belakang dengan panik. Biasanya, Catherine akan membantuku di saat genting seperti ini. Dia, kan, selalu mendengarkan guru.
Namun, kursi di belakangku kosong.
Benar juga. Catherine, kan, sedang dikarantina untuk lomba nasional-entah-apa-namanya itu. Aku melirik ke arah teman sebangkuku, Gwen. Tapi yang dilirik tentu saja tidak peduli seperti biasanya. (Entah kenapa setelah tempat duduk diacak ulang pun, aku bisa berakhir sebangku lagi dengan cewek misterius ini, rasanya aku dikutuk, deh)
"CEPAT, APA JAWABANNYA!?" desak Pak Tanto tidak sabar.
Aku menoleh ke arah Bryan yang duduk di seberang meja, namun yang ditoleh juga sepertinya sedang larut dalam pikirannya sendiri. Aku menghela napas panjang, lalu buru-buru menjawab asal apa saja yang terlintas dalam otakku.
"Pesanifikasi." sahutku.
"Hah? Majas apa itu?" tanya Pak Tanto heran sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Seluruh pasang mata menatap ke arahku, beberapa dari mereka tertawa geli, dan beberapa lainnya tertawa meremehkan. Aku hanya bisa bergeming sambil menatap lurus ke depan dengan alis memelas.
"KELUAR!" sahut Pak Tanto garang. "Tidak ada yang boleh melamun di kelas saya. Lebih baik saya mengajar satu anak yang serius daripada tiga puluh anak yang tidak serius!"
Aku hanya bisa menghela napas panjang sambil berdiri dari tempat. Lagipula, siapa juga yang mau belajar soal Bahasa Indonesia yang tidak penting di saat seseorang baru saja meninggal dua minggu yang lalu, dan pembunuhnya masih berkeliaran di antara kami semua.
"Yang tidak serius juga boleh keluar sekarang." kata Pak Tanto lagi.
Aku segera memercepat langkahku menuju pintu keluar sebelum ia kembali mengomel kepadaku. Kupikir aku akan dihukum sendirian siang ini, tapi ternyata suara lain menyahut nyaring, "Saya keluar aja, Pak."
Aku spontan menoleh ke belakang dan mendapati Bryan tengah berdiri dari kursinya sambil melenggang keluar menyusulku. Senyum otomatis tercipta di bibirku, setengah senang, setengah heran melihat kelakuannya.
Jadi ini rasanya punya teman seperjuangan.
"KAMU!? Saya nggak akan kaget kalau yang mau keluar berandalan Andrew itu-dia bahkan nggak datang ke kelas beberapa hari ini. Tapi kamu, Bryan?" sahut Pak Tanto heran.
Tanpa disangka, Bryan menghiraukan perkataannya dan tetap melenggang keluar. Seorang Bryan, yang seharusnya adalah anak rajin sekaligus sporty yang diidamkan semua orang, membangkang. Itu aneh. Namun, ketika aku melihat ekspresinya yang kosong seperti tanpa jiwa, aku baru tersadar ada yang salah.
Dia masih trauma akan kejadian itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
[COMPLETED] Curse of the Suicide Game
Mystery / Thriller[WARNING: Mengandung kata-kata umpatan dan adegan kekerasan yang kurang sesuai untuk anak-anak] Sosok psikopat di balik topeng putih yang menjadi momok siswa-siswi masih berkeliaran. Namun, Tim detektif amatir IMS (Infinite Mystery Seeker), yang ber...