87. Alice

39 13 0
                                    

“Lice, dengerin gue. Topeng Putih udah kabur dari bangunan, menuju panti. Gue nggak tahu korban kedua itu beneran ada di sana atau nggak, tapi kalian harus buruan cari dia. Gue tunggu kalian di asrama secepat mungkin.”

Joshua memutus telepon begitu menyampaikan kalimat itu dan aku langsung mematung.

Terlalu banyak informasi ambigu dalam satu kalimat singkat itu. Topeng Putih sudah kembali ke panti asuhan, dan korban kedua tidak tahu apakah benar ada di sini atau tidak. Apa maksudnya? Kenapa Topeng Putih kembali ke panti asuhan? Apa dia tahu kalau kami sudah memanggil polisi? Lalu apa maksudnya, tidak tahu apakah korban kedua ada di sini atau tidak? Memangnya di mana lagi kalau bukan di sini?

Tidak peduli apa maksud kalimat itu, kini aku sudah menggandeng tangan Sam untuk mengejar Andrew yang tiba-tiba berlari kembali ke lantai dua saat kami sedang sibuk mengecek lantai tiga setelah memanggil polisi.

“Apa, nih, kok gue dipegang-pegang?” Sam langsung mengomel begitu aku menariknya, namun aku tidak peduli.

Kami berhasil menemukan Andrew di tangga antara lantai satu dan dua, sedang terengah-engah.

“Ndrew, kata Joshua, Topeng Putih udah balik ke panti asuhan. Dan korban kedua nggak tahu bener di sini atau nggak, tapi kita harus buruan cari dia.” jelasku.

Yang diajak bicara hanya menggeleng singkat, lalu memandang langit-langit.

Astaga. Anak ini dari tadi benar-benar menguji kesabaranku. Setelah memutuskan sepihak memanggil polisi ke gedung ini tanpa memikirkan Catherine, ia mengatai argumenku tidak berdasar. Sekarang, dia malah mematung di tempat saat ada situasi genting seperti ini. Aku benar-benar ingin melemparnya dengan sandal.

“Gimana?” sahutku tidak sabar.

“Kita ke asrama sekarang.” sahut Andrew pada akhirnya. “Gue rasa gedung ini terlalu sepi, nggak ada pergerakan apapun.”

“Trus, korban kedua?” tanyaku.

“Kayaknya… nggak ada korban kedua sama sekali. Justru mereka sengaja ngirim kita ke sini buat pengalihan. Mungkin sesuatu yang penting lagi mereka lakuin di asrama.” jelasnya.

“'Kayaknya'? Lo mempertaruhkan nyawa orang dengan 'kayaknya'?” potongku.

“Gue nggak 100 persen yakin, sih. Tapi 85 persen yakin korban kedua dan Topeng-Topeng itu udah nggak ada di sini. Polisi udah otewe ke gedung ini, dan nggak mungkin juga kita nelepon buat ngeganti alamat. Atau, kalau nggak, salah satu dari kita tinggal di sini buat nyari korban, siapa tahu ada korban kedua.”

“Tapi kalo salah satu aja tinggal… kalo ternyata Topeng Putih beneran masih di sini dan korban lain belum dilepas gimana?” tanyaku.

“Ya udah. Gue aja yang tinggal di sini.” katanya. 

“Tapi… kalo yang gawat di panti asuhan gimana?” tanyaku lagi.

“Ada Joshua di sana, kan? Dan gue duga, kayaknya Joshua buru-buru ke panti asuhan bareng Gwen, jadi mungkin Joshua sama Gwen udah di TKP.” jelas Andrew. “Lo sembunyi di balik Joshua aja. Lagipula, Topeng Putih nggak mungkin beraksi di tempat umum.”

Aku mengangguk.

“Eh, tapi… Gimana Joshua bisa tahu kalo Topeng Putih udah nggak ada di gedung, dan korban kedua sebenernya nggak bener-bener dilepasin?” tanyaku lagi, baru kepikiran bahwa gelagat Joshua benar-benar aneh.

“Mungkin aja dia lihat Topeng Putih keluar dari gedung? Soalnya tadi, pas gue ngejar Topeng Putih tinggi bareng Bryan, dia memang lari keluar lewat pintu masuk gedung, sih. Gue nggak ngejar lagi setelahnya, soalnya… ternyata itu jebakan buat ngalihin kita dari kalian.” jelas Andrew.

“Joshua… nggak mungkin Topeng Putih, kan, ya?” tanyaku ragu-ragu.

“NGGAK MUNGKIN, LAH!” sahut Andrew dan Sam bersamaan, membuatku langsung berjengit kaget.

“Joshua terlalu baik buat jadi Topeng Putih. Lo nggak sadar? Dia itu terlalu baik sampe-sampe semua orang ditolongin, sebelas dua belas sama Catherine gue! Masa orang kayak gitu lo curigain jadi Topeng Putih? Suka ngaco, deh, sebel.” omel Sam.

“Santai aja, keles.” cibirku sambil mengerucutkan bibir.

“Oh, iya. Catherine. Rumah sakit, gimana? Lo udah coba nanya resepsionis soal Catherine? Aman, kan?” tanya Andrew pada Sam.

“Sejauh ini aman. Gue udah telepon buat melarang siapa pun masuk ke dalem kamarnya, sih. Trus, mereka bakal jaga ketat. Kondisi gawat, gitu.” jelas Sam.

“Dan mereka percaya?” tanyaku tidak yakin.

“Percaya, lah. Sam, gitu loh.” sahutnya bangga sambil menggosok hidungnya sok keren.

“Oke, deh.” sahutku. “Ya udah, kalo gitu… Gue balik dulu, ya. Stay safe, Ndrew.”

“You too, Princess.” sahutnya sambil mengacak rambutku, lalu melambaikan tangan santai, membuat Sam langsung menganga dan bersorak heboh.

“Berisik, Sam.” sahutku salting sambil berusaha menjitak kepalanya seperti yang biasa dilakukan Joshua.

“Andrew sama Alice pacaran, guys.” teriaknya heboh sambil berlari menjauh dariku—menghindari jitakanku.

“Sam! Bukan waktunya main-main. Jangan misah sendiri, dong!” pekikku sambil berusaha mengejar langkah bocah itu.

Kami pun segera berlari kembali menuju panti asuhan, meninggalkan Andrew seorang diri di gedung terbengkalai lokasi kejadian. Sejak tadi, aku selalu menoleh ke belakang beberapa kali, waswas kalau saja Topeng Putih tiba-tiba menyergap dan mengejar kami dari belakang. 

Untungnya, hal itu tidak terjadi sampai kami tiba di gerbang panti asuhan.

Eh, Joshua menyuruh kami bertemu di panti asuhan, tapi di bagian mana?

Aku segera meraih ponsel untuk menelponnya kembali sambil berjalan masuk ke dalam asrama melintasi koridor yang masih ramai dengan anak-anak berlalu lalang seakan tidak ada yang terjadi di panti asuhan mengerikan ini.

Telepon tersambung.

“Lo di mana?” tanyaku buru-buru.

“Taman belakang asrama.” sahutnya hampir bersamaan dengan pertanyaanku.

Aku terkesiap. Suara cowok itu gemetaran hebat.

“Kenapa, Josh?” tanyaku.

“Nggak, lo…” ia membalas mengambang, “Lo buruan ke sini aja.”

Jantungku berdebar kencang. Apa lagi yang terjadi? Aku buru-buru menyeret Sam untuk berlari menuju taman belakang asrama yang disebut-sebut, dalam hati terus berdoa agar sesampainya di sana… aku tidak disambut dengan sesuatu yang mengerikan.

[COMPLETED] Curse of the Suicide GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang