44. Sam

57 12 2
                                    

Seharian ini, tingkah Joshua aneh banget.

Nggak, dia nggak ngamuk-ngamuk kayak kemarin, sih. Tetapi, justru itu yang membuat dia jadi makin menyeramkan. Setelah meninggalkan semua orang tercengang semalam, sejak pagi ini, di kelas, tingkahnya mendadak biasa-biasa saja terhadapku. Malah, aku yang jadi bingung dan ketakutan sendiri, harus ngomong apa padanya.

Lagian, Bryan juga aneh. Aku tahu, sih, dia sedang sering PMS akhir-akhir ini, tetapi ngapain cari masalah dengan Joshua begitu? Nggak mikir apa, aku, yang duduk sebangku dengan Joshua, bakal jadi bingung? Kenapa, sih, dia suka banget berantem? Sebelum ini, juga, dia senang banget memulai cekcok dengan Monster Andrew. Sekarang, dia meng-unlock level baru dengan mengetes kesabaran Joshua, bos level 100, yang biasanya nggak pernah marah walau selalu kusebut dengan nama panggilan yang nggak-nggak—bukannya dia tahu itu, sih. Apakah hidupnya kurang berwarna?

Ya sudah, sih. Paling nggak, aku jadi tahu kalau jawaban teka-teki Topeng Monyet nggak mungkin dia.

Saat bel istirahat berbunyi dan aku hendak menuju ke kantin untuk berkumpul dengan yang lain, aku lagi-lagi ragu apakah harus mengajak Joshua. Kalau nggak kuajak, aku malas banget ikut berkumpul. Satu-satunya yang dekat denganku di IMS—selain Catherine, tentu saja, yang juga nggak ada di sini—cuma Joshua. Tetapi, kalau kuajak, jangan-jangan dia bakal berantem lagi dengan Bryan dan membuat drama seru di kantin? Oh, shoot. Aku belum siap jadi artis kayak Lee Minho.

"Josh, lo—"

"Ikut," ia menyela tanpa ba-bi-bu, "Gue ikut, kok."

Aku menatapnya pasrah, walau sedikit merasa heran bagaimana dia bisa tahu apa yang mau kukatakan. Yah, ya sudah, deh. Yang penting, aku nggak ikut-ikut.

Semua orang sudah duduk sambil makan bakso di kantin begitu aku dan Joshua tiba. Bahkan, Rosaline, yang sekelas dengan kami pun, sudah berada di sana lebih dulu. Melihat pemandangan itu, aku mengungkapkan hal yang pertama kali muncul di dalam benakku.

"Kenapa, sih, nih?" tanyaku bingung, "Hari bakso sedunia, ya? Kok, pada makan bakso semua?"

"Cerewet, Sam," Monster Andrew membalas, "Ya, sana, lo makan pecel Bu Karto, kalo doyan."

Aku menatapnya horor. Berani-beraninya dia menyarankanku untuk melakukan hal yang mengerikan itu. Lima menit setelahnya, aku dan Joshua sudah duduk di samping mereka sambil menyeruput kuah bakso masing-masing.

Saat makan, aku bisa merasakan suasana hening meliputi kami. Sepertinya, sama seperti aku, semua orang juga bingung harus bersikap bagaimana di depan Joshua, yang belum mengatakan apa-apa sejak tadi. Aku punya perasaan, kalau dia nggak mulai ngomong sekarang, kami bakal berdiam-diaman di sini sampai istirahat selesai.

Ngomong, plis, batinku.

"Gue minta maaf." Joshua tiba-tiba buka suara. Aku menatapnya tercengang. Di titik ini, aku lumayan yakin dia itu cenayang. Bagaimana dia bisa tahu apa yang kupikirkan, sih? "Harusnya gue nggak marah kayak gitu kemarin. Dan, sori juga, udah nyembunyiin ruangan itu dari kalian."

Semua orang saling berpandangan, nggak tahu harus mengatakan apa. Alice adalah yang pertama membalas, "Er... kalo boleh tahu, kenapa lo dan Gwen nyembunyiin itu dari kami, Josh?"

"Kami diancem. Katanya, nyawa empat orang yang ada di tangan mereka itu dalam bahaya," Joshua menjawab, "Permainan ini, semuanya—itu cuma buat ngancem kami. Dan salah satu larangannya, selain ngomong tentang ruangan itu ke Pak Stenley, adalah ngomong ke kalian."

Mendengar kalimat terakhir, wajah semua orang langsung berubah tegang. "Terus..." Rosaline membuka suara, "Terus, gimana, dong? Kita akhirnya tahu, kan? Terus, Catherine dan—"

[COMPLETED] Curse of the Suicide GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang