64. Andrew

41 12 0
                                    

Fuck, fuck, fuck, fuck!

Aku terus mengumpat dalam hati sembari melangkah mengikuti Pak Stenley menuju kantornya dalam diam. Kenapa aku harus mengajak mereka ke gudang itu? Seandainya aku tidak sembunyi-sembunyi menunjukkan ponselku pada mereka, Pak Stenley tidak mungkin menangkap basah kami sedang berkumpul dalam gudang sempit dengan muka tegang seperti sedang melakukan pesugihan.

Kalau sudah begini.... aku harus beralasan apa?

Mari berpikir jernih. Kalau seandainya ia memang mencurigai kami sebagai Topeng Putih, apa yang akan dilakukannya? Biasanya kalau aku melanggar aturan, sih, ia memaksaku untuk membersihkan sekolah atau memungut sampah, atau semacamnya. Tapi kali ini... kami dicap sebagai pelaku penculikan dan pembunuhan keji. Mungkin... hal paling masuk akal yang akan ia lakukan adalah menggeledah kamar dan barang-barang kami untuk mencari bukti.

Mataku langsung membelalak begitu Pak Stenley, seperti sengaja membenarkan dugaanku, tiba-tiba berbelok melewati tangga begitu saja.

"Pak, bentar." sahut Bryan sambil menghentikan langkah. "Ini kita mau ke mana? Kok, nggak ke arah kantor Bapak?"

Wajah semua orang langsung ikut berubah pucat pasi, sepertinya masing-masing mulai menyadari bahwa kami sedang melangkah ke arah pintu gerbang keluar dan, kemungkinan besar, asrama. Kalau kamar saja yang digeledah, masih tidak masalah. Tapi, kalau ponsel mereka...

Pasti mereka masih menyimpan SMS dari Topeng Putih.

Kalau sampai Pak Stenley tahu soal SMS itu, nyawa Rosaline, Catherine, dan korban-korban lainnya bisa jadi dalam bahaya. Untung saja, aku selalu langsung menghapus SMS dari Topeng Monyet setelah menerimanya.

Kenapa?

Tentu saja karena aku tidak mau melihat gambar-gambar korban yang mengganggu pikiranku itu. Melihat mereka disekap tidak berdaya dengan lakban hitam di mulut dan tangan yang diikat ke belakang membuatku kembali teringat bahwa Willy pernah berlaku sedemikian jahat demi kepentingannya sendiri.

Dan hal itu membuat hatiku terasa sangat sakit.

"Ikut saya saja," sahut Pak Stenley garang, namun sorot matanya menunjukkan dugaanku soal penggeledahan itu benar. "Nggak usah banyak tanya—"

"Bukannya saya takut, ya, kalo Bapak mau menggeledah barang kami atau apa. Bodo amat, saya nggak ada yang diumpetin. Tapi, kalau semisal iya, saya bawa HP, Pak, ke sekolah. Harus diambil di kelas dulu kalo mau digeledah," potongku. Yang lain langsung melempar tatapan tidak percaya padaku, seolah mengatakan, 'Ngapain lo ngomong begitu?'

Pak Stenley langsung menggertakkan giginya penuh emosi. "Bukankah sudah pernah saya bilang, tidak boleh ada HP di sekolah?"

Aku hanya mengedikkan bahu, lalu berkata, "Bukannya memang sudah biasa berandalan dan sampah masyarakat seperti saya melanggar aturan yang Bapak buat?"

Wajahnya berubah merah padam, dan ia mengepalkan tangan di samping badan kuat-kuat, lalu menghardik, "Baik! Kita ke kelas dulu—ambil HP-mu itu."

Rencanaku berhasil.

Kami berjalan beriringan menuju kelas XI-A seperti tahanan yang sedang dikawal oleh polisi. Bel masuk baru saja berbunyi, sehingga semua orang sudah berada di kelas masing-masing, walaupun guru-guru pemalas itu belum tampak batang hidungnya. Begitu aku menjeblakkan pintu kelas hingga terbuka, suasana kelas mendadak hening. Seluruh pasang mata menatap ke arahku yang kini berjalan santai menuju tas ransel.

Tentu saja, ponselku sebenarnya sudah berada di kantong sejak tadi. Hanya saja, aku punya rencana lain. Di saat genting seperti ini, aku tidak punya alasan selain kebohongan ini untuk bisa membiarkan kami bertemu dengan Gwen—satu-satunya orang yang bisa kami andalkan hari ini.

"Ngapain, sih, pake mau ngecek HP segala—kayak kita kriminal aja. Bela-belain ke kamar sekarang cuma buat geledah-geledah, pula." gerutuku, sengaja dengan suara keras. "Emangnya bakal ada apa di HP kita semua? Film bokep?" lanjutku dengan nada kesal, sambil melirik ke arah Gwen yang kini memandangku dengan tatapan membunuh. Aku berusaha mengirimkan sinyal penuh arti melalui tatapan mata itu.

Gwen mengernyit, lalu matanya mulai jelalatan, seperti mencari-cari sesuatu.

Oke, sepertinya ia sudah menangkap sinyalnya. Sekarang, waktunya keluar.

Begitu aku melangkahkan kaki untuk keluar dari ruangan, Pak Stenley langsung mengulurkan tangannya untuk mencegah langkahku, lalu meminta ponsel yang kini sedang berada di dalam genggamanku.

"Nih, Pak. Cek aja. Sambungin aja ke proyektor kalo bisa, sekalian, biar dilihat semua orang," tantangku nyolot sambil tersenyum meremehkan. "Password-nya satu tujuh kali."

Tanpa menggubris nada bicaraku, Pak Stenley segera membuka ponselku dan mengecek isinya dengan sangat serius. Bahkan, karena terlalu serius, ia tidak menyadari bahwa Gwen baru saja menyelinap keluar dari kelas. Alice bahkan masih sempat untuk mengulurkan kunci pintu kamarnya pada Gwen. Seharusnya, ia akan masuk ke dalam kamar-kamar untuk membantu anak-anak yang lain menghapus chat history Topeng Monyet dari ponsel mereka.

Yes. Semoga berhasil.

Tapi... bagaimana ia tahu kamar mana yang harus dikunjungi duluan? Bagaimana kalau Pak Stenley memutuskan untuk menyambangi kamar yang belum dimasuki olehnya? Lebih parahnya lagi, bagaimana kalau ia masuk ke kamar saat Gwen berada di dalam? Atau... kalau Topeng Bangsat tiba-tiba mengirim pesan ke ponsel yang sedang diperiksa?

Tiba-tiba, jantungku berdebar kencang sekali. Goblok, goblok, goblok. Apakah kami akan ketahuan?

"Pak." sahut Bryan secara tiba-tiba, memecah konsentrasi Pak Stenley. "Memangnya kenapa, sih, pake geledah-geledah segala kayak gini? Emang kita kriminal?"

"Terduga kriminal, benar sekali." sahutnya dingin tanpa melepaskan pandangan dari ponselku.

"Tapi, kan, buktinya nggak cukup kuat, Pak. Kita juga punya privasi yang nggak boleh orang lain tahu, dong, di kamar masing-masing. Bapak seharusnya menghormati—"

"Kalau tidak ada yang disembunyikan, tidak ada yang perlu ditakuti, kan?" Pak Stenley memotong tajam, "Toh, saya tidak peduli dengan apa pun yang akan saya temukan kecuali berhubungan dengan kasus ini."

"Tapi, nggak bisa gitu, dong, Pak," Bryan masih ngotot, "Privasi tetep aja privasi. Walau nggak ada apa-apa di kamar saya, Bapak tetap nggak bisa main masuk gitu, dong. Saya—"

"Oh, kamu menyembunyikan sesuatu dari saya, ya, di dalam kamarmu itu?" sela Pak Stenley geram, lalu melemparkan ponsel di tangannya kembali padaku, pertanda ia sudah selesai membongkar apa pun yang ingin dibongkarnya.

"Gimana, Pak? Nggak nemu apa-apa, kan? Puas, kan?" sahutku sambil tersenyum penuh kemenangan.

"Nggak ada jaminan kamu belum menghilangkan buktinya," tuduh Pak Stenley padaku.

"Wah, sakit, loh, dituduh-tuduh gini, Pak. Kalau memang nggak ada buktinya, ya, berarti saya nggak ngelakuin apa-apa, dong. Bapak bisa saya tuntut pencemaran nama baik, loh, ini." sahutku sambil mengangkat tangan.

"Silakan. Silakan saja adukan saya ke polisi, dan kalian bakal kehilangan tempat tinggal." sahutnya sambil tersenyum sinis. "Selama berada di bawah atap saya, merupakan hak saya untuk menindak kalian sebagaimana saya mau."

Bener juga, sih.

Aku mengatupkan mulut rapat-rapat. Sebenci-bencinya aku dengan kepala asrama sekaligus kepala SMA yang kini mejeng di depanku, aku masih tidak mau hidup di jalanan. Setidaknya, sekarang aku masih punya tempat tinggal untuk dihuni.

"Tapi memang Bapak udah keterlaluan, nih, menggeledah kamar-kamar seperti ini." sahut Bryan, kembali memecah keheningan. Entah apa yang ia rencanakan dari menentang hal itu. Apa mungkin ia hanya ingin mengulur waktu sampai Gwen bisa menghilangkan jejak dari ponsel mereka?

Eh, tapi... setelah diingat-ingat, tadi Bryan tidak memberikan kunci kamarnya pada Gwen. Apa yang dipikirkan cowok itu sekarang?

Pak Stenley hanya menatap Bryan dengan garang, dan Bryan pun menatap balik tanpa takut. Sekitar lima detik kemudian, Pak Stenley akhirnya langsung membuka suara, "Baik, kamarmu yang pertama. Kita ke sana saat ini juga."

[COMPLETED] Curse of the Suicide GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang