“SAM!” Bryan memekik panik begitu mematikan panggilan telepon. “Dia nemuin sandera pertama yang dilepas di lantai dua.”
Aku dan Alice langsung membelalakkan mata dan menganga bersamaan. Tidak pernah kuduga, dari semua orang yang ada, Sam lah yang pertama kali menemukan sandera yang dilepaskan Topeng Putih.
Kalau dipikir-pikir, dia juga yang pertama menemukan Topeng Putih. Apa sebenarnya bocah itu diam-diam punya keahlian sendiri? Bisa membaca cara pikir orang lain, misalnya? Sampai-sampai dia bisa berada di lantai yang sama dengan Topeng Putih dan korban secara berturut-turut.
Ah, nggak mungkin, sih. Dia, kan, Samuel Ethan Wijaya. Paling-paling satu-satunya keahlian yang bakal dia punya adalah keberuntungan.
Kami buru-buru berlari menuruni tangga menuju lantai dua. Belajar dari pengalaman, aku sengaja memerlambat langkah agar Alice masih bisa berada dalam pengawasanku. Lagipula, kalau ada keadaan darurat pun, Bryan pasti bisa mengatasinya kalau dia sampai di TKP terlebih dulu. Pokoknya, prioritas utama melindungi si kecil itu dulu supaya tidak lagi diculik oleh Topeng Sialan.
Tidak butuh waktu lama sampai kami menemukan Sam, yang tengah memapah Kimberly yang masih tidak sadarkan diri. Ia mengenakan jubah dan Topeng Putih yang sama dengan para pelaku. Untung saja ia bertemu dengan Sam, kalau saja ia bertemu dengan aku atau Bryan, pasti kami sudah memukulinya terlebih dahulu dan baru menyesal setelah membuka topengnya kemudian.
Ketika Alice melepaskan jubah hitam yang menyusahkan jalannya, tampaklah bahwa sekujur tubuhnya terluka. Sepertinya selama dikurung, ia juga disiksa. Tapi lebih daripada itu, yang menarik perhatianku adalah cara jalannya. Ia tidak sanggup berjalan lurus, dan dari pandangannya, sepertinya ia hampir pingsan. Saat Alice mengecek salah satu matanya, ternyata mata itu memerah dan pupilnya tampak tidak normal.
Aku pernah melihat ciri-ciri yang sama pada pengguna narkoba dulu.
Apa jangan-jangan, Topeng Sial itu memberikan narkoba pada para korban sebelum dilepaskan? Dasar bajingan.
“Gue bantu.” kata Alice buru-buru membantu Sam yang hampir kewalahan untuk memapah Kim menuruni tangga.
Drrt….
Ponsel kami pun bergetar bebarengan, menandakan adanya pesan baru dari si Topeng.
“Korban kedua… udah dilepas, katanya.” umumku setelah membaca pesan itu, sambil mengawasi sekitar—berjaga-jaga kalau Topeng Putih berpistol dan rekannya kembali muncul.
Tapi, sebenarnya aku tidak begitu khawatir dengan pistol itu, sih.
Awalnya saja aku cukup merasa takut pada pistol yang dibawa oleh Topeng Putih laki-laki itu. Terlebih, si Cupu itu menggunakan silencer untuk meredam bunyi tembakan, sehingga kalau kami semua mati tertembak di sini pun, nggak bakalan ada yang mendengar bunyi pistolnya. Tapi, setelah ia beberapa kali menembakkan pelurunya ke arah kami dan meleset, aku jadi tahu pasti kalau sebenarnya ia—atau mereka berdua—tidak pernah dilatih menggunakan senjata api sama sekali. Akurasinya sangat buruk sampai-sampai meleset sangat jauh. Dan untungnya, dia terpaku menggunakan pistol itu, bukannya koleksi pisau yang tersembunyi di balik jubah panjangnya.
Yang lebih mengkhawatirkan justru Topeng Putih satunya. Walaupun tidak kuat, ia terampil menggunakan pisau dan punya gerak refleks yang cepat. Badannya juga gesit dan ringan sampai-sampai bisa melompat di udara tanpa kesulitan sama sekali.
Tapi, kalau sampai si Pistol menyerah dengan senjata apinya dan memilih menggunakan pisau, lalu menyerang bersamaan seperti tadi… Aku tidak yakin kami bisa menang. Apalagi, ditambah fakta bahwa si kampret Joshua dan Gwen, yang seharusnya menjaga lantai satu dan dua, hilang entah ke mana.
Kalau begini caranya, tinggal aku dan Bryan yang bisa melawan kedua Topeng Putih itu.
Tapi, kami jelas kalah persenjataan.
Belum lagi, kedua psikopat itu saat ini tidak tahu sedang ada di mana. Bisa saja mereka tiba-tiba muncul sekarang juga saat kami sedang bersusah-payah membantu Kim menuruni tangga.
Atau malah mereka sudah berada di lantai satu?
SHOOT!
Aku sedetik terlambat menyadari kemungkinan terburuk itu. Sebuah peluru sudah ditembakkan, dan kali ini—entah bagaimana—mengenai sasaran. Kaki Kim tertembak, dan ia langsung tersungkur jatuh mengantam tangga, diikuti oleh Alice dan Sam yang tengah memapah tubuhnya. Kami spontan menjerit kaget.
Darah langsung keluar dari luka tembak yang tampak menyakitkan itu. Dia yang tertembak, namun kakiku lah yang terasa kebas karenanya. Aku pernah mendengar dari sebuah film bahwa peluru harus segera dikeluarkan dari tubuh kalau tidak mau terkena infeksi.
Tapi jelas tidak ada di antara kami yang tahu pasti bagaimana caranya.
Daripada itu, lebih baik aku segera menangkap dua keparat itu dulu.
Aku segera melompati Alice dan Sam, yang kini sedang berusaha mengelap darah yang mengucur dari luka tembak Kim di anak tangga, diikuti oleh Bryan yang melakukan hal serupa. Kami berdua segera mengejar Topeng Putih berpistol yang langsung tancap gas menuju pintu masuk gedung begitu melihat bahwa kami tidak lengah.
“Sini, woi! Nggak usah lari, dasar pengecut!” seruku sambil berusaha berlari sekuat tenaga.
Namun, tinggi kami bertiga kurang lebih sama, sehingga ia dapat dengan mudahnya mengatur jarak di antara kami tetap stabil. Tapi, untungnya, begitu kami berhasil mengejarnya hingga ke luar gedung, ia mulai kehabisan tenaga. Langkahnya memelan, sehingga jarak di antara kami berangsur memendek.
“Mau nyerah, ya? Mau kabur ke mana, lo? Dasar cemen!” umpatku tanpa mengurangi kecepatan berlari.
Di sisi lain, Bryan tiba-tiba memerlambat langkahnya dan berhenti di tengah jalan. Bagaimana bisa ia kehabisan tenaga di saat seperti ini? Aku menoleh ke belakang tanpa mengurangi kecepatan.
“STOP!” pekiknya di sela-sela hirupan napasnya yang terengah-engah. “Balik! Ini jebakan!”
Ia segera berlari kembali ke dalam gedung, membuatku masih bimbang antara tetap mengejar Topeng Putih yang hanya berjarak beberapa meter lagi dari tempatku berdiri, atau ikut dengan Bryan yang mengira ini jebakan entah dengan alasan apa. Seandainya mereka berdua menangkap kami di sini pun, kami masih bisa melawan, kan? Lagipula, yang satunya hanya gadis kerempeng yang bahkan bisa kuangkat dengan mudah.
Apa yang dia takutkan?
Tapi, dia adalah ketua tim. Dan, kali ini kuakui, otaknya memang selalu berorientasi ke depan dan sudah berbeda level dengan pemikiran orang biasa. Mungkin sebaiknya aku mengikuti instruksinya. Aku pun berbalik dan menerjang masuk.
Untungnya, aku mengambil keputusan yang benar.
Begitu sampai kembali di dalam gedung, kami disuguhi dengan pemandangan mengerikan: Kim yang tergeletak tak berdaya di lantai dengan kaki dan pinggang berdarah, dan Sam bersama Alice yang sedang berjuang mati-matian melawan Topeng Putih wanita.
Pandanganku otomatis terpaku pada Kim. Darah terlalu banyak keluar dari tubuh gadis itu. Apakah ia masih bernyawa?
Alice. Alice dulu.
Aku segera berlari menuju Alice, yang sedang bersembunyi di balik Sam, yang tengah memegangi tangan Topeng Putih dengan susah-payah. Untungnya, bocah itu sepertinya lebih kuat dari Topeng Putih, sehingga ia berhasil menahan pisau di tangan kanan si Topeng meskipun keduanya gemetaran.
“Bawa Kim ke tempat aman.” perintahku pada mereka sambil mengantam Topeng Putih dengan bahu kananku.
Meskipun sempat terpukul mundur, Topeng Putih langsung menerjang maju ke arahku dengan pisau diacungkan di tangan kanannya, membuatku refleks langsung menghindar ke kanan. Namun, detik selanjutnya aku menyesali perbuatanku. Ternyata, Alice berada tepat di balikku, dan karena aku menghindar, pisau itu kini diarahkan padanya.
“AKH!” pekik Alice sambil meletakkan kedua tangannya di depan tubuh.
Jleb!
Bunyi tusukan pisau terdengar, membuat wajahku langsung memucat.
KAMU SEDANG MEMBACA
[COMPLETED] Curse of the Suicide Game
Mystery / Thriller[WARNING: Mengandung kata-kata umpatan dan adegan kekerasan yang kurang sesuai untuk anak-anak] Sosok psikopat di balik topeng putih yang menjadi momok siswa-siswi masih berkeliaran. Namun, Tim detektif amatir IMS (Infinite Mystery Seeker), yang ber...