"Astaga!" Sam tiba-tiba memekik. "Jangan-jangan itu bukan Topeng Putih, Cath! Itu seseng fens."
"Hah?" Aku membeo sambil menolehkan pandanganku pada Sam.
"Sasaeng fans mungkin maksudnya." jelas Rosa.
"Lo kampungan ah Lice, itu lho seseng, sebutan stalker Korea yang over banget itu, lho. Yang suka ngejar-ngejar—"
"Plis, deh. Kayaknya ini bukan waktu yang tepat buat bahas itu, ya kan, Sam?" potong Joshua frustrasi sambil membungkam mulut Sam.
"Sejak kapan teror itu dimulai?" tanya Bryan bergerak cepat seperti biasanya.
"Bentar, bentar," Catherine menyela. Hening sejenak, kemudian terdengar bunyi klek nyaring, disusul suara samar-samar percakapan. Napas Catherine terembus lega. "Aman," ia mengumumkan dengan suara lebih nyaring, "Udah rame di luar. Harusnya aman. Aku keluar lemari dulu, deh. Kayaknya nggak enak ngobrol dari dalem lemari."
Tanpa sadar, kami semua ikut mengembuskan napas lega.
"Jadi," Bryan memulai lagi, "Tadi gue lagi tanya, sejak kapan teror itu dimulai?"
Catherine menjawab dengan suara yang tidak lagi bergetar. "Pokoknya, setelah teror batu bata itu, SMS-nya sebenernya masih berlanjut, tapi aku sungkan ngomong sama kalian. Soalnya, kan, aku tahu suasana sekolah pasti nggak nyaman untuk sekarang, apalagi pikirku Topeng Putih nggak akan ngejar sampai sini. Aku, kan, di luar kota."
"Gila." sahutku sambil menggelengkan kepala. "Topeng Putih itu bener-bener gila. Untuk apa dia jauh-jauh ke sana buat ngejar lo?"
"Karena dia lagi sendirian." Andrew tiba-tiba menyahut, membuat seisi ruangan menolehkan pandangan ke arahnya.
Hening setelahnya.
Aku berusaha memutar otak, mencari-cari topik untuk mengatasi keheningan canggung akibat cowok berambut merah itu. Setelah beberapa menit dalam keheningan, tiba-tiba terlintas sebuah ide di dalam otakku, "Terus, lo di sana sama siapa? Maksud gue apa ada yang ngedampingin dari sekolah? Guru mungkin? Atau yang ikut lomba lainnya?"
"Yang ikut lomba dari sekolah cuma aku aja. Tapi kalau guru ada Pak Stenley." sahut Catherine, diikuti dengusan kesal semua orang di dalam ruangan. "Ada Pak Asep juga, sih. Tapi, mereka berdua juga biasanya nggak banyak berinteraksi sama anak-anak karantina, soalnya emang dibatesin kontak kita sama guru pendamping. Ini aja seharian aku nggak lihat Pak Stenley."
"Tunggu." Joshua tiba-tiba menyela. "Bukannya delapan puluh persen kemungkinan Topeng Putih kedua ini orang tua, ya? Yang waktu em... almarhum Willy bilang, dia waktu umur delapan sudah melaksanakan rencana pembunuhan itu, harusnya dipengaruhi sama orang dewasa nggak, sih?"
"Bener juga." sahutku sambil melirik Bryan, merasa aneh karena ia tidak terpancing oleh topik menarik ini.
Biasanya jika berhubungan dengan petunjuk misteri, atau diskusi tentang keanehan di sekolah ini, atau tentang Topeng Putih, ia selalu berapi-api menanggapinya. Namun kali ini, ia tampak kosong, memang tubuhnya berada di sini, tapi pikirannya melayang entah ke mana.
"Iya kan, Bry?" sahutku sambil menepuk pelan punggungnya.
"Eh, apa gimana?" tanyanya tampak baru sadar dari lamunan panjang.
"Topeng Putih kedua kemungkinan orang dewasa, makanya Bry, dengerin!" omel Sam, merasa bangga kali ini bisa balas dendam.
"Iya." sahut Bryan singkat.
"Oh, iya, waktu itu..." Catherine lagi-lagi menggantungkan kalimatnya di udara, tampak ragu dengan apa yang ingin dia ucapkan. "Waktu kalian ngejar-ngejar Willy, di jam yang sama Pak Stenley hilang lama banget. Bukannya mau nuduh, sih. Tapi mungkin kalian bisa menyelidiki lebih lanjut soal ini. Trus ati-ati aja ke depannya."
"Tapi, motif Willy, dia bilang karena nggak suka sama Pak Stenley kan?" sanggah Bryan. "Eh, tapi nggak ada yang menjamin juga dia bilang yang sebenernya. Toh waktu itu dia bisa aja cuma asal ngomong."
Joshua mengangguk, lalu menyahut, "Memang semuanya butuh penelitian lebih lanjut. Pokoknya lo hati-hati aja di sana Cath, nempel ke Pak Asep."
"Heh, Catherine bukan cewek kayak gitu ya Josh." tegur Sam tidak nyambung, yang kemudian dihiraukan oleh setiap makhluk hidup di ruangan ini.
"Eh, tapi kan Pak Asep juga orang dewasa." sahutku.
"Iya, Lice. Tapi lebih mencurigakan mana? Anjing rabies atau kambing gembrot?" sahut Sam.
"Hah? Maksudnya?" tanyaku bingung.
"Perasaan dulu Pak Stenley lo bilang anjing galak deh, bukan rabi—"
"Apa sih Josh, suka-suka gue dong mau ngomong apa. Sstt... Dasar tukang komen." potong Sam tidak sabar.
"Iya Cath, lo ati-ati ya di sana. Kalau ada apa-apa telepon aja, jam pelajaran pun nggak apa-apa. Gue bisa bawa HP ke sekolah kok, nanti tinggal di-mode vibrate biar nggak ketahuan guru." sahutku, mengembalikan topik pada jalan yang benar.
"Telepon gue juga bisa Cath! Nanti gue panggilin polisi deh, ke sana." tambah Sam.
"Iya guys, makasih ya. Love you all. Sekarang aku istirahat dulu, deh, ngantuk banget. Semaleman kemarin nggak bisa tidur gara-gara aku takut banget. Tapi sekarang setelah telepon sama kalian aku jadi lebih tenang. Makasih guys." balas Catherine.
"Good night." sahutku.
"Good night." balasnya sebelum mematikan sambungan telepon.
KAMU SEDANG MEMBACA
[COMPLETED] Curse of the Suicide Game
Mystery / Thriller[WARNING: Mengandung kata-kata umpatan dan adegan kekerasan yang kurang sesuai untuk anak-anak] Sosok psikopat di balik topeng putih yang menjadi momok siswa-siswi masih berkeliaran. Namun, Tim detektif amatir IMS (Infinite Mystery Seeker), yang ber...