19. Bryan

62 14 0
                                    

Aku tidak yakin kami tidak sedang berada dalam sebuah reality show televisi.

Di titik ini, kalau tiba-tiba si Topeng Putih muncul dan membuka topengnya sambil berseru, "Kena, deh! Yuk, salam-salam ke kamera," aku tidak bakalan kaget. Malahan, aku bakal salam-salam ke kamera dengan senang hati. Soalnya, beberapa menit terakhir ini terlalu gila untuk menjadi kenyataan.

Siapa, sih, orang sinting yang kepikiran untuk meneror dan mengancam orang sampai membeli alat pengubah suara segala? Orang itu seharusnya sudah masuk ke dalam daftar psikopat gila yang pantas diburu negara.

Tambahan lagi, orang gila itu tahu semua gerak-gerik kami, sampai-sampai aku yakin sekali, saat ini pun, ia sedang mengamatiku berlari tanpa arah seperti orang linglung di koridor sekolah. Beberapa kali, aku membalikkan badan secara mendadak, berharap bisa menangkap basah siapa pun yang sedang menonton di balik bahuku, tetapi selalu tidak ada siapa-siapa di sana.

Sambil mengerang frustrasi, aku naik ke lantai tiga sekali lagi, berniat memastikan bahwa aku sudah mencari dengan benar terakhir kali.

Tidak masuk akal.

Orang itu pasti masih ada di sekitar sini. Aku yakin sekali.

"Nggak ada," Andrew mengumumkan kepadaku saat kami berpapasan di koridor, "Pasti orangnya udah pergi. Udah dari tadi, juga."

"Nggak mungkin!" bantahku, "Kalo dia kabur, kita pasti lihat. Cari lagi. Dia pasti masih ngumpet."

"Nggak ada, Bry!" Andrew membentak, "Gue udah cari ke seluruh pelosok sampe ke rooftop juga nggak ada. Udah, lah. It sucks, tapi kita udah kehilangan dia lagi."

Aku menatap cowok itu geram. Gampang sekali dia melepaskan kesempatan emas yang mungkin tidak akan datang dua kali seperti ini? Apa dia juga akan menyerah lagi seperti yang sudah sering terjadi sebelumnya, bahkan terhadap pembunuh sahabatnya sendiri?

"Denger, ya, Ndrew. Ini bukan—"

"AAAKH!"

Aku dan Andrew spontan melotot bersamaan.

Suara Sam.

Jantungku langsung berpacu dengan sangat kencang. Tanpa aba-aba, kami berdua segera melesat secepat kilat, kembali ke ruang lab biologi. Dari kejauhan, aku bisa melihat seseorang sedang berdiri di depan jendela ruangan. Tanpa berpikir dua kali, kuulurkan tangan ke depan untuk mencekal pergelangan tangan orang itu sambil berteriak, "Kena lo!"

"Bry, itu—"

"Aduh, sakit, woy!"

Sepersekian detik setelah aku melihat orang tersebut lebih jelas, mulutku ternganga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sepersekian detik setelah aku melihat orang tersebut lebih jelas, mulutku ternganga. Joshua sedang menatapku balik dengan tampang kesal. Yang lebih parah lagi, di sampingnya, Gwen sedang berdiri sambil mendengus meremehkan menatapku. Malu, aku segera melepaskan cekalan tangan, berusaha mengatakan sesuatu. "Gue— tapi, tadi Sam—"

[COMPLETED] Curse of the Suicide GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang