Aku mengempaskan pantat ke atas bangku kelas dengan bersungut-sungut.
Topeng Putih kampret. Bagaimana dia bisa menghasut Pak Stenley untuk membuat kami, yang berusaha menyelamatkan para korban, menjadi pelaku, sih? Lagipula, Pak Asep dan Pak Seto juga kenapa bisa berpikir kami pelakunya? Padahal, mereka jelas-jelas tidak pernah bahkan berbicara denganku.
"Dilihat dari tahun lahirnya... mungkin sekarang dia udah umur tiga puluh tahun-an, sih."
Aku langsung membelalak begitu teringat kalimat yang Andrew katakan di kamarku kemarin sore. Aku buru-buru menoleh ke arah Bryan yang sama kesalnya denganku. Bedanya, ia hanya menatap meja dengan pandangan kosong sambil mengatupkan rahangnya keras-keras dan mengepalkan tangan.
"Bry." panggilku, membuat kepalannya langsung merenggang.
"Kenapa?" tanyanya sambil memaksakan seulas senyum—kentara sekali ingin menyembunyikan rasa kesalnya dariku.
"Pak Asep sama Pak Seto umur berapa, sih?" tanyaku.
"Waduh, kurang tau gue. Mungkin sekitar tiga puluh-an? Masih muda, kok." sahutnya, membuat mulutku langsung menganga. "Kenapa emangnya?"
Aku melambaikan tanganku, menyuruhnya untuk duduk agak mendekat, dan membisikkan, "Kemarin Andrew bantuin gue nyelidikin soal artikel itu, dan ternyata si pencuri ilegal itu meninggal karena bokap gue salah tembak, tapi ditutupin media."
"Hah?" ia langsung melongo terkejut. "Serius, lo?"
"Iya. Dan ternyata pelakunya masih punya anak, anaknya sekarang sekitar umur tiga puluh-an." sahutku.
"Wah, bagus, ini." sahutnya sambil kembali duduk dan tersenyum antusias. "Akhirnya kita punya petunjuk soal psikopat yang mengaruhin anak-anak kecil buat ngelukain temennya sendiri."
"Tapi... Pak Asep sama Pak Tanto umur tiga puluh-an, kan?" tanyaku.
Bryan mengangguk, lalu menyambung, "Kayaknya kita perlu nyari guru atau petugas yang umurnya segituan, sih. Kemungkinan besar, pelakunya tinggal di panti asuhan juga, dan deket sama anak-anak. Nanti malem lagi aja kita bahas bareng anak-anak. Ini kita udah dipelototin sama Pak Tanto dari tadi."
Aku mengangguk singkat sebelum kembali menutup wajahku dengan buku pelajaran.
***
Akhirnya malam tiba juga. Aku sudah tidak sabar membahas perkara berita itu dengan teman-teman yang lain. Tepat jam sepuluh malam, mereka semua sudah berkumpul di dalam kamarku, saling menatap ponsel masing-masing, mengharapkan petunjuk baru dari Topeng Putih.
Bahkan, Gwen ada di sini.
Entah kenapa, belakangan, ia jadi lebih sering mengikuti diskusi bersama dengan kami, walaupun tidak mengatakan apa pun. Meskipun jarang tampak serombongan, rasanya aku lebih tenang jika cewek itu ada di sekitar kami. Tapi ada baiknya, sih, dia jarang tampak bersama dengan kami saat siang hari. Karena dengan begitu, dia bisa tetap bebas dari awasan Pak Stenley, dan tetap bisa menyelidiki ketika kami dibatasi oleh Pak Stenley.
"Ini, kok, nggak ada klu kedua, ya? Harusnya klu kedua dikasih kemarin agak malem nggak, sih? Atau maksimal siang tadi, lah. Sampe jam segini, pun, nggak ada petunjuk lagi." kata Joshua.
"Iya, aneh banget. Gue dari tadi juga nungguin itu, sih, tapi ternyata nggak ada." sahut Sam, for the first time in forever bisa nyambung dengan topik yang tengah kami bicarakan.
"Mungkin emang nggak ada petunjuk kedua." sahut Andrew santai sambil mengangkat bahunya. "Kan, kalian tahu sendiri, Topeng Sialan itu gimana perangainya, suka ganti-ganti aturan seenak jidat."
KAMU SEDANG MEMBACA
[COMPLETED] Curse of the Suicide Game
Mystery / Thriller[WARNING: Mengandung kata-kata umpatan dan adegan kekerasan yang kurang sesuai untuk anak-anak] Sosok psikopat di balik topeng putih yang menjadi momok siswa-siswi masih berkeliaran. Namun, Tim detektif amatir IMS (Infinite Mystery Seeker), yang ber...