57. Bryan

45 12 0
                                    

Seisi ruangan berubah hening dengan cepat. Semua orang sibuk memikirkan jawaban dari teka-teki yang baru saja kami terima. Tetapi, pikiranku tidak hanya terpaku pada hal itu. Kejadian barusan dengan Pak Asep dan Pak Seto masih mengganggu benakku, sampai-sampai rasanya susah untuk berkonsentrasi pada apa yang ada di depan mata.

"Guys," aku akhirnya memulai, setelah keheningan meliputi ruangan terlalu lama, "Mungkin kita bisa pikirin teka-tekinya nanti. Saat ini, gue mau cerita dulu, deh."

Semua mata langsung beralih menatapku, kecuali, tentu saja, Gwen, yang masih memejamkan mata dengan serius sambil bersidekap di sudut ruangan.

"Tadi pagi, gue dicegat Pak Asep. Dia nanyain soal Luke, karena remot proyektor dia dibawa Luke," aku memulai cerita, "Terus, dia ke kelas B tadi, nanyain keberadaan Luke, dan dia akhirnya sadar kalo Luke nggak ada di mana pun. Barusan, gue di kamar Joshua, dia dateng sama Pak Seto, nyariin Luke. Katanya, dia mau bawa kasus ini ke Pak Stenley buat ditindaklanjuti."

"Pak Stenley?" Alice menyahut paling cepat, "Pak Stenley bukannya dinas?"

"Iya, tapi katanya, tadi pagi udah balik," jelasku.

"Ya malah bagus, nggak, sih?" Andrew membalas sewot, "Biar aja mereka sadar murid-muridnya pada hilang. Mungkin, dengan begitu, mereka bisa lebih niat dikit ngurus murid, nggak kita doang yang pusing."

"Tambah rumit, woy," Joshua menyanggah, "Gimana kalo Topeng Putih malah manfaatin ini buat ngejebak kita? Soalnya, kan, cuma kita yang tahu keberadaan murid-murid itu—ya, selain Topeng Putih sendiri, sih."

"Ya, kalo sampe ke titik itu, tunjukin aja semua SMS psikopat itu," Andrew menyahut, "Kan, kita nggak salah. Ngapa kita yang kayak buron, dah?"

"Nggak bisa segampang itu, nggak, sih?" Rosaline menimpali, "Mereka masih bawa sandera, loh. Sewaktu-waktu, mereka bisa..."

Seisi ruangan berubah hening kembali mendengar kalimat terakhir itu, yang menggantung begitu saja di udara. Bayangan foto Catherine, yang baru saja ditunjukkan Joshua padaku, terbersit dalam benakku, dan aku langsung merinding.

"Err... guys," Alice memecah keheningan, "Sebenernya, gue juga ada sesuatu yang belum diceritain ke kalian semua."

Perhatian semua orang langsung terpusat pada Alice, dan ia pun mulai menceritakan soal koran-koran yang kutemukan di ruang bawah tanah. Sepanjang bercerita, ia kelihatan gelisah. Sepertinya, ia belum berhenti memikirkan tentang hal ini sejak kemarin. Saat cerita itu selesai, semua orang langsung berpandang-pandangan dengan kagok.

"Kalo ditanya pendapat, teori gue," Joshua membuka suara, "Pasti almarhum bokap lo ada hubungannya sama panti asuhan ini, deh. Misalnya, dia pernah nanganin kasus di sini atau apa, gitu, kek."

"Tapi, korannya dari tahun 1989, loh," Alice membantah, "Panti asuhannya belum ada, deh, tahun segitu."

"Pak Stenley bahkan kayaknya masih pake popok, deh," Sam menyahut, lalu bergidik sendiri, "Hii... Pak Stenley pake popok."

"Lo kira Pak Stenley, tuh, umur dua-puluhan, gitu?" Joshua menoyor kepala Sam.

"Ih, 1989 lebih dari dua puluh tahun yang lalu, ya!" Sam protes, "Lo, sih, nggak pernah belajar Matematika! Kayak gue, dong, udah ngafalin—"

"Tahun 1992."

Semua orang langsung berhenti berbicara. Rasanya, suhu di dalam ruangan ini langsung turun beberapa derajat. Dari sudut ruangan, Gwen membuka mata dengan malas dan menghampiri kami semua.

"Panti asuhan ini," katanya, "Berdiri tahun 1992, saat Pak Stenley berumur 21 tahun."

Aku tertegun menatapnya. Dari mana dia tahu itu?

[COMPLETED] Curse of the Suicide GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang