23. Andrew

55 12 0
                                    

Semua pasang mata beralih menatap ke arahku ketika kalimat itu meluncur dari bibirku.

"Oke, gue tahu jawabannya." seru Bryan yakin. "Kalo kapten itu berarti gue, dan 'pada malam itu' adalah malam di mana gue dan Andrew berantem... Masuk akal, sih. Toh, dulu gue benci banget sama Andrew. Dan ditambah klu kedua soal dia yang paling muda di kumpulan ini... Jawabannya pasti lo, Ndrew. Lo korban selanjutnya."

"Hah? Tapi..." Aku menggantungkan kalimat di udara, merasa apa yang dilakukan Topeng Putih sangat janggal. Kenapa dia—atau mereka, menurut Joshua—menargetkanku dari semua orang di tim ini duluan? Maksudnya, jelas sekali, kan, mangsa paling empuk di sini bukan aku? Dan pastinya aku bakal menghajar Topeng Putih sialan itu kalau berani macam-macam denganku. Masa dia tidak takut kuhajar sampai topengnya menyatu dengan wajahnya yang kuduga buruk rupa itu? Atau dia tidak takut waktu mau menyergapku dan kalah, identitasnya bakal terbongkar?

 Masa dia tidak takut kuhajar sampai topengnya menyatu dengan wajahnya yang kuduga buruk rupa itu? Atau dia tidak takut waktu mau menyergapku dan kalah, identitasnya bakal terbongkar?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Buat klarifikasi aja, kalau gue dikasih parang malam itu, gue nggak mungkin nebas lo, kok. Mungkin lo memang punya alasan kuat waktu nampar Alexa waktu itu, walaupun masih aja salah, sih, tapi intinya gue nggak bakal nebas lo." Bryan, yang sepertinya mengira aku khawatir ia akan menebasku dengan parang, menyahut tidak nyambung.

"Oke. Yang pertama, gue nggak peduli soal parang-parangan dan kalo lo berani nebas gue, gue pasti bisa membela diri dan balik menggal kepala lo. Dan yang kedua, kalian yakin Topeng Putih narget gue, gitu?" tanyaku tidak percaya.

Semua orang hanya menatapku dalam diam. Dalam pancaran mata itu, tampak rasa iba.

Kenapa mereka mengiba padaku? Apa mereka mengira aku takut diburu Topeng Putih sialan itu dan sedang membela diri agar tidak jadi korban selanjutnya? Apa aku tampak semenyedihkan itu?

"Ganti deh, pertanyaannya. Kalian yakin Topeng Putih bisa ngelukain gue? Nangkep gue yang segede ini? Kenapa dia nggak mulai dari yang paling lemah dulu—Sam misalnya?"

"HEH! Kok jadi gue yang ditarget!?" pekik Sam tidak terima. "Lo aja kali, jangan nyalonin gue."

Aku menghela napas panjang sambil memutar bola mata.

"Memang kerasa agak aneh, sih. Kenapa nggak dia narget gue atau Alice yang lebih lemah dulu?—Eh, tapi bukannya gue ngedoain gue sama Alice jadi target, loh." jawab Rosaline.

"Iya juga. Mau diliat dari segi manapun juga, ini aneh, tapi kalo bukan Andrew, jawaban lainnya siapa?" Alice bertanya.

"Perkataan lo cukup masuk akal, sih, Ndrew. Tapi kita, kan, sejatinya nggak tahu siapa Topeng Putih ini, dan bisa jadi dia memang menganggap lo ancaman paling tinggi di sini dan mau mengeliminasi lo duluan?" jelas Joshua.

"Atau bisa jadi Topeng Putih memang sekuat itu, lebih kuat dari lo, ataupun kita semua." tambah Bryan. "Belum lagi kalau dugaan soal Topeng Putih bukan cuma satu itu bener."

Suasana menjadi hening kemudian.

"Oke, kalo memang gue targetnya dan Topeng Putih memang sekuat itu, boleh, dong, kita jadiin petunjuk soal dia siapa?" sahutku. "Nggak semua orang berani sama gue, kan?"

Mereka semua mengangguk bersamaan, baru kali ini setuju dengan usulanku.

"Tapi sorry nih, Ndrew, sebelumnya. Waktu kecil dulu, lo kan langganan di-bully juga sama yang sekarang jadi anak-anak cheers. Walaupun mereka sekarang nggak ngegganggu lo, tapi apa bener sebenernya orang-orang takut sama lo?" tanya Joshua minta digampar.

"Lo nantangin gue?" dengusku sambil mengepalkan tinjuku di depan wajah.

"Whoa, santuy. Gue cuma ngungkapin fakta aja buat bahan penyelidikan." sahutnya.

Tapi, dengan berat hati aku mau-tidak mau setuju dengan perkataan itu. Meskipun selama ini tidak ada lagi orang yang berani macam-macam padaku, aku tidak tahu apakah sebenarnya itu karena aku dekat dengan Willy, atau mereka memang benar-benar takut padaku.

Tapi, siapa pun itu, kalau bajingan manapun berani macam-macam padaku sekarang, aku akan mengacaukannya dengan tinjuku. Toh, aku sudah bukan Andrew Leonardo lemah yang bisa dianggap remeh.

Tring....

Lamunanku terbuyarkan oleh notifikasi pesan ponsel yang bersahut-sahutan dalam ruangan. Mau apa lagi Topeng Putih sialan ini?

"Coba cek, mungkin kita dapet klu baru." sahut Bryan sambil mengutak-atik ponselnya.

Aku membuka ponselku untuk mengecek pesan masuk tersebut.

Tik tok... Waktu sudah hampir habis, kalian punya satu jam untuk menjawab siapa korban selanjutnya.

"HAH?" Aku menyahut tidak paham sekaligus emosi. Bukankah ini baru hari pertama dari dua hari yang ia janjikan untuk kami menyelesaikan kasus ini?

"Sudah gue duga." ujar Bryan bangga. "Topeng putih itu licik, pasti. Dia ngomong dua hari bukan bener-bener bermaksud 48 jam dari pertama kita dikasih klu, tapi dihitung sampe jam dua belas malem hari kedua yaitu besok."

"Bangsat. Berarti sama aja dia ngasih cuma sehari lebih dikit, dong?" sahutku nggak terima.

"Kurang-lebih." sahut Bryan membenarkan. "Tapi, toh, kita kan sudah nemuin jawabannya. Kita jawab sekarang aja, gimana—daripada lewat waktunya?"

Semua orang mengangguk setuju, seakan masih menganggap fakta bahwa Topeng Putih menculik Andrew dan bukannya Sam adalah sesuatu yang lumrah.

"Yakin, nih? Gue nggak ikut-ikutan kalo salah, ya." kataku sambil mengangkat dua tangan.

"Mau sampe kapan lo denial gitu?" sahut Bryan, kembali menunjukkan sisi menyebalkannya. "Kalo bukan lo, siapa lagi jawabannya?"

"Ya mana gue tahu? Tetep aja gue nggak ikut-ikutan kalo salah." sahutku tidak mau tahu.

Bryan mendengus sebelum mengetikkan jawaban di ponselnya.

"Serah lo, deh. Gue tetep jawab Andrew Leonardo." sahutnya sewot.

Yang lain hanya menatap kami berdua dalam diam. Tetapi, tidak peduli mereka setuju denganku atau Bryan, untuk sekarang, hanya namaku lah jawaban yang kami punya. Lagipula, hanya satu jam waktu yang tersisa bagi kami untuk menebak klu itu. Mencari nama lain pasti membutuhkan waktu yang lebih lama dari satu jam.

Terserah, lah. Lagipula benar tidaknya jawaban itu tidak ada hubungannya denganku. Kalau salah juga bukan aku yang diserang. Kalau benar pun, aku tidak jadi diserang olehnya. Dilihat dari sisi manapun, hasil perbincangan ini malah bakal mengindarkanku dari bahaya, sih.

"Oke, gue send." umum Bryan sambil menekan tombol send.

Suasana menegang ketika pesan terkirim pada Topeng Putih. Semua orang menatap ke arah ponsel kecil di tangan Bryan dengan mata melotot dan bahu menegang. Dapat kulihat keringat dingin membanjiri wajah mereka semua yang tiba-tiba tampak seperti habis disiram air satu ember.

Tring...

Pesan baru dari Topeng Putih, hampir sedetik setelah jawaban kami terkirim.

'Tetott... Jawaban Anda salah :) Korban selanjutnya akan segera dieksekusi!'

[COMPLETED] Curse of the Suicide GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang