72. Alice

32 12 0
                                    

"Gue juga, Gwen, sori," tambahku, "Semua ini harus segera diakhiri, dan keputusannya ada di tangan kita."

Seluruh pasang mata langsung membelalak terkejut ke arahku, membuat mataku sendiri ikut melebar tidak percaya. Aku baru saja tidak menyetujui perkataan Gwen yang notabene amat seram, bahkan membuat seluruh tubuhku gemetaran hanya dengan lirikan tajamnya.

Tapi, kali ini rasanya ia salah.

Aku menggigit bibir bawahku sambil menatap ke arah Gwen yang tampak menghela napas panjang, lalu menyilangkan tangannya di depan dada. Ia menatap meja dengan tatapan kosong—larut dalam pikirannya sendiri. Beberapa saat kemudian, ia pun membuka suara, "Ya udah, terserah, deh. Panggil polisi juga boleh. Suka-suka kalian."

Setelah itu, ketegangan di antara kami rasanya mencair. Buktinya, Sam yang sejak tadi menatap sepatunya dengan gugup sudah kembali mengangkat wajahnya untuk melanjutkan pembicaraan.

"Kalian nggak merasa butuh mersiapin sesuatu, gitu, ya?" tanyanya sambil menoleh ke arah kami satu-per-satu. "Kayak... alat perlindungan diri?"

Kami terdiam.

Aku sudah berjanji tidak akan menanggapi serius apa pun yang keluar dari mulut Sam selepas kejadian Abang Bakso Boraks, dan ide gilanya yang lain menyangkut Topeng Putih. Tapi, idenya barusan, bukannya salah juga, sih.

"Lo mau beli apa di mal gini?" tanya Andrew sarkastik. "Rompi anti peluru?"

"Emangnya lo punya duit?" tanya Joshua sambil tersenyum menggoda.

"E-enggak, sih." sahut Sam. "Tapi, kan... bisa minjem ke lo. Masa lo tega ngeliat temen-temen lo, dan bahkan lo sendiri, melawan pasukan Panci Gosong pake tangan kosong?"

Joshua menghela napas panjang, lalu akhirnya menyahut, "Ya udah, kita belanja. Tapi, dengan uang segini, dan nyarinya di mal gini, kayaknya nggak bakalan dapet sesuatu yang bener-bener bisa melindungi diri sendiri, deh."

"Pisau, mungkin?" usul Sam.

"Tapi, lo memangnya bisa make pisau? Salah-salah, malah temen atau diri lo sendiri yang lo tusuk." balas Joshua sarkastik sambil menyeringai meremehkan.

"Enak aja! Lo, tuh, yang harus diawasin! Jangan-jangan, lo mau nusuk gue dari belakang." sahut Sam mulai ngelantur.

"Soal senjata... kayaknya kita bisa minjem Benny, deh?" sahut Andrew membuat kami semua membelalak terkejut.

"Bukannya Benny masih dalam pengawasan, ya? Ada kemungkinan dia adalah Top—eng Monyet, atau dibayar kayak si kecil yang kerjasama sama dia itu, kan?" sanggah Joshua.

"Gue rasa... kemungkinannya kecil, sih, buat dia jadi Voldemort. Seandainya dia Voldemort pun, dengan kita mau minjem senjatanya bareng-bareng, kan, malah dia tahu, kita ada persiapan. Siapa tahu, dia jadi takut dan nggak berani macem-macem." sahut Andrew.

"Mana ada? Yang ada dia malah makin waspada, nggak, sih?" Bryan menyanggah kritis.

"Ya bodo amat, sih," Andrew membalas tak mau kalah, "Daripada kita ke medan perang pake pisau doang cuma gara-gara parno sendiri, padahal belum tentu bener, sementara lawannya bawa senapan atau apa, kek, panah raksasa?"

Penekanan Andrew pada kata terakhirnya membuat kami semua terdiam. Aku tahu, semua orang bisa merasakan dendamnya yang belum terselesaikan terhadap Topeng Putih, dan keinginannya yang kuat untuk membalas kematian sahabatnya.

"Ya udah," Bryan akhirnya membalas setelah menghela napas panjang, "Boleh, sih, tapi caranya ke sana bareng-bareng, gimana? Bukannya kita masih dalam pengawasan?"

"Ya... bener juga, sih," sahut Andrew manggut-manggut. "Kalo nggak, gue aja yang ke sana. Kalian awasin dari jauh. Semisal gue nggak keluar-keluar dari kamar, atau gue celaka, atau ada apa-apa... kalian tahu, kan, harus nangkep siapa?"

"Nggak." aku spontan menyahut. "Nggak bisa gitu, dong. Masa lo mau ngorbanin diri sendiri? Gue nggak mau kehilangan orang di tim ini lagi. Rosa sama Catherine aja udah cukup."

"Lo percaya sama gue, kan, Lice?" Tidak kusangka, ia berkata demikian sambil menatap mataku dalam-dalam. Mataku langsung melebar saking terkejutnya, namun dalam hati, jantungku sudah berdegup sangat kencang. Lidahku kelu, tidak bisa mengatakan kata-kata lain lagi untuk mencegahnya masuk ke sarang pembunuh.

"Apaan, sih. Drama banget." sahut Bryan menengahi. "Boleh aja, sih, kalo lo yakin banget Benny bukan pelakunya. Lagian, bakal aneh kalo orang lain yang tiba-tiba dateng ke kamar dia; emang cuma lo satu-satunya yang bisa."

"Tapi, menurut gue, kita tetep beli pisaunya, deh," Joshua menyeletuk, "Jaga-jaga, siapa tahu nggak dikasih pinjem sama Benny."

Akhirnya, kami pun setuju untuk kembali ke panti asuhan setelah membeli pisau lipat untuk masing-masing dari kami, dan membiarkan Andrew masuk ke kamar Kak Benny di bawah pengawasan diam-diam. Dengan berat hati, aku mengikuti suara mayoritas untuk kembali ke sekolah bergantian. Satu-per-satu, kami mulai kembali ke sekolah, hingga tersisa aku, Bryan, dan Andrew saja.

"Lo balik duluan aja." kata Andrew pada Bryan.

"Dan ninggalin kalian berduaan di mal? Romantis banget. Nggak. Lo duluan aja." sahut Bryan ketus sambil menyilangkan tangan di depan dada.

"Kalo gue balik duluan, kalian jadi nggak bisa ikut ngawasin gue, dong. Kalo gue gimana-gimana, mau tanggung jawab?" balas Andrew. "Gwen udah pasti bodo amat sama gue. Si bocah pasti tidur siang. Lo mau nyerahin pengawasan ke Joshua doang?"

"Tadi katanya percaya sama Benny. Cuih." timpal Bryan.

"Ya walau begitu—"

"Udah, deh, gue dulu aja." potongku buru-buru, menyudahi debat kusir mereka.

Aku mengabaikan tampang melongo mereka, dan berjalan kembali ke panti asuhan. Sepanjang perjalanan, aku terus merasa khawatir. Akankah ada satu lagi dari kami yang tumbang di medan tempur kali ini?

[COMPLETED] Curse of the Suicide GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang