"Menurut lo," aku bertanya pada Bryan pada suatu malam, beberapa hari setelah Willy pergi untuk selama-lamanya, "Kalo lo tiba-tiba—amit-amit—meninggal, dan posisinya kita lagi nggak akur, apa, ya, yang akan gue lakuin?"
Pertanyaan itu bukannya tanpa asal-muasal. Sudah lama aku—dan, aku yakin, semua teman-temanku—bersimpati kepada Andrew Leonardo. Memang, cowok itu tidak selalu memancing sisi baik orang-orang. Sering kali, ia membuat kami semua takut atau gerah dengan sikapnya. Tetapi, tidak ada yang bisa membohongi persahabatan di antara dirinya dan Willy, dan sedekat apa pun aku dengan Bryan atau dengan siapa pun juga, aku tidak yakin bisa dengan tepat membayangkan sehancur apa hati cowok itu—melihat dari ikatannya yang luar biasa dengan mendiang sahabatnya.
Tetapi, kurasa, aku adalah salah satu orang yang bisa bersimpati lebih terhadapnya. Aku tidak pernah mengalami kejadian yang sama tragisnya, tentu saja, tetapi aku pernah kehilangan seorang sahabat—dan sampai detik ini, aku masih menyesalinya. Andrew yang sekarang mengingatkanku akan sebuah fase dalam hidupku yang kuharap tidak pernah terjadi. Maka dari itu, saat mendengar bahwa Bryan mengundangnya ke pertemuan malam ini, aku yakin seratus persen bahwa dia tidak akan muncul—sebab, itulah yang akan kulakukan dulu, kalau seseorang mengajakku berkumpul di saat-saat kacauku.
Aku lega untuk mengatakan bahwa dugaanku salah.
Di ambang pintu kamar Alice, berdiri Andrew Leonardo. Wajahnya kuyu dan sembap, rambut merahnya pun tampak gondrong dan acak-acakan, tetapi ia menampakkan diri untuk pertama kali dalam dua minggu. Aku hampir lupa akan aura kebencian yang selalu menguar dari dirinya, atau bahkan bagaimana bentuk wajahnya, dan sepertinya semua orang di ruangan ini juga merasakan hal yang sama. Aku bisa mendengar napas-napas yang tercekat di tengah keheningan.
Si pemilik kamar adalah yang pertama memecah keheningan itu. "Andrew!" pekiknya girang. Aku menyadari bahwa wajah cewek itu memerah dan air mata seperti akan tumpah dari kedua matanya. Perasaan campur aduk sepertinya merebak di dalam dirinya.
Sam, di sisi lain, merapat padaku seperti orang goblok.
"Duh, kenapa, nih, Josh? Dia nggak ngamuk, kan? Lo tadi ngetokin kamarnya apa gimana, sih?" bisiknya panik. Aku menyuruhnya diam dalam sebuah pelototan.
Andrew menghiraukan tatapan heran semua orang, dan bahkan panggilan Alice. Ia menutup pintu dan masuk dalam diam, kemudian duduk di sudut ruangan seolah-olah kami tidak ada.
Semua orang masih memandanginya selama beberapa saat. Aku melirik Bryan dan menyadari bahwa cowok itu juga sedang memandangi mantan rival-nya dalam diam. Kemudian, seolah menyadari bahwa ketegangan ini tidak akan berakhir kecuali ada yang mengambil inisiatif, Rosa berdeham singkat dan mengambil alih percakapan, "Jadi... kita akhirnya kumpul lagi."
Alice tersentak. "I-iya!" serunya. Ia tampak senang sekali. "K-kalian apa kabar?"
"Gue baik," jawab Rosa, "Masih sering nggak bisa tidur kalo mikirin kejadian itu, tapi hidup harus terus jalan, kan? Sekarang gue tidur sendirian. Kesha udah officially benci sama gue—dia bahkan rela tidur sesek-sesekan bertiga di kamar Kak Sally dan Kak April."
KAMU SEDANG MEMBACA
[COMPLETED] Curse of the Suicide Game
Mystery / Thriller[WARNING: Mengandung kata-kata umpatan dan adegan kekerasan yang kurang sesuai untuk anak-anak] Sosok psikopat di balik topeng putih yang menjadi momok siswa-siswi masih berkeliaran. Namun, Tim detektif amatir IMS (Infinite Mystery Seeker), yang ber...