46. Alice

52 13 2
                                    


Entah kenapa, sejak Andrew melihat teman ceweknya kembali, ia tampak lebih bahagia.

Tadi saja, saat bertemu denganku di loteng, ia jadi terus senyum-senyum sendiri dan penuh semangat. Padahal, sebelum mengetahui Fellicia bakal datang ke sekolah hari ini, dia biasanya selalu menekuk bibir dan berkata kasar pada semua orang.

Aku menghela napas panjang sambil menyandarkan diri pada dinding balkon depan kamar.

Dari sini, aku bisa melihat kamar Andrew yang terletak di sisi kanan gedung asrama yang membentuk persegi mengelilingi taman. Sudah dari satu jam yang lalu, aku menyaksikannya sedang ngobrol asyik dengan Fellicia di depan kamarnya.

Kenapa aku merasa kesal, ya?

Bukannya aku tidak senang cewek itu kembali ke sini, sih. Malah, seharusnya aku berbahagia akan kedatangannya, karena mungkin bisa membantu dalam penyelidikan kami. Siapa tahu dia punya informasi tentang rekan Willy, kan? Dan merupakan berita bagus kalau dia sudah sembuh dari lukanya yang cukup parah saat itu. Orangnya juga sepertinya ramah, dilihat dari perangainya saat di kelas tadi.

Tapi, kenapa aku tetap merasa kesal padanya?

Daripada memandangi mereka berdua dan terus berlarut dalam rasa kesal ini, mungkin sebaiknya aku kembali ke kamar dan memutar otak, mencari jawaban teka-teki hari ini, atau memikirkan ide bagaimana menemukan sosok Topeng Putih. Atau, aku bisa turun ke bawah untuk memata-matai Iris. Atau, aku juga bisa mengganggu mereka berdua yang sedang mengobrol dan—

Ih, mikir apa coba.

Aku mengerucutkan bibir, lalu berbalik dengan hati dongkol. Saat itu lah, aku melihat sosok lain yang ternyata sudah berdiri di belakangku entah sejak kapan. Itu Bryan, yang kini sedang nyengir sambil memegang sebuah kamera yang terkalung di lehernya. Sedikit aneh melihat pemandangan Bryan yang sedang berdiri sambil memegangi kamera seperti itu.

"Hai." sapanya membuyarkan lamunanku.

"Hai. Loh, sejak kapan lo di situ, Bry? Kok gue nggak sadar." tanyaku.

"Barusan, sih. Ini, gue mau nunjukin sesuatu." katanya sambil melepaskan tali kamera dari lehernya. "Berhubung kita batal menyelidiki sarang Topeng Putih karena takut mereka nyelakain temen-temen, gue minjem kameranya Joshua. Dia punya foto-foto di ruang bawah tanah, dan gue pikir, lo harus lihat."

Biasanya, aku selalu tertarik dengan penyelidikan. Namun, entah kenapa, rasanya hari ini aku lelah. Tapi, tidak mungkin aku menolaknya mentah-mentah, apalagi binar-binar semangat sudah terpancar dari bola mata Bryan. Kasihan kalau aku memadamkan semangat itu sekarang, di saat ia dan Joshua belum juga berbaikan.

"Coba lihat. Siapa tahu... gue bisa nemu sesuatu." sahutku sambil meminta Bryan menunjukkan foto-fotonya padaku. "Di kamar, deh. Takutnya, diawasi dari CCTV."

"Em... Agak aneh nggak, sih, kalo kita berdua di kamar." sahut Bryan sambil mengusap tengkuknya dan menahan senyum di bibirnya.

"Mikir apa hayo..." godaku. "Kan niatnya nggak macem-macem. Nggak apa-apa, lah, harusnya. Daripada Topeng Putih tahu kalo kita ngefoto ruangan itu trus dia macem-macem lagi. Lagian, biasanya lo juga berduaan sama gue sebelum anak-anak dateng buat diskusi, kan?"

"Iya juga, sih..." sahutnya sambil manggut-manggut.

Kami pun masuk ke dalam kamar dan mulai mengamati foto-foto di kamera Joshua. Awalnya, hanya ada foto sebuah ruangan sempit seperti gudang, dengan banyak barang tidak terpakai berserakan di sana. Jubah-jubah hitam yang dikenakan Topeng Putih saat beraksi, beberapa senjata seperti pisau dan panah yang tergantung di dinding, bahkan balok kayu dan guci yang entah untuk apa pun ada. Kemudian, foto beralih pada meja di samping ruangan. Serangkaian foto hitam putih Fellicia dan Rey tampak berserakan tak beraturan di sana.

Fellicia... bahkan dalam foto asal jepret yang diambil Topeng Putih, ia tetap terlihat cantik.

Pemikiran itu membuat perasaanku kembali tidak nyaman. Seharusnya aku berhenti memikirkan hal tersebut. Aku buru-buru menekan tombol skip untuk melewati fotonya. Foto selanjutnya menampakkan potongan-potongan artikel koran lama yang sudah menguning dengan tinta hitam-putih yang sangat tipis dimakan usia.

"Ini... mungkin, nggak, ada hubungannya sama lo?" tanya Bryan sambil menunjuk foto koran tersebut.

Headline pertama yang kubaca adalah 'Lukisan-Lukisan Curian Bernilai Mencapai 600 Miliar Ditemukan'.

Aku memicingkan mata, berusaha melihat dengan jelas foto yang terpasang di bawah judul koran tersebut. Yang tampak hanyalah foto beberapa lukisan dengan seorang pria di dalamnya. Namun, koran itu sudah terlalu tua sehingga sosok di dalamnya sudah sulit untuk dikenali.

"Kayaknya... nggak ada hubungannya sama gue, deh. Tapi, nggak yakin juga, sih, nggak begitu keliatan soalnya." sahutku.

"Kalo gitu... mungkin lo pernah inget, nggak, kayak bokap lo nangkep penjahat yang mungkin beberapa tahun kemudian dibebaskan?" tanyanya.

"Ya... Kalo pertanyaannya gitu, sih, pasti ada." sahutku. "Tapi nggak tahu juga penjahatnya yang mana. Trus, juga biasanya, kan, mereka nggak hidup enak di penjara, jadi pas keluar dari sana, harusnya nggak dendam sama polisinya, malah takut ditangkap lagi."

Bryan hanya manggut-manggut.

Aku kembali melirik ke arah kamera yang ada di tangan Bryan. Berusaha membaca tulisan-tulisan super kecil dari foto yang sedikit buram tersebut.

Unit penyelidikan khusus kepolisian Jakarta Selatan menemukan lokasi tempat penyimpanan lukisan curian yang sudah dicari selama enam tahun, Senin (23/11). Lukisan disimpan di dalam basement sebuah bengkel di daerah Rindang Permai. Tidak hanya mencuri lukisan dan menjualnya kembali, tersangka M dan A, sepasang suami-istri, juga menjual berbagai barang ilegal lain seperti senjata dan narkotika.

"Tersangka berniat melarikan diri ketika polisi datang, dan tertabrak mobil yang lewat hingga tewas. Kami sudah berusaha sebisa mungkin, tetapi nyawa pasangan suami-istri tersebut tetap tidak dapat diselamatkan," jelas kepala unit khusus, Heri San

Koran terpotong sampai di sana. Aku langsung membelalakkan mata ketika membaca kata terakhir. Heri San...

"Heri Santoso." gumamku tidak percaya.

"Apa?" tanya Bryan kebingungan.

"Heri Santoso. Itu... nama bokap gue. Bokap gue yang pimpin investigasi ini dan nangkep penjual ilegal itu." jelasku sambil merebut kamera dari tangan Bryan dan memperbesar gambarnya.

"Tapi nama Heri itu... pasaran banget, lho." sahut Bryan sambil mengintip ke arah wajahku yang kini ditutupi oleh rambut.

"Nggak, gue inget jelas. Katanya nyokap, satu-satunya polisi yang namanya Heri di pasukan unit khusus cuma bokap aja. Selain itu... bokap gue memang kepala unit khusus polisi." jelasku sambil menggeser-geser galeri kamera, barangkali bisa mendapatkan sambungan berita tersebut, namun berita terpotong begitu saja di sana.

Aku perlu tahu tahun terbit koran tersebut. Siapa tahu, aku bisa mencarinya di internet nanti dan mendapatkan informasi. Setelah mencari-cari sampai mataku hampir sakit, aku akhirnya menemukannya. Koran ini diterbitkan pada tahun 1989.

25 tahun yang lalu.

Aku harus segera mencari tahu tentang artikel ini, dan apa yang terjadi pada saat itu. Pasti benang merah yang menghubungkan ikatan keluargaku dan Topeng Putih tersembunyi di balik kejadian ini. Aku harus segera menemukannya.

[COMPLETED] Curse of the Suicide GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang