"Lice!" teriakku sambil mengejar cewek berkuncir dua itu, yang berjalan cepat sekali, menjauh dari kamarnya sendiri, "Lice, tunggu!"
Aku berhasil mencekal pergelangan tangan Alice, tepat saat kami baru saja menuruni tangga dan tiba di lantai tiga asrama. Alice menoleh. Wajahnya sangat merah dan kedua pelupuk matanya basah oleh air mata yang menggenang. Ia tampak sangat kecewa.
"Nggak perlu ngejar gue, Bry," katanya dengan suara bergetar, "Gue tahu, kok, lo ada di pihak gue. Tapi, saat ini, gue lagi butuh waktu sendiri. Gue... gue sakit hati banget."
Aku mengendurkan cekalan di pergelangan tangan Alice dan menghela napas panjang. "Gue tahu, Lice. Gue paham, kok. Andrew emang nggak seharusnya ngomong gitu. Bahkan, kalo cuma satu pun nyawa yang harus dikorbankan, itu tetep berharga. Mungkin dia cuma masih dendam aja atas kematian Willy dan kepingin menangkap Topeng Putih lebih dari apa pun."
"Tapi nggak bisa gitu, Bry!" Alice mengerang sambil sesenggukan, tidak percaya aku berdiri di sini dan membela Andrew sekarang. Tetapi, bukan itu niatku. Aku juga sangat geram mendengar perkataan insensitif cowok itu. Selain itu, aku juga tidak suka melihat raut sedih di wajah Alice. Hanya saja, aku tidak tahu apakah ia bertengkar dengan Andrew akan memberikan dampak baik untuk situasi runyam ini. "Gue, tuh, kehilangan orang tua, loh, waktu itu! Bonyok* gue juga cuma dua nyawa, kalo lo mau ngitung jumlah. Tapi, lo, kan, nggak tahu seberapa berharganya dua nyawa itu dan betapa besar efeknya buat seseorang di luar sana. Alexa, misalnya, buat Andrea. Dia, kan, satu-satunya keluarga! Ngawur banget, loh, ngomongnya."
"Iya, Lice," aku berkata lembut, "Emang parah banget dia, ngomongnya. Tapi, gue yakin, pasti dia juga merasa begitu waktu Willy nggak ada. Gue bukannya mau ngebela dia, ya. Saat ini, gue ada di sisi lo. Tapi, lo tahu sendiri dia masih berkabung, dan in general, dia pun orang yang meledak-ledak. Gue akan coba ngobrol sama dia habis ini, tapi please, tenangin diri dulu, ya?"
Alice tidak menjawab; hanya terus sesenggukan sambil menutupi wajahnya. Aku tahu, cewek ini ingin sekali memercayai bahwa Andrew orang baik. Apalagi, ia sepertinya naksir cowok itu. Mendapat tamparan seperti ini, pasti perasaannya kacau-balau. Aku ingin sekali memeluknya, tetapi tidak yakin itu hal yang pantas dilakukan. Jadi, aku hanya meraih ke dalam saku celana dan mengeluarkan selembar saputangan. Kuacungkan saputangan itu kepada Alice, dan ia menerimanya dengan lemah.
"Thanks," katanya, "Lo baik banget, Bry. Gue nggak tahu lagi, gimana kalo nggak ada lo. Tadinya, ada Catherine yang selalu di sisi gue. T-tapi, sekarang..."
Alice tidak mampu melanjutkan kalimat itu. Ia menangis semakin keras dan memendam wajahnya ke dalam saputangan yang kuberikan. Kali ini, aku benar-benar tidak tega dan akhirnya memutuskan untuk memeluknya. Cewek ini begitu kuat. Dari luar, ia selalu tampak ceria dan tidak punya beban masalah meski kehilangan orang tuanya. Tetapi, sudah melihat pertahanannya runtuh seperti ini dua kali, aku tahu bahwa sebenarnya, jauh di dalam lubuk hati, ia seorang yang sangat lembut dan memiliki perasaan yang sensitif. Kematian kedua orang tuanya juga masih mengganggunya hingga saat ini, hanya saja, ia selalu tidak menunjukkan hal itu di hadapan orang banyak. Kini, ia harus kehilangan Catherine, sahabat barunya, dan cowok yang ditaksirnya dengan mudah menyuruh untuk merelakannya saja.
Aku tidak bisa membayangkan seperti apa rasanya mendengar hal itu.
Setelah beberapa lama, tangis Alice mulai reda. Aku melepaskan pelukan dan melangkah mundur. Saat itulah, aku sadar bahwa Andrew Leonardo, entah sejak kapan, telah berdiri di puncak anak tangga. Tubuh dan ekspresi wajahnya kaku. Ia menatap ke arah kami dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Untungnya, Alice masih menunduk dalam-dalam sehingga tidak menyadari kehadiran cowok itu. Aku meliriknya, mengisyaratkan 'Ini bukan saat yang tepat'.
Andrew mengeraskan rahang. Kemudian, dengan langkah berat, ia kembali naik ke lantai tiga. Aku bisa melihat kesedihan dan penyesalan terpancar dari raut wajahnya yang selalu serius. Tetapi, lebih daripada itu, aku bisa melihat sesuatu yang lain.
Apakah itu sorot mata kecemburuan?
Tidak mungkin. Masa, seorang Andrew...
"Kalian..." sebuah suara memecah keheningan, "Kalian kenapa?"
Aku menoleh dengan cepat dan mendapati Joshua sudah berdiri di sampingku dan Alice. Ia tampak pucat dan lemas. Di kakinya, terlihat noda-noda menyerupai noda tanah. Aku mengerutkan kening, tiba-tiba merasakan perasaan aneh.
Bukankah tadi dia bilang mau ke kamar mandi?
Alice mendongak, langsung menghapus air matanya dan berdeham-deham dengan panik. Ia melirikku penuh makna, sepertinya memintaku untuk menyembunyikan ini dari Joshua. Tetapi, aku memang tidak berniat menceritakan hal itu. Aku lebih tertarik untuk mengetahui dari mana cowok ini dan kenapa ia lama sekali.
"Lo dari mana?" tanyaku. Aku tidak merencanakannya, tetapi suara yang keluar dari mulutku terdengar sedikit sengak. "Kok, kotor gitu?"
Joshua mengatupkan bibir rapat-rapat. Ia menghindari tatapan mataku, sepertinya kehilangan kemampuan akting yang biasa dikeluarkannya di saat-saat kepepet. "Gue..." gumamnya, "Nanti, deh, gue ceritain."
Aku mengerutkan kening lebih dalam lagi, meragukan perkataan itu. "Kalo ada yang mau lo ceritain, ceritain sekarang aja," sahutku, "Ada sesuatu yang Alice nggak boleh tahu?"
Joshua menatapku tak percaya, seperti mengatakan, 'Lo serius mau mulai perdebatan ini sekarang?' Tetapi, memangnya, apa yang harus kulakukan? Dua harian ini, ia bertingkah mencurigakan. Pertama-tama, menghilang secara tiba-tiba dan muncul bersama Gwen kemarin. Aku sudah berusaha mengorek informasi darinya kemarin malam, tetapi untuk pertama kalinya dalam delapan tahun bersahabat, ia terus mengelak dariku. Sekarang, ia mau menghindar lagi? Apa yang sebenarnya sedang disembunyikannya dari kami semua—dariku, terutama?
Joshua menghela napas panjang. "Bry, gue—"
Tring...
Getaran ponsel memotong perkataan cowok itu. Getaran itu saling bersahut-sahutan dan berasal dari saku kami masing-masing. Kami bertiga langsung berpandang-pandangan. Kemudian, perlahan, Alice meraih ponsel dari dalam sakunya dan membuka pesan singkat yang masuk.
"Telepon aku sekarang. Kesempatan kalian menyelamatkan korban selanjutnya tinggal dua hari lagi.'" Alice membacakan pesan itu dengan nada serius, "Terus, smiley face."
Ia mendongak, menatapku dan Joshua bergantian.
Aku melirik Joshua dengan kesal, kemudian berkata dingin. "Oke, kita bicarain nanti," putusku, "Sekarang, kita naik dulu. Keselamatan seseorang ada di tangan kita."
*bokap-nyokap
KAMU SEDANG MEMBACA
[COMPLETED] Curse of the Suicide Game
Mystery / Thriller[WARNING: Mengandung kata-kata umpatan dan adegan kekerasan yang kurang sesuai untuk anak-anak] Sosok psikopat di balik topeng putih yang menjadi momok siswa-siswi masih berkeliaran. Namun, Tim detektif amatir IMS (Infinite Mystery Seeker), yang ber...