13. Bryan

66 12 0
                                    

Aku sebenarnya kepikiran sebuah cara untuk menyelidiki.

Setelah dua minggu hidup seperti zombi, semalam, sesuatu seperti menekan switch di dalam kepalaku, dan aku kembali terjaga semalaman, kali ini bukan untuk meratapi mimpi buruk yang tidak kudapat, tetapi untuk menyusun daftar baru dalam otakku yang kuberi judul 'Daftar Cara Menyelidiki Kasus Tanpa Petunjuk'. Selagi menyusun daftar itu, aku menyadari bahwa sebenarnya, kami bukannya tidak punya petunjuk.

Petunjuk itu sudah ada di depan mata sejak awal.

Tetapi, kurasa, semua orang masih terlalu larut dalam kondisi berkabung untuk melihat hal itu. Aku juga tidak berani membahasnya di depan siapa pun—kecuali mungkin Joshua, tetapi aku belum bertemu lagi dengannya sejak kemarin—terutama di depan Andrew Leonardo, karena ini menyangkut almarhum Willy.

Ya, Willy adalah satu-satunya petunjuk yang kami punya.

Seharusnya aku menyadarinya lebih cepat. Siapa pun orang yang berada di balik Topeng Putih kedua barangkali memiliki hubungan yang dekat dengan Topeng Putih pertama, yang tak lain adalah Willy. Cowok itu memang bukan orang paling ramah, tetapi di kalangan siswa laki-laki, ia memiliki banyak teman. Kalau teman-temannya kami selidiki, barangkali kami akan menemukan sesuatu.

Aku masih membawa pemikiran itu sampai saat ini, saat aku sudah berada di lapangan basket sepulang sekolah. Sejak kemarin, aku sudah memutuskan untuk mulai berlatih basket lagi karena menyadari aku tidak bisa melepas tanggung jawab terlalu lama kalau tidak mau diturunkan dari jabatan. Masa, setelah gagal dipilih mengikuti lomba eksak nasional, aku juga turun dari jabatan kapten basket? Itu, kan, bakal memalukan banget.

Jadi, mengabaikan mood-ku yang tidak karuan, sekarang, aku sedang berhadap-hadapan dengan teman-teman satu timku, yang bermain dengan lebih lihai dariku lantaran aku terlalu lama mengabsenkan diri.

Lapangan basket di sekolah kami ada dua: indoor dan outdoor. Saat ini, aku sedang berada di lapangan outdoor, dan biasanya memang begitu, kecuali saat hujan atau terjadi hal-hal yang tidak diharapkan. Saat kami berlatih outdoor, tidak jarang pula lapangan indoor digunakan oleh tim cheerleaders untuk berlatih di waktu yang sama. Seperti saat ini.

Dari sudut mata, aku bisa melihat sekumpulan anak cheerleaders sedang bergerombol dalam satu grup alih-alih berlatih. Mereka melirik dan menunjuk-nunjuk ke arah lapangan, kemudian cekikikan sendiri. Aku hanya bisa mengelus dada. Memang, tim cheerleaders sekolah kami kurang berkualitas. Tetapi, menurutku, setengahnya adalah karena para anggotanya tidak serius. Mereka sering mengadakan latihan bersamaan dengan tim basket seperti ini karena ingin melihat anak-anak basket idola mereka—dan aku benci mengakui bahwa aku adalah salah satu dari mereka yang paling mendapat efeknya (hey, anggota tim cheerleaders yang bernama Kim juga bergabung dalam kelompok mengerikan bernama Bryan's Fansclub, oke? Jadi, aku bukannya menyombong atau mengada-ada.) Padahal, beberapa anggotanya memiliki potensi yang lumayan. Kalau saja mereka mau serius sedikit, mungkin sudah ada barang satu atau dua piala kejuaraan yang kami sabet.

"Time out!" aku berseru lantang sambil melambaikan kedua tangan di atas kepala.

Kami sudah berlatih dengan sangat keras hari ini. Semua orang tampak seperti habis mandi keringat, dan beberapa langsung menjatuhkan diri ke tanah saking lelahnya. Aku menghampiri Luke dan mengambil botol minum yang diacungkannya ke arahku, kemudian meneguk isinya dengan bersemangat seolah-olah aku sudah bertahun-tahun tinggal di padang gurun.

Kemudian, mataku menangkap sosok Rosaline—berjalan tergesa-gesa di teras depan lapangan indoor.

Kemudian, mataku menangkap sosok Rosaline—berjalan tergesa-gesa di teras depan lapangan indoor

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
[COMPLETED] Curse of the Suicide GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang