67. Alice

45 13 0
                                    

Aku jarang sekali mengumpat, apalagi pada orang yang lebih tua.

Tapi, Pak Stenley membuatku melanggar aturan tidak tertulis yang sudah kubuat sendiri sejak kecil itu. Bapak tua sialan itu benar-benar membuat kami kesulitan. Belum sempat kami berduka karena Rosaline ditangkap oleh Topeng Putih kemarin malam, ia sudah datang dan mengacaukan semuanya. Kenapa Pak Tua itu terus-terusan membuat kami semua tidak dapat melanjutkan penyelidikan? Padahal, Rosaline saat ini sedang ditawan oleh psikopat gila dan dapat dibunuh kapan saja. Masa kami tidak bisa melakukan sesuatu, sih?

Pemikiran itu membuatku semakin marah sekaligus depresi.

Ditambah lagi, setelah kembali ke kelas pasca penggeledahan kamar yang heboh tadi, Fellicia langsung menyerbu Andrew dengan tampang khawatir dan duduk di sebelahnya. Tapi.... aneh juga, sih, kalau cewek itu sama sekali tidak merasa khawatir pada sahabatnya. Iya. Bisa jadi itu cuma refleks yang timbul karena mereka adalah sahabat dari kecil.

Tapi, cewek itu terlalu suka menyentuh-nyentuh. Aku tidak suka.

Sayangnya, aku tidak mungkin protes juga, kan? Andrew saja tidak merasa keberatan.

"Aduh!" Tanpa sadar, aku menabrak seseorang.

Saat mendongak, kulihat seorang gadis berambut pendek dengan make up tipis di wajahnya. Kami belum pernah resmi berkenalan. Namun, karena ia sangat mirip dengan kembarannya yang merupakan teman sekelasku, hanya dengan melihat sekilas saja, aku bisa tahu bahwa itu adalah Andrea, kembaran Alexa—korban pertama Topeng Putih dalam permainan.

"Sori, gue nggak lihat jalan tadi." sahutku sambil mengatupkan kedua telapak tanganku.

"Iya, nggak apa-apa." sahutnya sambil tersenyum.

Aku pun melanjutkan langkah. Namun, baru tiga langkah aku berjalan, ia memanggilku kembali, "Eh, lo Alice kan?"

"Iya." sahutku. "Kenapa?"

"Em... Gue udah denger soal Rosaline... Denger-denger kalian lumayan deket. Gue turut berduka cita, ya. Semoga Rosa sama Alexa cepet ditemukan." sahutnya.

Iya. Pasti berat untuknya saat mengetahui saudara kembarnya disekap dan disiksa oleh Topeng Putih. Hilangnya Rosa, yang bukan saudaraku saja, membuat hatiku sangat terpukul. Kehilangan saudara, apalagi kembaran, pasti membuatnya sangat depresi sampai-sampai harus berhenti melakukan hobinya. Padahal dengar-dengar, anak kembar punya jalinan emosional dan bisa merasakan perasaan satu-sama-lain dari jauh seperti telepati.

Duh, aku jadi tidak berani membayangkan sehancur apa anak ini sekarang.

"Makasih." sahutku sambil tersenyum. "Lo juga yang tabah, ya. Semoga kembaran lo cepet balik, dan nggak kenapa-kenapa."

Ia mengangguk lalu memaksakan seulas senyum. Setelah itu, kami pun berpisah. Aku berjalan kembali ke dalam kamarku, membuka pintunya yang tidak lagi terkunci sejak diobrak-abrik oleh kepala sekolah iblis itu tadi. Kuhela napas panjang sambil meratapi kamarku yang sangat berantakan.

Pak Stenley bahkan tidak sungkan membongkar lemari pakaian dalamku, dan milik Catherine, di depan anak cowok. Rasanya ingin kupukul saja kepalanya dengan sandal. Menyebalkan sekali.

Dengan bersungut-sungut, aku merapikan seluruh kamarku kembali seperti semula. Setelah mengembalikan barang-barang ke tempatnya lagi, aku baru bisa menemukan kunci kamarku yang sudah dikembalikan oleh Gwen entah kapan.

Cklek...

Suara pintu kamar yang dibuka membuatku langsung berjengit kaget.

Aku memang tidak pernah mengunci pintu saat berada di dalam, kecuali saat tidur, tapi aku tidak menyangka Topeng Putih juga bakal menyerang di siang bolong seperti ini, terlebih lagi setelah kami berada di bawah pengawasan ketat Pak Stenley.

[COMPLETED] Curse of the Suicide GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang