70. Andrew

44 13 0
                                    

Drrt...

Ponsel di kantongku bergetar, menandakan adanya pesan baru. Aku segera mengecek pesan tersebut, dan mendapati bahwa Topeng Putih mengumumkan adanya final quest yang sudah dikirim ke e-mail kami semua.

Dari kemarin aku bingung, kenapa Topeng Putih tiba-tiba membuat final quest? Apa jangan-jangan.... Alice menelepon Topeng Putih sendirian?

Tidak kusangka, gadis itu berubah jadi seberani itu. Padahal, rasanya, sebulan yang lalu, dia hanya gadis cengeng yang menangisi apa pun yang ada di sekitarnya. Bukannya aku keberatan dengan itu juga, sih, tapi rasanya dulu ia terlalu sensitif sampai membuatku harus ekstra hati-hati dalam berkomunikasi dengannya kalau tidak mau membuatnya menangis atau ketakutan.

Tapi, sepertinya dia lebih menarik sekarang.

Tunggu. Aku tidak seharusnya memikirkan itu saat ini.

Aku harus segera kembali ke kamar untuk membaca penjelasan permainan dengan seksama. Ngomong-ngomong, aku berada dalam masa hukuman Pak Stenley. Ia berubah pikiran karena dirasa aku mencari-cari alasan saat ke kamar Alice kemarin dan mau menghukum kami berdua untuk membersihkan kamar mandi sepulang sekolah.

Tapi, tentu saja, aku tidak membiarkannya menghukum Alice.

Selain ia terlalu ringkih untuk disuruh kerja rodi oleh Pak Stenley dan aku kasihan padanya, semua ini bukan benar-benar salahnya. Yang ke kamarnya, kan, aku. Ia sama sekali tidak tahu soal ide itu. Aku yang terlalu egois karena ingin berbicara dengannya setelah beberapa kali hanya curi-curi pandang ke arahnya di dalam kelas atau kantin.

Untungnya, tua bangka itu masih rasional dan mengabulkan permintaanku, walaupun sebagai konsekuensinya, hukumanku jadi beranak dua kali lipat.

Aku melongokkan kepala ke luar kamar mandi, memastikan Pak Stenley tidak sedang mejeng di koridor untuk mengawasiku. Dan benar saja, ia sudah hilang entah ke mana. Tidak kusangka, langit sudah berubah gelap.

Bangsat. Gara-gara dia, aku jadi melewatkan jam makan malam.

Ya sudah, lah, aku kembali ke kamar saja. Toh, aku masih punya banyak makanan curian yang kuambil dari kantin. Aku segera berlari masuk ke dalam kamar dan membuka e-mail dari ponselku. Mataku terbelalak begitu membaca e-mail teratas bersubjek 'Final Quest' yang seharusnya dikirim Topeng Putih.

E-mail itu dikirim dari alamat Pak Stenley.

Aku mengernyit kesal. Ia selalu menggunakan e-mail Pak Stenley untuk menutupi kedoknya. Saat kasus Rey, ia juga menggunakan Pak Stenley untuk menariknya pergi ke sekolah pagi-pagi buta—ngomong-ngomong, anak itu tidak kunjung sembuh, padahal Fellicia sudah kembali ke sini (apa lukanya memang separah itu?)

Bagaimana Topeng Putih bisa punya akses ke e-mail milik kepala sekolah gila itu?

Setahuku, untuk membobol e-mail seseorang memerlukan usaha yang besar. Aku yakin, semua orang juga bakal setuju kalau kemungkinan Pak Stenley adalah pelaku dibalik Topeng Putih hampir nol persen setelah kemunculan fakta baru mengenai Panji. Selain karena Willy sangat membenci kepala sekolah itu hingga tidak mungkin bekerja sama dengannya, ia juga berumur lebih dari tiga puluh tahun—tidak cocok dengan deskripsi Panji.

Lalu, siapa yang bisa mencuri password e-mail Pak Stenley diam-diam—dan bagaimana?

Seharusnya mereka tahu, kan, bahwa kemungkinan besar, hal itu hanya bisa dilakukan oleh orang yang berpengaruh, seperti Pak Joseph? Tapi... Pak Joseph sendiri tidak masuk kriteria "pria tiga puluh tahun-an" milik Panji, sih. Selain itu, dengan menarik Iris ke timnya, siapa pun yang ada di balik Topeng Putih itu memang sudah menang besar melawan Pak Stenley dan bisa mencuri password e-mail kapan saja saat Pak Stenley sedang pergi dinas.

Artinya, siapa saja bisa mencuri password-nya, meskipun sedikit sulit.

Ah, sial, sulit sekali meyakinkan diri mengenai siapa Panji dan antek-anteknya. Lebih baik, sekarang aku membaca penjelasan permainannya dulu, deh.

'Subject: Final Quest

Sandera akan kubebaskan satu-per-satu pada hari Minggu di luar panti asuhan untuk menghindari ke-kepoan kepala sekolah:) Begitu juga dengan pasukan algojo yang siap menghabisi nyawa mereka—dan kalian. Kalian harus memilih apakah akan menyelamatkan mereka, atau menyelamatkan diri sendiri pada permainan ini. Akan ada garis batas zona pertempuran dan zona aman. Setelah masuk zona aman, kalian bebas.

Ingat, berbicara mengenai hal ini sedikit saja, kami akan langsung menghabisi Catherine Maxwell yang tidak akan dilepaskan besok hari.

Happy hunting :)'

Aku membelalak membaca pesan tersebut. Hari Minggu? Itu, kan, dua hari lagi?

Ia ingin melakukan pembunuhan massal di luar sekolah? Tapi... di mana? Kenapa harus di luar sekolah? Ia tidak berani terang-terangan melawan Pak Stenley? Apa jangan-jangan, selama ini alasan ia tidak pernah membuat korbannya sampai kehilangan nyawa karena takut diusut Pak Stenley?

Kalau benar begitu... mereka benar-benar serius ingin membunuh kali ini.

Bayangan Alice langsung muncul di kepalaku.

Tidak.

Ia tidak boleh ikut permainan gila ini. Ia pasti jadi sasaran empuk Topeng Putih, mengingat hanya ia satu-satunya wanita yang tersisa dari kelompok kami. Melihat dari korban Topeng Putih yang kebanyakan perempuan, aku curiga bajingan itu orang seksis yang menganggap cewek selalu lebih lemah. Kalau benar begitu, Alice lah yang paling berada dalam bahaya.

Eh, masih ada Gwen, sih. Tapi, dia bahkan tidak bisa dikategorikan sebagai cewek, kan? Semua orang, tidak peduli cewek atau cowok, tidak pernah ada yang berani macam-macam dengan cewek yang katanya punya teman di dunia lain itu. Bisa-bisa mereka disantet muntah paku kalau melukai Gwen.

Tapi, pesan ini membuatku kepikiran sebuah ide. Kenapa selama ini tidak ada dari kami yang kepikiran, ya? Keluar dari lingkungan sekolah, kan, sama saja keluar dari pengawasan Pak Stenley. Kita bisa bertemu di mal dekat sekolah besok dan membahas semua ini. Aku juga bisa bertemu Alice untuk menyuruhnya absen dari permainan gila ini. Dalam e-mail, tertulis boleh menyelamatkan nyawa sendiri. Berarti, kalau dia tidak datang dan mengurung diri di kamar, tidak akan apa-apa, kan?

Aku buru-buru mengetik pesan untuk teman-temanku untuk menemuiku di mal besok. Lagipula, Pak Stenley tidak akan curiga kalau kita keluar dari sekolah saat weekend, dan ia juga tidak akan bisa melacak SMS yang kami kirimkan karena tidak terhubung di Internet.

Tapi, memangnya Pak Stenley secanggih itu sampai bisa melacak pesan segala?

Kurasa tidak.

'Ketemu di mal besok pulang sekolah. Urgent.'

Baru saja kutekan tombol send, sebuah pesan masuk ke dalam ponselku. Jantungku langsung mencelos jatuh ke perut. Apa Pak Stenley memang secanggih itu? Dengan jantung berdebar sambil menahan napas, kubuka pesan baru tersebut.

Ternyata Bryan.

"Kumpul di mal besok sepulang sekolah. Kedai nasgor lt.2."

Oh, si kampret itu juga punya ide yang sama denganku. Pesan baru kemudian menyusul masuk ke dalam ponselku, dari Bryan lagi.

"Ikut-ikut aja, lo, kayak nggak punya ide lain aja."

"Kampret," gumamku sambil tersenyum geli, lalu meletakkan ponselku di atas meja. "Memang mau dilihat dari sisi mana pun, si kutu kupret itu minta dihajar habis-habisan."

[COMPLETED] Curse of the Suicide GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang