85. Andrew

40 14 0
                                    

Jleb!

Bunyi tusukan pisau terdengar, membuat wajahku langsung memucat.

Hanya dalam waktu yang sangat singkat, Bryan berhasil berdiri di tengah-tengah pisau Topeng Putih dan Alice, membuat dada kanannya tertusuk pisau. Ia meringis kesakitan, namun masih bisa mengacungkan pisau curiannya pada Topeng Putih hingga ia melompat mundur dan mencabut pisaunya, lalu lari ke lantai dua.

Melihat itu, aku hanya bisa mematung di tempat. 

Setinggi itu… Kalau saja Bryan tidak menengahi mereka, leher Alice pasti sudah tersayat sekarang. Kalau saja refleksku adalah melawan, bukannya menghindar, mungkin tidak perlu ada yang harus terluka sekarang. 

“BRYAN!” pekik kami bertiga bersamaan sambil langsung menghampiri cowok itu dengan panik. Darah merembes dari dada kanannya dengan sangat cepat, mewarnai kaos putihnya dengan warna merah darah. 

“Nggak apa-apa, gue nggak apa-apa.” ia menyahut susah-payah sambil meringis menahan sakit. “Kita harus bawa Kim ke zona aman sekarang.”

Mendengar hal itu, aku langsung mengangkat tubuh Kim, untuk membawanya keluar lewat jendela, menuju pagar perbatasan dengan zona aman. Sam segera berlari untuk membantu. Aku meletakkan Kim yang sudah tidak sadarkan diri untuk disandarkan di pagar sebelum memanjat ke atasnya untuk melewati pagar itu. 

Baru saja aku mengulurkan tangan untuk memanjat, Bryan tiba-tiba memanggilku lirih, dengan wajah memelas, “Ndrew.”

“Kalo lo mau ngungkapin cinta ke gue, bukan saatnya.” balasku.

“Jijik banget, nggak.” balasnya sambil mencekal tanganku. “Gue titip Alice, ya.”

Mendengar perkataan itu, mataku langsung membelalak. Biasanya kalimat itu diucapkan oleh orang yang berada di ambang kematian atau hendak mengakhiri nyawanya…. Apa yang mau dia lakukan?

“Alice siapa lo; kok dititip-titipin?” balasku sarkastik. “Nggak. Kalo lo mau ngejaga Alice, jaga aja sendiri, nggak usah nyuruh-nyuruh.”

“Nggak bisa. Harus ada yang bawa korban ke tempat aman. Kim harus segera dibawa ke rumah sakit sebelum luka tembaknya infeksi. Takutnya, kalo dia ditinggal di zona aman sendirian juga bakal dilukai Topeng Putih curang itu. Harus ada yang bawa dia ke tempat umum.” jelasnya.

Aku menoleh ke arah Sam dan Alice yang sedang berjongkok di samping Kim. Mereka benar-benar kehabisan tenaga. Lalu, aku menoleh lagi pada Bryan, yang berdiri sambil membebat dada kanannya dengan bajunya sendiri. 

“Kenapa nggak gue aja yang bawa Kim? Lo atau mereka, kalo dicegat tengah jalan, memangnya bisa lari?” tanyaku.

Ia menggeleng, lalu melanjutkan, “Justru yang lebih fit harus stay di sini. Korban lainnya kan belum ketemu. Sebaliknya, di tempat umum, nggak bakal ada yang nyerang. Dengan kondisi kayak gini, kalo gue diserang lagi… kayaknya gue nggak bisa ngelindungin Alice. Makanya mendingan gue titip mereka ke kalian, dan Alice… Tolong jagain jangan sampe kenapa-kenapa.” jelasnya, lalu langsung memanjat pagar—tidak memberikan waktu untukku membantah.

Aku pun membantunya mengangkat Kim untuk melewati pagar zona aman.

"Dengerin gue," katanya tegas setelah berhasil mencapai bagian luar gerbang, "Habis ini, orang-orang akan melihat Kim, karena gue akan ke daerah rame. Cepat-atau-lambat, polisi pasti akan dilibatin, karena lukanya nggak wajar. Ketembak pistol itu, kan, nggak biasa. Jadi, gue minta kalian telepon Topeng Putih, nego sama dia buat ngelepasin semua sandera sekarang juga. Bilang, bangunan ini terlalu luas buat nyariin sandera itu satu-per-satu. Setujui apa pun persyaratan mereka. Habis semua sandera dilepas, kalian langsung telepon polisi, hopefully sebelum polisi itu dateng sendiri karena pihak rumah sakit ngelaporin soal luka Kim. Kalian paham?”

Aku menatap cowok keras kepala itu, gatal ingin membantah perintahnya. Tapi, setelah ini, dia toh akan pergi. Nggak ada gunanya berdebat dengannya sekarang.

Alice dan Sam mengangguk patuh.

“Gue bawa dia ke rumah sakit dulu.” pamit Bryan sebelum tersenyum dan menggendong Kim menuju mal di seberang gedung.

Begitu ia sudah berada di jarak yang cukup jauh, aku buru-buru berbalik dan mengeluarkan ponsel dari kantongku.

“Gue telepon polisi sekarang.” sahutku tegas. “Harusnya, dari awal gue telepon polisi duluan sebelum permainan gila ini dimulai. Seandainya polisi datang ke sini, Topeng Putih pasti bakal ditangkep dan mereka bisa bantu cari korban. Seandainya lebih awal… nggak perlu ada yang terluka.”

“Loh, perintahnya, kan, bukan gitu, Ndrew?” Alice protes.

“Bryan nggak bisa mikir jernih. Kalo Bangsat-Bangsat itu kita ajakin nego, pasti dia tahu kita lagi ngerencanain sesuatu. Ngimpi aja rencananya bakal lancar,” balasku.

“Tapi mending jangan gegabah dulu, Ndrew. Mereka masih punya Catherine sama Rosa, loh.” jelas Alice sambil mencegah langkahku. "Terus, korban-korban yang lain juga; Luke, Alexa…"

“Kalo udah ngelibatin polisi, prioritas si Bangsat pastinya kabur. Nggak mungkin mereka kepikiran nyelakain sandera dulu. Trus, sanderanya juga pasti di sekitar sini semua, soalnya mustahil mereka bolak-balik cuman buat ngambilin sandera satu-satu dari tempat yang jauh. Jadi, mereka bakal kabur, sanderanya malah bisa diselamatin.”

“Loh, tapi Catherine?” Alice masih protes, “Kalo habis mereka kabur, mereka nyelakain Catherine gara-gara tahu kita ngelaporin mereka ke polisi, gimana? Bahaya, nggak, sih?”

“Tapi… kalo nggak ada bantuan sekarang, kita nggak akan menang.” sahut Sam nimbrung. Aku dan Alice terkejut karena bocah itu terdengar serius. “Cuma ada gue, lo, sama Mons—Andrew. Dan lo tahu pasti, gue sama lo nggak sebanding sama Topeng Monyet—nggak jago berantem. Andrew nggak mungkin bisa ngelindungin kita, ditambah korban yang keadaannya nggak tahu separah apa, pasti harus ada yang dikorbanin.”

“Trus, Catherine gimana? Lo—”

“DAN Monster Andrew nggak mungkin ngorbanin lo atau dirinya sendiri. Pilihannya tinggal gue atau korban. Si Monster kan nggak suka sama gue, pasti akhirnya gue yang dikorbanin. Lo enak, tenang-tenang aja.” potong Sam, kali ini benar-benar marah—bahkan ia tidak sadar baru saja memanggilku dengan julukan monster—tapi aku sedang tidak mood memermasalahkan hal itu sekarang.

“Trus? Lo mau ngorbanin Catherine buat nyelametin lo sendiri? Kok egois?” balas Alice, tidak kalah emosinya. “Gimana kalo denger bunyi sirene mobil polisi, si Topeng langsung cabut dan nggak ketangkep? Emang, sandera yang di sini selamat. Tapi, Catherine?”

“Nggak, lah, dasar Kura-kura Lemot. Serahin sama gue. Gue, kan, udah bilang mau telepon rumah sakitnya buat memastikan nggak ada orang yang bakal masuk ke dalem kamarnya.” kata Sam sambil meraih ponselnya.

Oh, bahkan Alice sekarang mendapat nama panggilannya sendiri.

“Walau begitu, kita tetep nggak bisa percaya pihak rumah sakit. Takutnya—”

“Udah, nggak ada waktu mikir kelamaan. Ketakutan lo nggak berdasar, Lice, sori. Nggak mungkin Topeng-Topeng itu nyewa satu rumah sakit cuma buat ngancem anak-anak ingusan kayak kita. Gue telepon polisi sekarang.” potongku buru-buru, tidak sabar dengan perdebatan yang tidak ada habisnya ini. “Lice, lo hubungin Joshua sama Gwen. Suruh bocah-bocah AFK kampret itu ke sini sekarang.”

Dengan itu, aku mengeluarkan ponsel untuk menelepon polisi. Terlambat sedetik saja, bisa-bisa nyawa melayang.

[COMPLETED] Curse of the Suicide GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang