Sudah dua jam lamanya aku menatap langit-langit kamarku yang berjamur.
Bukan, bukannya aku lagi kasmaran atau apa—meskipun pembicaraan dengan Joshua barusan cukup menghibur perasaanku—tapi rasanya, otakku tidak mau bungkam. Ia terus-terusan menyampaikan sederet fakta mengenai Topeng Putih yang membuatku terjaga. Apalagi, otakku bisa-bisanya membayangkan Topeng Putih membuka kedoknya dan muncul wajah Kesha di balik topeng dan baju serbahitam itu.
Aku menghela napas panjang, lalu menggulingkan badan ke kanan.
Aku butuh petunjuk.
Sudah ada petunjuknya, sih, hanya saja... belum ada seutas benang merah yang bisa menyatukan petunjuk-petunjuk yang kumiliki. Mungkin, aku perlu menyusun semuanya dari awal.
Andrea tiba-tiba mendekatiku dan mengajakku mengobrol di kelas. Saat itu, sepertinya ia tertarik dengan penyelidikan yang kami lakukan, dan berusaha memberikanku petunjuk soal Topeng Putih, tapi hari selanjutnya—hari di mana ia harusnya mendiskusikan sesuatu denganku—Alexa hilang. Kuduga, hilangnya Alexa ada hubungannya dengan apa yang ingin Andrea katakan padaku, atau ada hubungannya dengan apa yang dikatakan Kak April dan Kak Sally, demi mengeluarkan Kesha dari kamar mereka.
Setelah itu, Andrea langsung tutup mulut dan lebih mengurung diri. Ia juga tidak lagi mau kuajak membahas soal Topeng Putih, bahkan sampai keluar dari ekskul cheers. Kemungkinan besar... orang di balik topeng putih itu sudah mengancamnya, seperti yang ia lakukan pada kami semua soal Catherine.
Lalu, Kesha pindah ke dalam kamarnya, dan mereka, walaupun tidak akrab, akhirnya jadi satu ruangan. Terakhir kali ke sana, Kesha mengusirku dengan nada kasar, yang menurutku terlalu berlebihan. Tapi, aku tahu pasti kalau Kesha tidak mungkin bersikap sebegitu kelewatannya denganku, kecuali ada alasan tertentu.
Apa alasannya bertindak semarah itu?
Dan kenapa saat itu, Andrea tidak lagi mau menemuiku?
Kalau dipikir-pikir, perubahan sifat Andrea cukup drastis juga, sih, setelah hilangnya Alexa. Ia jadi lebih pendiam, introvert, dan aura bahagia yang seharusnya selalu mengelilinginya padam. Ia jadi terlihat lebih gloomy, dan bahkan, tidak lagi memanggil Fellicia dengan panggilan akrabnya.
Seakan-akan... dia adalah orang yang memang berbeda.
Pemikiran itu membuatku langsung terbangun dari atas kasur. Rasanya bulu kudukku langsung meremang. Bagaimana kalau... memang dia adalah orang yang berbeda?
Aku kembali mereka ulang percakapan kami berdua setelah hilangnya Alexa.
Beberapa keanehan mulai muncul di otakku. Pertama, Andrea sangat senang dengan kegiatan cheerleaders, dan ia tidak mungkin semata-mata keluar dari perkumpulan itu. Bahkan, ia membetah-betahkan diri dengan anak-anak yang sama sekali tidak cocok dengan sifatnya demi bertahan dalam ekskul kesayangannya itu. Seandainya Topeng Putih yang mengancamnya untuk keluar, pun, untuk apa?
Memangnya, dengan berkegiatan cheers, Andrea bisa mengancam orang lain?
Eh, tapi... mungkin saja dugaanku soal Topeng Putih adalah bagian tim cheers itu benar, dan Andrea mengetahuinya, sehingga ia mau keluar dari perkumpulan supaya tidak lagi bergaul dengan seorang pembunuh.
Tapi, kenapa Topeng Putih memerbolehkannya? Bukannya lebih mudah mengawasi Andrea kalau ia tetap tinggal di kelompok yang sama dengannya?
Kedua, soal panggilan Fellicia. Masa hanya karena saudaranya menghilang, ia tidak lagi memanggil Fellicia dengan sebutan 'Timon' seperti yang mereka biasa lakukan? Seharusnya, panggilan itu sudah menjadi sesuatu yang melekat dan bagian dari refleks, kan? Malah, akan lebih sulit untuk membiasakan diri memanggilnya 'Fellicia' lagi daripada memanggil sebutan 'Timon.'
KAMU SEDANG MEMBACA
[COMPLETED] Curse of the Suicide Game
Mystery / Thriller[WARNING: Mengandung kata-kata umpatan dan adegan kekerasan yang kurang sesuai untuk anak-anak] Sosok psikopat di balik topeng putih yang menjadi momok siswa-siswi masih berkeliaran. Namun, Tim detektif amatir IMS (Infinite Mystery Seeker), yang ber...