54. Rosaline

46 13 0
                                    

Dari awal, aku sudah curiga pada anak-anak cheers yang sudah brutal sejak kami masih kanak-kanak. Kalau Topeng Putih tergabung dalam kelompok yang sudah terkenal sebagai tukang bully dan suka kekerasan semenjak aku masuk ke dalam panti asuhan ini, aku tidak akan kaget.

Tapi... sepertinya IMS tidak sependapat denganku.

Buktinya, tiap kali mengangkat topik tentang anak-anak cheers sebagai pelaku di balik Topeng Putih, mereka tidak mengucapkan apa pun. Atau, malah, menyangkalnya mentah-mentah.

"Bisa aja... Topeng Putih memang sengaja mau buat bukti mengarah ke anak-anak cheers karena tahu lo punya dendam sama mereka, nggak, sih?"

Sanggahan Andrew kembali terngiang dalam benakku.

Dasar. Kenapa sanggahannya terdengar masuk akal, sih? Padahal aku sudah cukup yakin akan hal ini. Tapi nggak apa-apa, deh. Aku, kan, tetap bisa menyelidiki anak-anak cheers, dengan atau tanpa bantuan mereka.

Lagipula, teka-teki yang kami jawab kemarin akhirnya juga benar, tanpa usul dariku. Sepertinya IMS tetap bisa menebak teka-teki itu tanpa adanya aku, kan? Jadi, pemikiranku pada teka-tekinya pun tidak begitu berpengaruh. Mungkin, aku harus memfokuskan pencarian tentang anak-anak cheers ini saja dan membiarkan yang lain memikirkan teka-tekinya.

Ya. Aku akan menyelidiki soal keterlibatan anak cheers ini sendiri saja.

Aku mengulurkan lengan untuk mengetuk pintu kamar Andrea, yang kuduga masih memegang kunci penyelidikan ini namun terlalu takut untuk mengungkapnya karena diancam oleh Topeng Putih. Saat ini, sekolah sudah usai. Karena tidak ada jadwal latihan cheers, seharusnya cewek itu ada di dalam kamarnya.

"Siapa?" sahut suara di dalam kamar.

"Gue, Dre; Rosa." sahutku.

"Oh... Rosa." sahutnya terdengar tidak bersemangat. "Sorry banget Sa, lo ke sini lain kali aja, ya? Soalnya gue lagi pingin sendiri."

Instingku mengatakan ada hal tidak beres yang sedang terjadi. Tidak biasanya Andrea menolak orang seperti ini. Apakah ia diancam oleh Topeng Putih untuk tidak menemuiku lagi agar aku tidak bisa menyelidiki lebih lanjut tentang identitasnya? Tapi, bukankah itu berarti... aku selangkah lebih dekat pada identitas Topeng Putih, dan dugaanku selama ini benar?

"Lo... nggak lagi diancem, kan, Dre? Seandainya lo diancem, gue sama temen-temen bisa bantu, kok. Asalkan lo bilang—"

"Nggak, kok, Sa. Gue nggak apa-apa." potongnya buru-buru.

"Beneran, Dre. Gue sama temen-temen bisa bantuin lo, kok." sahutku sambil menempel pada daun pintu.

"Sorry, Sa. Ini nggak ada hubungannya sama Alexa atau pencarian-pencarian kalian soal Topeng Putih, kok." sahutnya lagi. "Gue beneran nggak apa-apa. Cuma lagi butuh waktu sendiri aja."

Padahal tinggal selangkah lagi. Selangkah lagi saja, aku bisa mengetahui identitas Topeng Putih, atau setidaknya klu mengenai hal itu. Mungkin, kali ini aku harus sedikit tidak memikirkan orang lain dan memaksanya terbuka. Mungkin hanya dengan menembus batas seorang Rosaline aku bisa mendapatkan jawabannya. Cukup sampai mengetahui mengenai identitas Topeng Putih dan mengetahui apa yang saat itu ingin ia bicarakan denganku sebelum Alexa menghilang.

"Dia nggak akan tahu, kok, kalo lo cerita sama gue, Dre. Dia cuma ngawasin kita lewat CCTV aja, jadi suaranya nggak mungkin kedengeran." bujukku.

"Kalo orangnya bilang nggak mau ya jangan dipaksa, dong. Maksa banget, sih, lo!" Suara lain menyahut dari dalam. Itu adalah suara Kesha. "Mentang-mentang Andrea masih bersikap sopan sama lo, lo ngira dia mau temenan sama orang freak kayak lo?"

Kesha ada di dalam. Menyadari hal itu, tiba-tiba aku merasa tidak tenang. Apa dia benar-benar Topeng Putih dan sekarang sedang menyekap Andrea agar tidak macam-macam? Bayangan Andrea sedang diikat menggunakan tali dan ditodong pisau pada lehernya oleh Kesha langsung terputar dalam benakku. Pemikiran itu membuatku sangat terganggu, sampai-sampai badanku spontan membuka pintu kamar tersebut. (Yah, untungnya, kamar selain kamar VIP tidak dilengkapi kunci pintu, jadi aku masih bisa masuk).

Begitu pintu terbuka, tampaklah Kesha yang sedang asyik dengan ponselnya di atas kasur Alexa, dan Andrea yang sedang duduk di kasurnya sambil memeluk bantal. Tidak ada penyekapan sama sekali, apalagi penyiksaan. Aku langsung mengerjap canggung.

"NGAPAIN, SIH, LO? NGGAK TAHU TATA KRAMA, YA?" bentak Kesha sambil bangkit dari kasur dan membuang ponselnya begitu saja ke arah kasur. Alisnya bertaut, dan rahangnya mengeras.

"G-Gue... cuma khawatir." sahutku sambil menunduk malu.

"KHAWATIR SOAL APA!? HARUSNYA LO ITU MENGKHAWATIRKAN DIRI LO SENDIRI YANG FREAK DAN GANGGUAN JIWA." bentaknya sambil berjalan mendekat ke arahku. Ia mendorongku hingga aku terjatuh di koridor depan kamarnya, dan kemudian berdiri di ambang pintu sambil menyilangkan tangan di depan dada.

"Gue... beneran nggak bermaksud gitu, Dre." Aku berusaha menjelaskan pada Andrea, yang kini duduk di atas kasurnya dengan wajah syok.

"PERGI, SANA! NGGAK ADA YANG NERIMA LO DI KAMAR INI." sahut Kesha sambil menendangku keras-keras sebelum berbalik dan membanting pintunya di hadapanku.

Aku tertegun, masih berusaha memproses apa yang baru saja terjadi.

Kenapa dia marah banget?

Apa perlu sampai segitunya?

[COMPLETED] Curse of the Suicide GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang