Di kala dunia melihat warna, ialah Sang Terkemuka.
Kalimat itu kuulangi bolak-balik di dalam otakku, entah sudah keberapa kalinya. Aku menatap langit biru berhias gumpalan awan putih sambil mengulurkan tanganku ke atas untuk menutupi cahaya matahari yang menyilaukan.
Siapa lagi yang akan ditarget bajingan itu?
Kupikir permainan sudah selesai ketika Luke tertangkap. Lagipula, untuk apa mereka mengoleksi anak-anak SMA? Catherine, Kimberly, Luke, Alexa. Empat korban itu memangnya mau mereka apakan? Dan sampai kapan mereka akan ditahan?
Dasar psikopat tidak jelas.
Selain itu, bukannya semakin banyak anak yang menghilang dari sekolah, seharusnya membuat guru-guru mulai curiga? Kenapa mereka tidak kunjung curiga dan melapor ke siapa pun yang bisa menyelidiki, sih?
Dasar guru-guru tidak jelas.
Paling-paling mereka tidak peduli kalau muridnya hilang. Yang penting dapat gaji. Entah mau jadi apa negeri ini nanti kalau guru-gurunya saja tidak becus seperti ini. Anjir, sok banget ngehujat pendidikan, padahal masuk kelas aja nggak pernah. Bodo amat, lah, meskipun guru-guru nggak becus itu nggak ada pengaruhnya juga untuk orang kayak aku, tapi kan masih ada anak-anak bermasa depan cerah seperti Alice kalau mereka mengajar dengan benar. Harusnya mereka peduli pada muridnya walaupun cuma sedikit, kan?
Aku menghela napas panjang, lalu menolehkan wajahku ke samping. Kutatap kumpulan atap yang berjajar rapi di bawahku dan kembali memikirkan teka-teki yang baru saja diberikan Topeng Kampret. Apa, sih, maksudnya, 'di kala dunia melihat warna'? Apa maksudnya pertama kali warna ditemukan oleh manusia? Pertama kali TV bisa berwarna? Pertama kali manusia bisa melihat warna? Saat kita lahir, siapa yang baru lahir di sini?
Ngaco. Apa, coba, hubungannya?
Otakku memang paling tidak bisa diajak kompromi saat memecahkan teka-teki seperti ini. Kalau soal mencoba-coba algoritma coding, sih, nggak perlu dipertanyakan lagi aku pasti bakal maju paling depan untuk memecahkannya duluan. Tapi soal teka-teki aneh berupa rangkaian kata indah, aku angkat tangan, deh.
Tapi, aku juga nggak ada hal lain untuk dipikirkan, sih. Oke, mari kita coba pecahkan teka-teki ini. Barangkali, aku bisa menemukan ide-ide tidak terduga seperti si Bangsat Bryan.
Orang dan warna. Anak SMA-ku dan warna.
Wajah April yang tersenyum meremehkan langsung muncul di otakku. Si kampret itu sepertinya satu-satunya yang paling sesuai soal orang berwarna. Buktinya, rambutnya selalu gonta-ganti warna setiap minggu atau bulan. Entah menjadi oranye seperti jeruk mandarin, lah, atau ombre hijau merah seperti semangka busuk, lah, pokoknya anak itu yang paling nyentrik soal warna.
Gret.... Gret....
Pintu menuju loteng tiba-tiba berderak, membuatku spontan bangkit dari acara bersantai dan menoleh ke arah pintu itu. Setahuku, tidak ada anak SMA maupun guru yang berani menyentuh lorong gelap menuju loteng. Lalu, siapa sosok di balik pintu itu? Apa jangan-jangan, ada guru yang akhirnya rela mengorbankan waktu tidur siangnya untuk menegurku ke sini? Atau... Topeng Putih?
Baru saja aku berdiri untuk bersiap bersembunyi, sebuah suara memanggil namaku, "Ndrew? Lo di luar, nggak?"
Suara itu... Alice? Untuk apa dia ke sini di jam pelajaran? Apa dia ikut-ikutan membolos gara-gara mau berbicara denganku? Hanya dengan pemikiran itu, senyumku langsung mengembang tanpa bisa kukontrol.
"Ngapain?" tanyaku sambil berjalan mendekat ke arah pintu.
"Udah jam istirahat, nih, kan kita mau ngumpul. Lo nggak turun?" tanyanya dari balik pintu, masih berusaha membuka pintu tersebut sekuat tenaga namun yang didorong sama sekali tidak bergerak.
Sepertinya, tadi aku terlalu larut dalam pikiranku sendiri sampai-sampai tidak menyadari kalau bel jam istirahat sudah berbunyi. Tapi lucu juga, punya sosok mungil yang menjemputku tiap istirahat begini.
"Ini gimana, sih? Kok, susah banget, bukanya." protesnya sambil menggoyangkan pintu dengan frustrasi.
"Awas, minggir dikit." sahutku.
Aku mengulurkan tangan untuk membantunya membuka pintu besi tersebut. Yah, memang pintu itu agak tua dan seringkali membutuhkan tenaga ekstra untuk membukanya. Tapi, aku tidak pernah menyangka bahwa Alice tidak bisa membuka pintu ini meskipun sudah mengeluarkan seluruh tenaganya. Lucu juga.
Begitu pintu itu terbuka, tampaklah wajah gadis tersebut yang langsung menatap ke arahku.
Kejadian malam itu langsung terputar kembali di dalam otakku. Ketika ia terpeleset ke belakang dan aku menahan tubuh mungilnya, lalu kami bertatapan selama beberapa detik. Rasanya, saat itu, jantungku sudah mau melompat keluar dari rongga dadaku. Wajah melongonya yang sangat manis malam itu sungguh menggemaskan.
"Udah, yuk." ajakku sambil melangkah keluar, berusaha menyembunyikan senyum yang tiba-tiba muncul di wajahku.
Kami berjalan dalam diam menuju kantin sekolah. Entah kenapa, Alice kalau sudah berdua saja denganku jadi semakin pendiam. Padahal, biasanya, di tengah suasana hening seperti sekarang, ia senang sekali mencari topik baru. Masa sih, dia merasa canggung denganku?
"Kok lo jemput gue?" tanyaku berusaha memecah suasana, tapi kalimat yang keluar dari mulutku terdengar seribu kali lebih tidak ramah dari yang seharusnya ingin kuucapkan.
"Em..." Ia langsung tergagap.
"B-Bukannya gue nggak seneng, sih." sahutku, berusaha mengoreksi. "Maksudnya, kan, kok lo mau gitu repot-repot manggil gue padahal bisa lewat telepon?"
Bangsat, ngomong apa, sih. Kan Alice nggak mungkin berani ngelanggar aturan buat bawa ponsel ke sekolah.
"Nggak bisa, dong." sahutnya sambil menunduk. "Lagian, kalo bisa pun, gue pingin aja, nyamperin langsung."
Senyum kembali mengembang di wajahku. Aku berusaha mati-matian menghentikannya, namun entah kenapa otot wajahku menolak. Rasanya aku ingin melompat sambil berteriak-teriak senang. Ada apa, sih dengan tubuhku hari ini? Tidak biasanya aku sebahagia ini. Apa kemarin aku salah makan, ya?
'Lo suka sama Alice.' Sebuah suara dari dalam diriku menyahut, membuatku mengernyitkan alis.
'Tapi, kan, gue suka sama Felli.' bantahku.
'Perasaan manusia bisa berubah, bro. Suka sama orang ada kadaluwarsanya.' suara itu kembali menyahut, membuatku semakin heran.
Aku baru tahu kalau aku punya sisi lain dalam diriku yang bisa kuajak bicara. Oke, ini aneh. Sepertinya aku benar-benar salah makan kemarin. Sepertinya aku lebih baik membungkam pikiranku sendiri sekarang dan fokus pada penyelidikan.
"Eh, itu bukannya temen lo, ya?" Suara Alice membuyarkan lamunanku. Ia menunjuk ke arah gerbang masuk sekolah. Aku mengikuti arah jarinya, lalu terpaku di tempat, tidak bisa memercayai pandanganku.
Berdiri di depan gerbang, adalah Fellicia.
KAMU SEDANG MEMBACA
[COMPLETED] Curse of the Suicide Game
Mystery / Thriller[WARNING: Mengandung kata-kata umpatan dan adegan kekerasan yang kurang sesuai untuk anak-anak] Sosok psikopat di balik topeng putih yang menjadi momok siswa-siswi masih berkeliaran. Namun, Tim detektif amatir IMS (Infinite Mystery Seeker), yang ber...