81. Alice

41 12 0
                                    

Waktu berjalan sangat cepat sampai-sampai aku tidak bisa mencerna apa yang tengah terjadi sekarang. Awalnya, aku berhasil menangkap Sam ketika Bryan dan Andrew sedang sibuk bergelut dengan Topeng Putih di lantai lima. Tapi, setelah berhasil menguasai dirinya, oknum yang kutangkap itu malah berlari mendahuluiku menuruni tangga dengan cepat. Sepertinya, dia ketakutan sekali kalau bakal dikejar oleh Topeng Putih, yang sesaat sebelumnya menodongkan pisau ke lehernya, sehingga ingin kabur sejauh mungkin.

Mau-tidak-mau, aku ikut berlari mengejarnya menuruni tangga.

Ternyata, lari cowok itu juga cepat kalau sedang dikejar pembunuh. Buktinya, aku sudah tidak bisa melihat tubuhnya lagi ketika aku sampai di lantai tiga dengan napas terengah-engah. Aku berusaha meneriakkan namanya, namun ia tidak menjawab.

Set....

Sebuah tangan tiba-tiba menarikku ke belakang hingga aku terjungkal ke atas lantai keras. Sepatu boots bersol tebal diinjakkan ke atas perutku hingga aku spontan memekik nyaring. Itu adalah Topeng Putih lain, yang ternyata bersembunyi di lantai tiga.

Ia menginjak badanku kuat-kuat ke tanah, hingga aku tidak dapat berdiri melawannya. Detik selanjutnya, ia sudah mengeluarkan sebuah pisau dari sakunya. Pisau itu dua kali lipat lebih besar dari pisau yang kami bawa, dan dari kilatan cahayanya, sepertinya pisau itu tajamnya bukan main.

Aku merengek, berusaha menyingkirkan sepatunya dari atas tubuhku, namun injakannya terlalu kuat. Untunglah, aku mendapat sebuah ide untuk mengantam bagian belakang lututnya dengan lututku hingga ia jatuh ke tanah. 

SHOOT!

Sebuah suara aneh, yang kukenali sebagai suara pistol yang diberi silencer membuatku dan Topeng Putih lantai tiga, yang kini terjatuh beberapa sentimeter di sampingku, terhenyak.

SHOOT!

Tembakan lain dilayangkan, membuat jantungku yang sudah berpacu cepat menjadi semakin cepat. Jaraknya dekat sekali. Aku menahan napas sambil melihat ke arah tangga—sumber suara tembakan, berharap Bryan atau Andrew tengah lari menuruni tangga dengan selamat, tapi mataku buram sehingga aku tidak bisa melihat apa-apa.

Semoga saja… tembakan itu bukan ditujukan untuk mereka.

Jleb…

Karena pandanganku masih berusaha kufokuskan pada anak tangga, Topeng Putih berhasil menusukkan pisaunya ke lenganku. Rasa sakit dan perih langsung terasa pada lengan kiriku. Spontan, aku menarik lenganku dan berguling menjauh. Begitu kurasa cukup jauh, aku berhenti dan segera berdiri untuk mengecek luka yang baru saja kuterima.

Astaga. Aku berdarah.

Melihat warna merah mulai mendominasi lengan bajuku, badanku melemas. Kepalaku terasa berputar, hingga pandanganku pada Topeng Putih menjadi buram. Ia masih berdiri di tempat semula—hanya berjarak satu meter dari tempatku berdiri. Di tangannya, tergenggam pisau berlumuran darahku.

Tap… tap… tap...

Langkahnya menggema ketika ia mulai berjalan mendekat perlahan-lahan.

Dengan kaki gemetar, dan kepala yang terasa sangat pusing, aku berusaha menjaga jarak dengan Topeng Putih. Ia sengaja memperlambat langkah, seakan memberiku kesempatan untuk lari, padahal aku tahu pasti kalau aku lari sekarang pun, ia pasti tetap akan mengejarku dan keadaan malah jadi bertambah parah.

Aku melirik cemas ke arah tikungan tangga di sampingnya, berharap siapa pun datang untuk menolongku, namun hasilnya nihil. Tidak ada siapa pun yang muncul dari sana. Suasana mendadak hening setelah dua kali tembakan yang baru saja kudengar. 

Apa mereka kalah di pertempuran lantai lima, dan kini tidak ada lagi yang bisa menjagaku? 

Pemikiran itu membuat semangatku langsung kandas. Pandanganku memburam, dan akhirnya aku menyerah dengan menjatuhkan diri ke tanah. Air mata yang berusaha kubendung, kubiarkan tumpah membanjiri pipiku.

[COMPLETED] Curse of the Suicide GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang