93. Rosaline

45 11 0
                                    

Gelap...

Rasanya sepi dan hampa. Padahal, detik sebelumnya aku masih bisa mendengar suara bising pengeboran yang membuat telingaku pekak. Aku berusaha menggerakan kakiku, tanganku, namun rasanya aku tidak bisa merasakan anggota-anggota tubuhku.

Yang ada hanya rasa dingin.

Apakah ini akhir hidupku?

Dan di ambang kematian seperti ini... baru aku menyadari ada banyak sekali hal yang sudah kulewatkan. Aku belum bisa hidup dengan nyaman. Aku sama sekali tidak bahagia. Menjadi diam dan selalu menerima perlakuan anak-anak cheers yang tidak rasional seakan sudah menghabiskan separuh bagian dari hidupku. Dan sisanya... kuhabiskan untuk mengagumi seseorang yang sudah kutaksir sejak zaman dahulu kala tanpa punya keberanian untuk mendekatinya duluan.

Joshua.

Satu-satunya orang yang melihatku seperti manusia. Dia juga yang pertama kali menyarankanku untuk keluar dari pertemanan tidak sehat itu. Anak-anak cheers memperlakukanku seperti budak, dan yang lain? Mereka mengira aku sengaja menempelkan diri pada anak-anak populer itu agar aku juga ikut populer. Padahal, kenyataannya, aku sama sekali tidak ingin kepopuleran. Aku hanya butuh teman. Dan satu-satunya teman yang pertama kali mengulurkan tangannya padaku hanyalah Kesha—yang kini berubah menjadi sosok sinis yang tidak secuil pun menghargaiku sebagai sesama manusia.

Kalau saja aku masih diberikan kesempatan hidup sekali lagi...

Aku pasti memperbaiki semuanya.

Seandainya aku punya kesempatan lagi.

Aku membuka mata perlahan, dan langsung disambut oleh suster yang entah sejak kapan mengamatiku dalam diam. Ia berteriak heboh, mengatakan bahwa aku sudah sadar—memanggil tenaga medis lain, atau siapa pun yang sudah menunggu kesadaranku dari balik pintu rumah sakit.

Apa itu Joshua dan teman-temanku?

Pandanganku berputar-putar. Rasa sakit yang luar biasa merasuk dalam kepalaku, membuatku ingin memukul-mukul kepalaku sendiri saking sakitnya. Rasa hangat menjalar di seluruh tubuhku, seakan tadinya tubuhku sudah tidak kuat dan berubah dingin.

Aku harus bangun.

Aku tidak bisa terus-terusan berbaring di sini sementara aku memegang klu utama siapa pelaku di balik salah satu Topeng Putih yang mencelakai kami semua. Aku berusaha mengangkat tubuhku, namun tenagaku tidak cukup sehingga aku kembali terbaring pasrah. Kucoba untuk menopang tubuhku dengan lengan yang tidak diinfus, namun tenagaku juga belum pulih.

"Rosaline Bernadette?" panggil seorang pria yang mengenakan seragam kepolisian dari ambang pintu sambil berjalan mendekat ke arahku.

Aku berusaha membuka mulutku, namun sesuatu seperti menghalanginya. Astaga, aku tidak pernah tahu kalau berbicara saja sebegini susah. Tahu begitu, aku perbanyak bicara sebelum urat bicaraku benar-benar rusak seperti sekarang.

Aku mengacungkan tangan kananku, membuat isyarat "sebentar" pada petugas itu.

"Tidak perlu dipaksakan untuk berdiri. Berbaring saja." Polisi itu berkata ramah. "Saya Inspektur Owen, yang bertanggung jawab terhadap kasus yang menimpa kamu."

Aku hanya menganggukkan kepala dengan lemah.

"Begini. Saya yakin saat ini kamu sedang lelah dan ingin beristirahat. Saya juga nggak akan memaksa kalau kamu masih belum bisa menjawab pertanyaan saya. Tapi, saya yakin kamu juga ingin kasusnya segera selesai dan pelakunya segera tertangkap, kan? Untuk itu, kalau berkenan, saya mohon kerjasamanya."

Lagi-lagi, aku tidak menjawab. Pelakunya... Bayangan sosok bertopeng putih yang muncul dari kegelapan dan menyergapku langsung terbersit dalam benakku sekali lagi. Sosok itu, yang selalu muncul dalam mimpi-mimpi buruk yang bahkan tak bisa kupisahkan dari kenyataan. Sosok itu... yang kini masih berkeliaran di luar sana...

[COMPLETED] Curse of the Suicide GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang