Hari ini buruk banget.
Topeng Putih memang kurang ajar, tetapi kalau kemarin dia hanyalah Magikarp si ikan klepek-klepek cupu yang meneror Catherine lewat SMS, hari ini dia tiba-tiba berevolusi menjadi Gyarados, naga haus darah yang nggak punya otak. Berani-beraninya dia melukai Catherine! Padahal, apa, sih, salah Catherine? Dia, kan, orangnya baik banget. Tambahan lagi, dia nggak pernah menyakiti orang lain, padahal ada banyak sekali orang-orang kurang ajar di sekitarnya yang pantas disakiti (kayak Joshua, yang sering menyebutku cebol—dan aku yakin hati Catherine yang mulia pasti sebenarnya nggak tega melihatku, yang juga selalu berbuat baik pada semua orang, diperlakukan nggak adil oleh cowok yang cuma tinggi gara-gara rambutnya saja).
Aneh banget, nggak, sih?
"Topeng Putih pasti cewek, deh," kataku pada si Rambut Tinggi. Kami sedang berjalan kembali ke kamar masing-masing untuk mengumpulkan semua uang yang kami punya dan menghitung jumlahnya. Aku sudah berhasil agak menenangkan diri setelah meledak di kamar Alice tadi. "Pasti dia, tuh, iri sama Catherine. Atau nggak, dia cowok yang ngebet banget sama Catherine tapi dianya nggak mau, terus jadi psikopat. Catherine kan cantik, baik, pinter lagi. Ya, nggak, sih?"
Si Rambut Tinggi hanya menatapku dengan tampang sebal.
Kampret. Aku sudah berpikir dan mengerahkan otakku dengan susah-payah untuk mengajukan ide yang mungkin bisa membantu, dan itu reaksinya? Ini serius, dude!
"Lo kayak lagi ngedeskripsiin diri sendiri, deh, minus bagian psikopat," balasnya kurang ajar. "Lo nggak inget, ya, orang yang sama udah ngebunuh Willy? Lo pikir, orang dengan motif secetek itu bakal tega ngelakuin hal mengerikan kayak begitu?"
Oke. Sekarang aku yang bingung. Orang ini ngomong apa, sih?
"Hah?" sahutku, "Emangnya itu orang yang sama?"
"Ya iya, lah!" balasnya, "Ini, kan, Topeng Putih kedua yang kita bicarain. Andrew, kan, juga udah bilang tadi."
"Lah," gumamku, "Gue kira Topeng Putih, tuh, ada banyak, gitu?—kayak boyband."
Kemudian, sebuah penyadaran menyambarku.
Kalau ini Topeng Putih kejam yang tega membunuh Willy, berarti Catherine berada dalam kondisi yang jauh lebih berbahaya daripada yang kukira. Bagaimana kalau dia dibunuh di rumah sakit? Aku, kan, nggak bisa seratus persen percaya kalau anjing predator bernama Pak Stenley dan antek-antek suruhannya bisa melindungi dia dengan benar.
Mendadak, aku ketakutan banget.
Aku harus ke sana dan menjaga Catherine, bagaimana pun caranya. Aku nggak bisa tinggal diam di sini sementara dia diincar jelmaan iblis itu. Kalau sampai Catherine dicelakai lebih daripada ini, aku pasti bakal menyalahkan diri sendiri kalau nggak pergi.
"Eh, Josh, kalo duitnya nggak cukup, kita bakal ngapain?" tanyaku, "Menurut lo, kalo kita nyolong dulu, itu hal yang buruk, nggak?"
Joshua langsung menoyor kepalaku.
"Eh, gue serius, Bego!" protesku nggak terima. "Kalo nggak cukup, masa kita nggak berangkat? Lo kira Catherine aman di sana? Gue mikir, mendingan nyolong duit Iris nggak, sih, yang banyak duit? Palingan dia nggak nyadar—"
"Kita nggak akan nyolong duit siapa-siapa, woy," potongnya, "Lo mau terlibat dalam lebih banyak masalah lagi? Kalo kurang... duh, nggak tahu, deh. Kita harus cari cara lain. Yang jelas, kita nggak boleh bikin lebih banyak masalah daripada ini kalo mau semuanya lancar."
"Ya makanya, didengerin dulu! Gue baru mau bilang, ntar kita nyolong, trus kita balikin kalo udah punya duit! Lo pikir Santo Samuel yang suci ini tukang nyolong yang nggak tahu mana yang salah dan yang benar?"
KAMU SEDANG MEMBACA
[COMPLETED] Curse of the Suicide Game
Mistério / Suspense[WARNING: Mengandung kata-kata umpatan dan adegan kekerasan yang kurang sesuai untuk anak-anak] Sosok psikopat di balik topeng putih yang menjadi momok siswa-siswi masih berkeliaran. Namun, Tim detektif amatir IMS (Infinite Mystery Seeker), yang ber...