61. Joshua

50 13 0
                                    

Sama seperti dengan Max kemarin, Topeng Putih tidak langsung membalas pesan kami.

"Asyik! Bener, dong!" Sam memekik heboh setelah lima menit kami hanya memandang layar ponsel masing-masing yang tidak bergeming, "Bener, kan, artinya, kalo nggak dibales?"

"Pinginnya, sih, langsung percaya begitu," balasku, "Tapi, Topeng Putih udah terlalu banyak ngebodohin kita, sampe entah kenapa, gue merasa tebakan kita bisa aja salah."

"Iya, sih," Alice menyetujui, "Tapi, selagi dia nggak bales, kita bisa apa? Kalo mau ngawasin Iris, nggak ada gunanya juga, nggak, sih? Kalo jawabannya bener, dia nggak bakal diapa-apain. Kalo jawabannya salah, yang harus kita awasin bukan Iris, dong, jadinya—orang lain yang entah siapa, kan?"

"Iya, tapi nggak ada salahnya, sih, kita mantau panti ini semaleman." Bryan menyahut.

Wajah Sam langsung memucat mendengar perkataan itu. Kentara sekali ia tidak rela jam tidurnya digunakan untuk mengawasi panti asuhan semalaman.

"Bukannya Topeng Bego udah nyuruh kita nggak macem-macem? Lo lupa kalo korban-korban masih ada di tangan dia?" Andrew membuka suara.

"Iya juga, sih..." Alice menggantungkan kalimatnya di udara. "Kalo gitu, sebelum kita bubar, gue mau cerita dulu, deh. Kemarin sore, Andrew nemuin sesuatu yang..." Ia lagi-lagi menggantungkan kalimatnya. Aura bersalah dan sedih terpancar dari kedua matanya. "Menarik soal bokap gue."

Alice kemudian menceritakan tentang penemuan Andrew: kasus pembunuhan seorang pencuri barang ilegal bernama Marta Hosea Lim, yang dilakukan oleh ayah Alice sendiri, dan tidak pernah terekspos karena ditutupi rapat-rapat oleh media. Ia juga menceritakan bahwa Marta memiliki seorang putra bernama Panji Hosea Lim, dan kemungkinan besar, putranya itulah yang mendalangi balas dendam keji berupa serentetan kasus percobaan pembunuhan di panti asuhan ini dan, tentu saja, pembunuhan kedua orang tua Alice.

Setelah cerita itu selesai dituturkannya, kami semua hanya bisa terbengong. Aku melirik Gwen, yang duduk agak jauh di sampingku. Orang lain mungkin salah mengartikan tatapan tajamnya pada Alice, tetapi aku tahu, ia sedang menyimak dengan serius. Penemuan ini mungkin bisa dihubungkan dengan penemuannya sendiri mengenai Pak Stenley dan asal-usul pendirian panti asuhan. Sebenarnya, akan lebih praktis apabila ia mau membagi hal itu pada yang lain untuk dipikirkan bersama, tetapi aku menghargai kewaspadaannya, jadi aku pun tidak mengatakan apa-apa.

"Loh, bentar, bentar," Sam menyahut setelah memproses informasi itu di otaknya, "Marta, tuh, bukannya nama cewek, ya? Marto, kali, bacanya—Marto Hosea Lim!"

"Eh, iya, ya?" Alice bergumam, "Nama Jawa gitu, ya?"

"Menurut gue, sih, itu kayak nama luar pulau, ya," Bryan menimpali, "Dan kayaknya normal-normal aja, sih, nama yang terkesan lebih feminin atau maskulin sebenernya unisex."

"Iya, kakak kelas kita bahkan ada yang namanya Jason Kartika, kan," tambahku, "Nama Pak Joseph juga belakangnya Milania, kayak nama cewek, tapi biasa aja, tuh."

"Kalo gitu, jangan-jangan Panji itu cewek juga?" Sam mengusulkan dengan ngawur.

"Nggak mungkin, Bego. Kan, udah dibilang, fotonya anak cowok," Andrew membalas dengan kesal, "Di artikel koran juga ditulis putra, bukan putri."

"Ya, tapi, kan—"

"Intinya agenda kita nambah lagi," aku buru-buru memotong perkataan Sam, "Ngecek latar belakang guru-guru dan karyawan. Di yearbook ada, nggak, ya, tanggal lahir mereka?"

"Nggak pernah merhatiin, gue," Bryan menyahut, "Boleh, sih, coba dilihat. Besok gue ke perpus, deh. Yang mau ikut, silakan aja."

Setelah itu, kami mengobrol sebentar, lalu diskusi dibubarkan. Semua orang melangkah keluar dari kamar dengan segera, terutama Sam, yang sepertinya sudah tidak sabar untuk terbang ke dunia mimpi. Sebenarnya, aku berharap bisa melanjutkan diskusi dengan Gwen, terlebih setelah mendengar fakta baru yang sangat penting itu, tetapi nyatanya, cewek itu ngacir pergi hampir secepat Sam—minus ocehan-ocehan tidak berfaedahnya.

[COMPLETED] Curse of the Suicide GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang